Mohon tunggu...
Charise Ani
Charise Ani Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Benci Menjadi Benih Cinta

21 Juni 2015   14:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:31 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Saat itu aku masih duduk di bangku SMA. Tepatnya pada waktu kelas X IPA1, aku sering berjumpa dengan seorang pria yang sangat menyebalkan namun dia istimewa. Jujur saja aku memang sempat mengagumi pria tersebut.

Pada masa itu aku merasakan sesuatu yang aneh dalam hatiku. Tapi, aku tak menyadari perasaan yang aneh itu. Sering sekali aku berjumpa dengannya. Dia pun selalu memberikan senyuman padaku. Namun, aku selalu cuek dan jual mahal. “Maklumlah aku kan perempuan, hehe...”. pikirku. Aku tak begitu mengenal pria tersebut, karena dia adalah kakak kelasku. Aku mencari tahu siapa namanya pada temanku yang sekelas dengannya. Maklumlah masa remaja begitu penuh dengan rasa penasaran.

Pria itu bernama Amin. Dia kakak kelasku yang duduk di bangku kelas XI IPA1. Tadinya, aku memang sempat mengaguminya. Namun, seiringnya berjalan waktu semua malah terbalik. Rasa kagumku terhadapnya pudar. Aku pun malah membencinya karena dia selalu membuatku kesal.

Awalnya, dia sering sekali menggodaku. Setiap bertemu, dia pasti selalu meledekku. Hatiku sering kesal karena kelakuannya yang selalu membuatku marah. Ketika pada suatu hari, aku terkejut melihat dia berjalan seperti mendekatiku. Aku melihat sesuatu ditangannya. Ternyata benar, ada sesuatu ditangannya. Sepucuk bunga yang sudah layu dan diremas-remas olehnya. Dilemparnya bunga tersebut kearahku dan melayang mengenai wajahku. Aku sangat kaget dan marah. Aku pun menatapnya penuh dengan benci. Dan aku pun berkata “Kurangajar banget sih kamu jadi cowok! Dasar tidak punya sopan santun sama sekali!” ucapku yang penuh kesal. Amin menatapku sambil tersenyum dan dia terus berjalan seperti seseorang yang tidak mempunyai rasa bersalah.

Kuusap keringat dan sisa kembang yang mengotori wajahku. Setengah berlari, kuayun langkah menuju ruang kelas sambil memendam rasa kesal dan sedih yang ada di benakku. Kududuk di kursi yang kosong mengingat kejadian tadi, sambilku berfikir “Kenapa dia begitu tega?” dalam hatiku bertanya-tanya. Aku kaget ketika ada seseorang yang menepuk pundakku. Seorang perempuan yang berdiri di belakangku dan menepuk pundakku dia adalah Iis, sahabatku. “Kenapa kamu Ris, ko melamun sih? Apa kamu ada masalah?” ucapnya sambil menatapku dengan penuh tanya. Aku mengarah kepadanya dan kuceritakan semua kejadian yang kualami tadi sambil mengelus dada dan menangis.

Air mataku yang menetes membasahi pipiku, “Apa ya Is salah aku sama dia? Padahal aku sama Amin itu tidak saling kenal, meskipun kenal juga itu hanya sekilas dan hanya sebatas tahu nama saja. Tapi mengapa, setiap dia bertemu denganku kelakuannya seperti itu?” sambil tersedu-sedu kuangkat tangan mengarah kewajahku, dan kuusap air mata yang membasahi pipiku. Iis yang menemaniku dan menenangkan hatiku, agar aku tidak bersedih lagi. “Sudahlah Ris, tidak usah difikirkan.” menatapku sambil tersenyum. “Mungkin dia itu sebenarnya ingin mengenal kamu lebih dekat, namun caranya itu salah jadinya dia bersikap seperti itu.” Iis merangkulku sambil menepukkan tangannya dan mengusap-usap kebahuku.

Hari berganti hari, dan bulan pun berganti bulan. Akhirnya menjelang kenaikan kelas. Satu tahun telah kulewati di masa SMA, rasa bahagia karena telah duduk di bangku kelas 2. Dan aku pun mempunyai prinsip “Semoga di kelas 2 ini aku bisa meraih nilai yang lebih baik lagi dari nilai-nilaiku yang sebelumnya, amin.” Setelah kuucapkan kata amin, entah kenapa aku langsung teringat dengan pria itu. Pria yang bernama Amin yang selalu membuat hatiku kesal. “Apa mungkin setelah lama tidak berjumpa dengannya karena liburan sekolah aku jadi teringat dia?” batinku. “Tapi tidak mungkin, aku kan benci sekali sama dia!” Aku menyangkal fikiran itu dengan kalimat membantah. Tetapi aku teringat ucapan orang, “Jangan terlalu membenci seorang pria, sebab benci itu bisa menjadi cinta.” namun, tak ku hiraukan ucapan itu.

Saatku berjalan menuju ke arah kantin sekolah bersama sahabatku Iis, aku melihat Amin disitu. Dia ada di samping kantin. Ternyata, dia juga melihatku, dia memanggilku dan seakan-akan menyuruhku untuk mendekatinya. “Ris, sini?” Amin memanggilku sambil melambaikan tangannya. Entah mengapa kaki ini tergerak melangkah menuju ke arah dia yang berdiri tegak di samping kantin sekolah. Tanpa kusadari, disitu ternyata banyak teman-temannya. Aku dan Iis menghampirinya, “Ada apa, kenapa kamu memanggil aku?” kalimatku yang penuh tanya dan aku menatapnya sekilas, lalu melemparkan tatapanku ke arah teman-temanya. Satu persatu kulihat mereka. “Tidak ada apa-apa, lagian siapa yang memanggil kamu!” jawabnya sambil tertawa. Perkataannya itu begitu membuat aku terkejut. Aku kaget dan marah saat dia menjawab seperti itu, dia seperti mempermalukanku di depan teman-temannya. Rasanya hatiku seperi  “Bagai di iris dengan sembilu.”

Tanpa bicara aku dan Iis membalikkan badan dan tanganku menyeret tangan Iis agar secepatnya meninggalkan tempat itu. Kulanjutkan langkahku menuju kantin bersama Iis dan ku duduk di kursi dalam kantin sambil mengelus dada dan menepiskan napas. Seperti yang kuduga. Amin hanya ngerjain aku saja. “Lihat kan Is, Amin sama sekali tidak punya niat baik ke aku!” perkataanku yang penuh dengan rasa kesal. Iis mengambilkan satu gelas air putih dan menyuruhku untuk meminumnya. ”Sabar Ris, jangan berfikiran negatif dulu.” Ucap Iis yang berusaha meredakan amarahku. “Bagaimana mungkin hati ini bisa lebih bersabar setelah dipermalukan seperti tadi! Bukan sekali dua kali tapi sudah berkali-kali dia membuatku kesal. Ini sudah yang kesekian kalinya dia berperilaku seperti itu dan sengaja membuatku marah.” Aku menjawabnya dengan penuh kesal dan menggelengkan kepala. Setelah itu, aku pun terdiam sejenak. “Astagfirullahhalazim, salah apa aku sama dia? Sampai-sampai dia sering ngerjain aku dan membakar amarahku?” dalam hatiku yang selalu penuh tanya .

Esoknya, aku berjalan menuju ruang kelas XI IPA1, yaitu sebuah ruang kelas dimana aku ditempatkan untuk bisa belajar dan menimba ilmu di SMA. Tidak jauh letak kelasku dengan kelas Amin. Letaknya, hanya melewati beberapa ruang kelas saja. Tidak sengaja aku bertatap muka dengannya, tetapi aku mengalihkan arah tatapanku kearah lapangan basket, karena aku tak’ ingin melihatnya. Amin mendekati aku, tatapannya seperti seseorang yang menyesali kesalahannya. Dia tersenyum tipis, dan dia seperti tegang saat berdiri di hadapanku. Tapi aku menampakkan wajah yang penuh dengan rasa kesal, benci dan kecewa. Saat itu aku yakin, Amin mendekati aku pasti dia ingin minta maaf atas semua kesalahan-kesalahannya yang dia perbuat ke aku. “Ris, ada waktu tidak?” dengan wajah yang begitu seriusnya, “Tolong ya, nanti kita ketemuan di kantin?” perkataannya dengan sikap yang tegang penuh keringat dan mengajakku untuk ketemuan. Tapi aku diam saja dan tanpa sepatah kata pun aku berucap saat dia bicara begitu. Aku pun pura-pura tak’ mendengarkannya. “Aku kira dia mau minta maaf!” batinku. Aku meninggalkan Amin dan melanjutkan langkahku untuk masuk ke ruang kelas dengan wajah yang penuh kejutekan dan cuek.

Saat jam istirahat, aku iseng berjalan menuju kantin sekolah. Amin memanggilku, tetapi aku tak’ memperdulikannya karena aku takut dia ngerjain aku lagi. Amin berlari mendekati aku, dan aku menghindar darinya. Namun dia tetap menghampiri aku dan memberhentikan langkahku. Matanya menatapku seakan-akan untuk meyakinkan aku, “Ris, aku minta maaf jika selama ini telah membuatmu kesal.” ucapnya sambil menatapku tajam. “Sumpah Ris, aku tak bermaksud membuatmu kesal dan sampai membenci aku.” diulangnya kata-kata itu seperti dihantui rasa bersalah.

Tetapi aku tidak yakin dia benar-benar serius minta maaf atau tidak. Aku berfikir jangan-jangan dia cuma pura-pura. Soalnya, setau aku selama ini dia tidak pernah serius dan aku tidak bisa menebak saat dia bercanda atau pun serius. “Ya sudahlah, yang sudah ya sudah. Kalau memang kamu serius meminta maaf, ya tidak usah diulangi lagi!” ucapku dengan senyum beku. “Aku serius minta maaf ke kamu Ris.” Kata-katanya berusaha selalu meyakinkan aku agar memaafkannya.

“Ris, nanti pulang sekolah aku tunggu di depan gerbang ya..?” katanya dengan wajah yang menatapku dengan penuh senyum. Tapi aku tetap jutek dan tak membalas senyumannya itu. “Ya, lihat saja nanti!” jawabku sambil menghindar. Aku pun langsung melangkah menuju kelas, namun fikiranku jadi teringat oleh kata-kata Amin. Dia akan menungguku di depan gebang sekolah saat jam pelajaran telah usai. Jantungku sedikit berdebar dan hatiku bertanya-tanya kembali “Ada apa ya dengan Amin? Kenapa ko dia ingin menungguku setelah jam pelajaran usai? Mau bicara apalagi dia? Atau apa dia ingin ngerjain aku lagi ya?!” aku terus bertanya-tanya dalam benak dan seakan-akan pertanyaan yang ada dalam hatiku tak henti-hentinya.

Akhirnya, bel sekolah berbunyi, menandakan waktu jam pelajaran telah usai. Aku bergegas pulang dan berjalan mengayunkan langkahku setengah berlari. Tetap berlari, hingga kudapatkan sosok yang kucari, seseorang yang sedang menungguku di depan gerbang sekolah. Kutepis lelah yang membuat napasku tersengal. “Kuyakin kamu pasti datang!” tutur Amin saat aku berdiri dihadapannya. Aku menatap matanya dengan penuh rasa curiga dan gemetar. Tapi mengapa hati ini merasakan ada sesuatu yang aneh. Detak jantungku mulai tak terkendali, berdetak begitu kencang. Ini tak’ pernah aku rasakan sebelumnya. Sungguh aneh, mengapa semuanya berubah dalam sekejap. Yang tadinya penuh dengan rasa kebencian dan curiga, tapi saat lama aku bercakap-cakap dan berdiri dihadapannya aku merasakan ketenangan. Rasa kebencianku telah pudar. Tangannya memegang erat jemariku, sambil menatapku teduh. Seakan-akan dia ingin mengutarakan sesuatu padaku.

Tiba-tiba tubuhku terasa gemetar. Aku pun tak berani menatap bola matanya. Anehnya, aku jadi setia mendengarkan dia berbicara. Karena, biasanya kalau dia berbicara aku selalu cuek, jutek dan tak’ pernah menanggapinya dengan serius. Tapi entah mengapa, semua rasa itu jadi pudar. Dan entah mengapa perasaan benci itu bisa hilang seketika. Aku pun tak mengerti! Anehkan, dengan waktu yang sekejab saja, aku jadi murah senyum padanya, aku pun setia saat dia berkata. Seperti ada yang menyulap hatiku, agar aku tidak jutek dan benci lagi dengannya. Aku mendengarkan perkataanya, “Maaf jika aku sudah menyita waktumu, Ris.” katanya dengan nada yang penuh gemetar.

