Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ruang Kita Bukan Museum

15 Desember 2023   05:07 Diperbarui: 15 Desember 2023   05:20 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap zaman ada gedung/ruangnya, dan setiap ruang/gedung ada zamannya. Tampaknya, ungkapan ini, menjadi istilah klasik yang mencatatkan mengenai sejarah, peradaban, dan artefak. Kita semua akan merasakan, dan melihat, kenyataan ini sebagai sebuah realitas seni-budaya, yang bisa di temukan di berbagai tempat, di setiap penjuru dunia.

Persoalan muncul, secara psikologi-sosial, yakni apa pentingnya gedung/ruang masa lalu bagi kita di masa sekarang ini ?

Di sekitar kita hari ini, terdapat sejumlah artefak-arsitektural, dalam bentuk gedung, bangunan, atau ruang. Mereka hadir, bukan atas nama kebutuhan kita hari ini, melainkan atas nama sejarah di masa lampau. Sebut saja, ada gedung sekolah bekas ruang-perkantoran masa kolonial, ada gedung benteng masa kolonial, dan pula tempat peristirahatan masa kolonial, yang kini digunakan dan dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata.

Ragam dan sejumlah peninggalan sejarah itu, hadir dan tegak berdiri.  Istilah lainnya, sebagian kecil masih tetap eksis di zaman milenial ini, dan sekaligus juga menghiasi keindahan ruang-ruang peradaban modern. Tidak kalah menarik, dan tidak kalah saing dengan gedung/ruang yang yang tercipta di era modern.

Di Kota Bandung, misalnya, masih ada gedung/bangunan atau ruang klasik era kolonial yang masih berfungsi. Fungsinya pun, tidak tanggung-tanggung, yakni menjadi gedung sekolah elit, gedung administrasi pemerintahan, atau gedung pusat layanan publik. 

Misalnya saja, Gedung Sate, Gedung Isola UPI, dan sejumlah bangunan sekolah elit lainnya di Kota Bandung. Gedung atau fasilitas publik itu, bisa dikunjungi warga setiap saat, dan bisa dinikmati keindahan arsitektural atau mitologi-sejarah peradabannya.

Kita mencoba untuk mencatat sedikit sejarah berdasarkan kronologinya. Misal dalam satu kota, ada 10-20 gedung peninggalan kolonial, kemudian ada 10 -20 gedung/ruang peninggalan sejarah perjuangan pra kemerdekaan, selanjutnya ada 10-20 gedung/ruang era orde lama, berikutnya ada 10-20 gedng/ruang klasik era orde baru, dan selanjutnya.  Bahkan kemudian, setiap kurun sejarah ada yang membuat monumen,  patung, dan lain sebagainya. Bayangkan, dalam 50 tahun ke depan, generasi yang akan datang, berapa luas ruang/wilayah yang mereka bisa gunakan untuk berkreasi ?

Kita setuju. Bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai sejarah. Tetapi, bangsa yang besar pun, adalah yang memberikan ruang hidup dan ruang-kreasi bagi keturunannya. 

Jika saja, ada sebuah kampung seperti halnya, kota yang tadi diceritakan, akan menjadi kota sejarah dan kota peradaban, maka kota itu, suatu saat akan menjadi 'museum peradaban'. Kenampakkan yang ada dalam ruang itu, adalah gedung masa lalu, dan kehilangan ruang ekspresi untuk generasi hari ini dan masa depan.

Berdasarkan pertimbangan ini, maka rasanya perlu untuk dicermati dengan seksama. Kebutuhan peradaban manusia adalah menyediakan ruang-ekspresi dan ruang kreasi bagi generasi masa kini, dan masa depan, tanpa harus kehilangan-kebanggaan terhadap masa lalu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun