Setiap zaman ada gedung/ruangnya, dan setiap ruang/gedung ada zamannya. Tampaknya, ungkapan ini, menjadi istilah klasik yang mencatatkan mengenai sejarah, peradaban, dan artefak. Kita semua akan merasakan, dan melihat, kenyataan ini sebagai sebuah realitas seni-budaya, yang bisa di temukan di berbagai tempat, di setiap penjuru dunia.
Persoalan muncul, secara psikologi-sosial, yakni apa pentingnya gedung/ruang masa lalu bagi kita di masa sekarang ini ?
Di sekitar kita hari ini, terdapat sejumlah artefak-arsitektural, dalam bentuk gedung, bangunan, atau ruang. Mereka hadir, bukan atas nama kebutuhan kita hari ini, melainkan atas nama sejarah di masa lampau. Sebut saja, ada gedung sekolah bekas ruang-perkantoran masa kolonial, ada gedung benteng masa kolonial, dan pula tempat peristirahatan masa kolonial, yang kini digunakan dan dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata.
Ragam dan sejumlah peninggalan sejarah itu, hadir dan tegak berdiri. Â Istilah lainnya, sebagian kecil masih tetap eksis di zaman milenial ini, dan sekaligus juga menghiasi keindahan ruang-ruang peradaban modern. Tidak kalah menarik, dan tidak kalah saing dengan gedung/ruang yang yang tercipta di era modern.
Di Kota Bandung, misalnya, masih ada gedung/bangunan atau ruang klasik era kolonial yang masih berfungsi. Fungsinya pun, tidak tanggung-tanggung, yakni menjadi gedung sekolah elit, gedung administrasi pemerintahan, atau gedung pusat layanan publik.Â
Misalnya saja, Gedung Sate, Gedung Isola UPI, dan sejumlah bangunan sekolah elit lainnya di Kota Bandung. Gedung atau fasilitas publik itu, bisa dikunjungi warga setiap saat, dan bisa dinikmati keindahan arsitektural atau mitologi-sejarah peradabannya.
Kita mencoba untuk mencatat sedikit sejarah berdasarkan kronologinya. Misal dalam satu kota, ada 10-20 gedung peninggalan kolonial, kemudian ada 10 -20 gedung/ruang peninggalan sejarah perjuangan pra kemerdekaan, selanjutnya ada 10-20 gedung/ruang era orde lama, berikutnya ada 10-20 gedng/ruang klasik era orde baru, dan selanjutnya. Â Bahkan kemudian, setiap kurun sejarah ada yang membuat monumen, Â patung, dan lain sebagainya. Bayangkan, dalam 50 tahun ke depan, generasi yang akan datang, berapa luas ruang/wilayah yang mereka bisa gunakan untuk berkreasi ?
Kita setuju. Bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai sejarah. Tetapi, bangsa yang besar pun, adalah yang memberikan ruang hidup dan ruang-kreasi bagi keturunannya.Â
Jika saja, ada sebuah kampung seperti halnya, kota yang tadi diceritakan, akan menjadi kota sejarah dan kota peradaban, maka kota itu, suatu saat akan menjadi 'museum peradaban'. Kenampakkan yang ada dalam ruang itu, adalah gedung masa lalu, dan kehilangan ruang ekspresi untuk generasi hari ini dan masa depan.
Berdasarkan pertimbangan ini, maka rasanya perlu untuk dicermati dengan seksama. Kebutuhan peradaban manusia adalah menyediakan ruang-ekspresi dan ruang kreasi bagi generasi masa kini, dan masa depan, tanpa harus kehilangan-kebanggaan terhadap masa lalu.Â
Kebutuhan kita di masa kini adalah menyediakan ruang kreasi dan ruang ekspresi masa kini dan masa depan, tanpa harus terjebak dalam  labirin peninggalan masa silam. ungkapan ini, mungkin mudah dilantunkan, tetapi akan sulit untuk diwujudkan. Tetapi, perlu ada komitmen bersama, bahwa kita berkewajiban untuk memberikan penghargaan terhadap jasa kreavitas leluhur kita, tanpa menutup ruang kreativitas anak-anak bangsa, untuk bisa memiliki urang hidup yang tetap leluasa juga.
Hemat kata, jangan terlalu murah untuk mengabadikan 'gedung/ruang' bersejarah. Karena dengan getolnya kita pengabadian artefak, hanya akan menyebabkan menyempitnya ruang-ekspresi anak muda sekarang, dan menjadikan kota kita sebagai museum sejarah-peradaban saja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H