Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Etika atau Teknik Menyusun Pertanyaan

23 Januari 2024   04:10 Diperbarui: 23 Januari 2024   06:06 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bertanya itu Berpikir (sumber : pribadi, image creator, bing.com) 

Bagi seorang tenaga pendidik,  membuat pertanyaan, atau membuat soal sudah biasa. Di jenjang pendidikan manapun, seorang tenaga pendidik sudah terbiasa, membuat soal atau pertanyaan. Bukan hanya guru PAUD, SD atau SMA, tetapi juga bagi mereka yang sudah terbiasa mengajar di perguruan tinggi, atau biasa disebut akademisi.

Sekedar informasi, memang betul. Membuat soal itu, gampang-gampang susah. Di sebut susah, sebenarnya gampang juga. Karena mungkin, orang mengatakan, asal bertanya, dan membuat kalimat dengan kata tanya, maka itu sudah tercapai. Misalnya, apa itu ? untuk apa itu ? atau mengapa itu ? kenapa harus itu ? dan lain sebagainya. Bukankah anak kecil pun, lebih banyak bertanya daripada menjawab ? bukankah kejadian itu menunjukkan bahwa bertanya itu, adalah sesuatu yang sangat  mudah untuk dilakukan, daripada menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan ? 

Memang demikian, dan memang demikian adanya. Sepintas lalu, membuat pertanyaan itu sangat mudah dilakukan.  Tetapi, bila dikatakan bahwa membuat pertanyaan itu gampang,  apakah iya demikian ? ternyata  tidak demikian adanya. Mengapa ?

Pertama, banyak  mahasiswa atau siswa yang sedang belajar di kelas, mengalami kesulitan untuk membuat pertanyaan dihadapan dosennya. Bagi mereka yang tidak terbiasa berdialog, sulit membuat pertanyaan kepada sesama pembelajarnya. 

Kedua, ada persepsi, bahwa kebiasaan bertanya menunjukkan tingkat kecerdasan. Orang yang suka bertanya, dianggap kurang cerdas dibanding dengan orang yang tidak suka bertanya. Akibat persepsi itu, orang takut bertanya, dan tidak akan berusaha bertanya, walau dalam diri dan pikirannya, banyak hal yang tidak dimengerti atau belum dipahaminya.

Seiring sejalan dengan pemikiran itu, muncul pemahaman bahwa orang yang bisa bertanya, menunjukkan dia paham (setidaknya) sebagian masalah yang tengah dipelajarinya, dan kemudian menemukan ada sisi yang belum jelas yang masih perlu digali. Sehingga dengan kata lain, semakin kritis orang, semakin tajam dalam bertanya, semakin cerdas orang semakin kritis dalam menyusun pertanyaan atau pernyataan.

Dengan demikian, apakah kecerdasan seseorang, dapat dilihat dari kemampuannya menyusun sebuah pertanyaan yang baik ? untuk soal yang satu ini, silahkan pembaca renungkan sendiri. Namun untuk sekedar pembandingnya, bentuk pertanyaan  adik kita di PAUD, akan berbeda dengan teman kita yang sudah duduk di bangku SLTA atau di perkuliahan.

Nah, pada saat kita membuat sebuah pertanyaan, kita pun perlu bijak, mengapa diberikan ruang waktu tertentu. Misalnya, dalam aplikasi AI (Artifical intelligence), bing.com, seorang pengguna diberi ruang sampai 480 karakter untuk membuat  prompt (perintah), sehingga dapat ditafsirkan lebih mendekati keinginan si pengguna. Sementara, dalam aplikasi Leonardo.ai, lebih leluasa lagi. Seorang pengguna AI aplikasi ini, diberi keleluasaan sampai 1000 karakter.

Apakah jika pernyataan atau pertanyaan disusun dalam 100 kata, tidak bisa dikerjakan oleh Ai tersebut ? tentunya, bisa, dan sangat bisa dilakukan. Tetapi, mungkin, hasil yang dimunculkannya, jauh dari yang diharapkan. Namun, bila disampaikan dengan perintah (prompt) yang rinci dan leluasa, maka masalah yang diinginkan dapat dijawab oleh Ai dengan lebih baik, dan mendekati harapan. 

Sehubungan hal ini, maka kita pun, boleh bertanya atau lebih tepatnya "bertanya-tanya", mengapa seorang kandidat capres/cawapres diberi kesempatan  1 menit (60 detik) untuk membuat pertanyaan bagi kandidat lain ? apakah, waktu itu terlampau  lama atau terlampau pendek ?

Berpikir itu Bertanya (sumber : pribadi, image creator, bing.com) 
Berpikir itu Bertanya (sumber : pribadi, image creator, bing.com) 

Seseorang yang terbiasa dengan naskah akademik, waktu 1 atau 2 menit, mungkin cukup leluasa untuk membuat pertanyaan. karena Karena, dengan waktu seleluasa itu, seseorang bisa menyusun pertanyaan dengan rinci, jelas dan fokus sesuai dengan yang diharapkan, berdasarkan pada latar belakang, asumsi atau alasan yang dimilikinya.  Namun, bagi seorang anak PAUD atau anak SD  ya, sudah tentu, membuat satu bentuk pertanyaan dalam waktu lebih dari 60 detik adalah sesuatu yang kelamaan.

Tetapi, bagi seorang tenaga pendidik dan penalaran tingkat tinggi atau biasa disebut HOT (higher -order thinking skills) , sebuah pertanyaan dikatakan baik, manakala disusun oleh adanya stimulus atau penjelasan latar masalah, kemudian pernyataan masalah. Hal itu perlu ditunjukkan, dengan harapan, orang yang ditanya dapat menunjukkan kemampuan penalaran yang maksimal saat memberikan jawaban sesuai dengan yang diharapkan. Bila tidak sesuai dengan teknik penyusunan pembuatan pertanyaan itu, ya, mungkin bisa saja bisa dibuatkan soalnya, namun soalnya masuk kategori pertanyaan kelas rendahan (level rendah).

Sehingga dalam dunia pendidikan, sudah terbiasa ada sebutan "pertanyaan level rendah" dan "pertanyaan level tinggi". Untuk soal serupa ini, seorang tenaga pendidik dapat menelaahnya dari bentuk pernyataan atau pertanyaan yang diajukannya !!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun