Di setiap harinya. Â Entah pagi hari, atau sore hari. Saat matahari terbit, atau menjelang matahari terbenam. Halaman rumah tetangga, tampak terlihat indah. Indah. Â Indah bukan hanya dalam pandangan, tetapi juga menghadirkan ketenangan bagi mereka yang memandangnya. Itulah rasa dan perasaan yang dialami oleh Tatang.
"surga itu, sudah kau miliki..." ucapnya dalam khayalan yang entah untuk keberapa kalinya, hadir dalam impian itu. Â Ucapan itu, diberikannya kepada seorang Lelaki Tua sang pemilik taman, tetangga Tatang saat itu.
Kebun tetangga, tampak indah dalam matanya. Matanya tampak merekah dibuatnya.
Kebun tetangga itulah yang menjadi ulahnya, disetiap pagi atau sore harinya.
Waktu terus berlalu, dan zaman pun beralih. Sang tetangga memiliki pikiran dan harapan, untuk pindah dari lokasi yang Tatang tinggali. Sang pemilik kebun itu, lelaki tua dan perkasa, dengan gagah menghampiri  Tatang.
"bukankah kau kerasan dengan taman yang ku miliki ?" ungkapnya dengan tegas. Dia bilang demikian, mungkin karena saking seringnya melihat lirikan Tatang, di setiap pagi dan sore harinya. Â Tuturan itu, bisa jadi, sebagai sebuah sindiran, atau juga sebagai sebuah bentuk kepekaan terhadap situasi dan kondisi.
Tatang kaget dibuatnya. Lamunannya selama ini, ternyata terbaca orang. Gerak gerik matanya, ternyata terrekam banyak pihak. Laku dan ucapnya, ternyata terdokumentasi dalam benak masyarakat.
"aku tidak senakal itu.." ucapnya dengan ragu. "bukankah, keindahan langit, Â menjadi hak manusia untuk menikmatinya ?" bantahnya dalam posisi membela kelakuannya selama ini. Kita tahu, Tuhan menciptakan ragam keindahan, dan setiap manusia bebas untuk menikmatinya.
"tidak semua ciptaan bisa dinikmati dengan sempurna", tutur sang lelaki tua dihadapannya. "ada kenikmatan karena perasaan, dan ada kenikmatan karena kepemilikan, dan ada kenikmatan karena kita menjadi bagian utuh dari kenikmatan". Keutuhan dari kenikmatan itu akan mewujud dalam kondisi kesejatian.
"hari ini, aku akan berikan kepadamu, taman indah yang selama ini, kau impikan dan bayangkan, untuk kau milikinya.." ungkap dengan singkat, dan kemudian dia pun pergi entah kemana. Taman kebun tetangga pun, ditinggalkannya, dihadapan Tatang yang kini, termangu, terkaget-kaget oleh keadaan.
Kaget. Tidak percaya. Ragu. Bahagia. Bergulung dalam satu rasa dan perasaan.
Tangannya yang selama ini, hanya bisa melambai dari kejauhan, kini bisa membelai keindahan taman yang diimpikan. Matanya yang menatap dari kejauhan, kini bisa menciumi harumnya, wewangian yang semerbak di taman kebun tetangga.
Tatang bersuka cita. Bercerita kepada dunia, bahwa dirinya kini bisa bersatu dengan  kebun tetangga, yang diimpikannya selama ini. Ditatapnya, setiap hari, diciuminya di setiap sore, dan dihampirnya di setiap malam.
Hingga di satu pagi hari, Tatang menganga ditepi kebun itu...
Oh, kebunku,
Apa yang terjadi padamu, daunmu menguning, bebungaanpun mengering ?
"kau tatapi aku, tapi kau diamkan aku dalam ratapan", ungkap sang bunga
"sentuhan tangan mulia di masa lalu, tak ku dapatkan ulang, dan kini hanya kau yang berkhayal ditepi waktu..."
Oh, kebunku,
Apa yang terjadi padamu, tanahmu gersang, dahan-dahanmu tumbang ?
"kau hadir untuk menikmati, dan bukan untuk hidup bersama. Kau hadir untuk menjadi majikan, dan bukan sebagai teman ..."
Tatang duduk termangu, dan lemas di pinggiran kebun. Kini, dia mulai menyadari bahwa keindahan taman, bukanlah asasi dari sebuah taman, melainkan hasil komunikasi antara insan dan kehidupan.
Indahnya taman, bukan cinta dan keindahan, tetapi karya komunikasi yang tulus itulah, yang melahirkan indahnya taman.
Seluas apapun taman tetangga kau miliki, sebanyak apapun taman tetangga kau raih, tanpa ada sentuhan karya dan ketulusan, hanya akan lahir sebuah kegersangan.
Keindahan taman, bukan karena bunganya, melainkan karena komunikasi tulus dari sang pemilik dalam merawatnya. Menjunjung ketulusan komunikasi, membuahkan keindahan taman yang kau miliki.
Kegagalan manusia, menganggap keindahan itu adalah bawaan dari bunga, padahal sejatinya keindahan itu buah karya interaksi antara cinta dan kesediaan dari taman di dalamnya.
Sehijau apapun kebun, akan mengering di tangah berhawa panas !!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H