Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lapar Menjadi Luka, Luka Tak Lapar

23 Februari 2024   17:26 Diperbarui: 24 Februari 2024   04:21 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baru berdekatan badan (sumber : pribadi, bing.com) 

"aku merasa lapar...?" ujar seorang warga kota, yang tersimpuh di pinggir jalan. Dia tampak kotor dalam penampilan, baik baju atau kulit tubuhnya. Lusuh dan kotor, seakan menjadi bagian tak terpisahkan, untuk jangka waktu yang tidak sebentar. Entah berapa lama, dia merasakan hal itu, dan entah sampai kapan dia akan merasakannya. Hal yang pasti, sampai detik ini, disaat kita bertutur seperti ini, dia masih setia menunggu kaum dermawan lewat dan menunjukkan simpati terhadapnya.

"aku lapar...?" sebuah kata yang ditunjukkan sekedar untuk menunjuk pada perutnya yang kosong. Kosong ibarat drum, hanya udara yang menjadi penghuni di dalamnya. Perut agak membuncit, bukan karena nutrisi, melainkan gas-busuk yang setiap saat akan dikeluarkannya.

"Aku lapar.." ucapnya lagi. Hingga aku harus berhenti sesaat dihadapannya. Ah, bukan untuk memberikan sesuatu kepadanya. Aku berhenti sekedar untuk merenung dan menyentuh rasanya.

Dalam benakku terbersit, "kau merasakan lapar fisik, namun sejatinya, kita semua dahaga kedermawanan. Kita kekosongan simpati dan empati. Kita mengalami kelaparan-jiwa kemanusiaan.."  Suara hati, yang entah kenapa muncul sesaat waktu ada dihadapannya, dan juga terbesit untuk tertambat dalam jiwa. Walaupun kemudian, bilih qalbu yang sebelah berbisik, "kau membicarakan diri sendiri, atau berbicara pada diri sendiri ?" Pertanyaan, yang kuanggap lalu, dan tidak jadi perhatian serius saat itu. 

Kita semua paham dan tahu, nukan tidak ada manusia mampu. Dunia ini, tidak sepi dari orang berilmu tinggi, dengan harta setinggi langit. Dunia ini tidak pernah kosong dari orang-orang yang memiliki kekayaan bergentong-gentong. Namun, entah mengapa, sepi dari orang empati, malah nyaris banyak diisi oleh orang songong.

"Sahabatku, kau lapar biologis, tapi pikiranku sekarang lapar kesadaran..." Aku tidak sendiri, aku tidak berdua, aku pun tidak bertiga. Aku berdiri di depanmu, dan berjalan menghampiri mu, tetapi semuanya sekedar angin yang berhembus, tak meninggalkan jejak. Andaipun ada jejak, hanyalah ibarat tornado yang menyisakan sampah dan reruntuhan. Sementara kau di situ, masih juga tetap mengungkapkan kata, "aku lapar.."

"ku bertanya pada mu, apa lagi yang kau rasakan ? " tanya dengan penuh kebodohan dan ketololan. Sebuah pertanyaan yang menunjukkan diri kepongahan dalam rasa.

Dia terdiam, dan hanya menggerakkan mata dengan sangat galak. Matanya, seakan bicara, "emang harus  ku ucapan dengan tegas ?", bentaknya, "tidakkah matamu melihat kenyataan hidup?" ungkapnya, sambil berbicara banyak dan juga memberikan tunjukkan-tunjukkan baru sebagai contoh dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Dengan gaya itu, seakan dia ingin mengatakan, bahwa pertanyaan itu, amat sangat keterlaluan. Sangat terlalu.

Betul. Persoalan hidup hari ini, mata tidak pernah berkoordinasi dengan hati. Mata lebih banyak masuk dalam rasionalisasi di pikirannya, tetapi tidak didalami dalam hati. Hingga, banyak hal yang bisa dilihat, namun sedikit hal yang terhayati, mengenai arti hidup dan kehidupan. 

Perlukah semua hal harus diceritakan ? 

Bukan sesuatu yang dirasakan orang, kemudian saat diceritakan, semua hanyalah akan menjadi narasi dan kisah. Paling tinggi menjadi tema kisah dalam tulisan di artikel ini, atau jadi buku yang menjadi keangkuhan intelektualmu. Tidak lebih dari itu. Matamu sungguh buta, atau ada saluran yang putus dengan hati.

Kau melihat kejadian, namun tidak pernah sampai pada perasaan. Kau melihat gejala, namun tidak pernah terbersit dalam jiwa. Semua pengamatan dan penglihatan, hanya sampai dalam kata-kata, dan menjadi sebuah wacana belaka, atau menjadi konsumsi di media kampus untuk dibicarakan dalam sebuah seminar dan lokakarya.

"kalau kau masih juga bertanya, itu tandanya, matamu tiada guna. Akulah, yang entah kau anggap aku siapa, hari ini merasakan lapar, dan aku merasa luka dan duka. .."

"bersyukurlah, kau masih sehat, lihatlah banyak orang yang terbaring lesu di rumah sakit?"

"tapi, aku tak mengerti, mengapa laparku menjadi luka, sedangkan luka mereka tidak diiringi dengan lapar..?"

Di sini, aku terdiam, untuk beberapa waktu, dan tidak bisa melanjutkan pembicaraan dengannya. Hingga akhirnya, karena waktu, aku membalikkan badan, dengan maksud dan tujuan meninggalkannya.

aku pergi, dengan tempat dan tujuan, yang tidak mereka ketahuinya....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun