Bahasa diplomasi seorang politisi akan terasa sangat kuat, dan bahkan, bisa jadi, terminologi bersayap, akan dijadikan andalan dalam menjelaskan ragam masalah yang dianggap kontroversi atau sensistif, dengan harapan, para pendengar, semua lapisannnya dianggap dapat terayomi.
Hal berbeda dengan mereka yang terbiasa dibirokrat. Kelakuan kesehariannya, yang diselimuti dengan peraturan perundangan dan birokrasi, akan cenderung kaku dan  baku dalam menarasikan ide atau gagasannya. Normatif dalam berpikir, dan prosedural dalam bertindak.  Pengalaman seperti ini, rasanya akan sangat terasa pula, dari mereka yang memiliki latar belakang sebagai aparatur keamanan dan pertahanan.
Apakah satu diantara karakter itu, akan memiliki keunggulan dari yang lainnya ? tentunya, ya, Tetapi, satu diantaranya karakter itu pun, masih tetap memiliki pasarnya masing-masing. Artinya, orang yang praktis, akan sulit menalar hal-hal akademis, dan orang-orang akademis, akan merasa tidak tertarik dengan narasi normatif, dan tidak strategis dalam memecahkan masalah. Paradok sosialnya sangat jelas, orang yang mengedepankan kesantunan, bisa jadi melihat orang yang akademis sebagai satu kesombongan intelektual, dan kalangan "akademisi" akan melihat kesantunan sebagai ketidakbebasan intelektual.
Merujuk pada pengalaman dan pengamatan itu, Â kita bisa melihat gambaran bahwa argumentasi itu tergantung pengalaman intelektual, dan pengalaman hidup, sedangkan etika lebih terkait dengan kebiasaan interaksi dengan orang lain. Dua hal yang berbeda, walau kadang saling berkaitan. Kesopanan atau kesantunan, lebih mengarah pada cara penyampaian, sedangkan cara penalaran adalah kemampuan intelektual.Â
Dengan paparan seperti ini, jelas dari perhelatan debat pertama, debat kali ini pun, sudah melampaui batas geografi. Dari perdebatan itu, batas geografi sudah terlampaui.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H