“Ris, sebenarnya aku ini sayang sama kamu. Pertama aku melihat kamu, namun sulit bagiku untuk mengutarakannya.” ucapnya sambil menatapku dengan penuh keseriusan. Aku berusaha mengalihkan pembicaraannya itu, pura-pura aku tak’ mengerti. Tapi bagaimana mungkin sosok pria yang hanya kukenal sekilas, selalu membuat kukesal dan selalu mengejekku, dia sebenarnya memendam rasa sayangnya padaku. Apa yang aku dengar tadi sangat membuatku terkejut. Dia sadar sepenuhnya akan ucapannya yang telah dilontarkannya barusan. Dia pun terus memandangiku. Aku menunduk dan sulit bagiku untuk berkata sesuatu. Jantungku terus berdetak dengan kencang tak’ terkendali. Aku paksakan untuk aku menjawab yang sejujurnya, namun tak bisa. karena, jantungku semakin berdebar kencang dan aku pun semakin tegang. Dia terus meyakinkan perasaanku.  Aku berusaha untuk menjawab “Iya, aku juga sebenarnya…,” namun kalimatku terhenti, karena aku malu untuk mengutarakannya. Aku tak bisa langsung menjawab yang sesungguhnya. Kalau sebenarnya, aku juga sudah lama mengaguminya. Dan mungkin, aku pun memiliki perasaan yang sama dengannya.

Tidak terasa satu jam telah terlewati, waktu pun terus berputar. Dan aku mengalihkan semua pembicaraannya tadi. “Min, maaf ni sudah jam 2. Saya mau pulang takut ortu saya nyariin! Pembicaraan kita dilanjut besok lagi aja deh.” Aku pun langsung mengayunkan kaki untuk mencari helef alias angkot. Amin mengejarku, dia terus berusaha ingin meyakinkan perasaanku. “Ris gimana?” katanya dengan penuh penasaran dan berjalan mengejarku. “Gimana apanya?” jawabku sambil terus berjalan untuk mencari helef jurusan Cirebon-Losari yang melewati Gebang. Karena aku tinggal di daerah Perum Gebang.

Amin terus berjalan mengejarku. Dan bertanya lagi “Jawabannya gimana? Gimana dengan perasaanmu, Ris?” memaksaku untuk menjawab secepatnya. Aku terhenti dan membalas perkataannya “Besok aja deh! Tapi, Insya allah ya!”. Aku melanjutkan langkahku, akhirnya aku melihat sebuah helef jurusan Cirebon-Losari. Aku menyegatnya dan helef tersebut pun berhenti dihadapanku, lalu aku pun bergegas untuk naik kedalam helef tersebut. Setelah aku duduk di dalam helef, bola mataku terarah ke jendela untuk melihat Amin. Aku tersenyum dan melambaikan tanganku ke arah Amin. Amin pun membalas senyumanku.

Keesokan harinya, seperti biasa aku aktif untuk berangkat ke sekolah. Pagi-pagi aku tak melihat wajah Amin. Biasanya setiap pagi aku sering bertemu dengannya dan dia pun sering menggodaku. Namun, pagi ini aku tak bertemu dengannya. “Mungkin dia terlambat datang gara-gara bangun kesiangan.” Pikirku. Aku langsung saja bergegas masuk kelas.

Bel istirahat telah berbunyi kembali, aku dan sahabatku menuju ke kantin sekolah. Karena seperti biasa setiap jam istirahat kami ke kantin untuk mengisi perut. Aku bertemu Amin. Dia berjalan ke arahku. “Aduh, mati aku!” dalam hatiku berkata. Jantungku berdebar lagi. Amin langsung mendekatiku. “hei....” sapanya padaku. Aku pun tersenyum. “Gimana?” tanyanya. Dia menagih jawabanku. Aku merasa kebingungan dan salah tingkah. “Hmm, nanti pulang sekolah saja ya?” jawabku. “Ya sudah deh. Nanti saya tunggu di terminal helef dekat orang jualan ketoprak ya?” kata Amin dengan nada yang lancar. Dia langsung berbalik arah dan berjalan meninggalkanku. Jam istirahat telah usai, kami langsung bergegas masuk ke dalam kelas. Pikiranku kembali lagi memikirkan ucapan Amin yang menungguku usai pelajaran sekolah.

Jam pelajaran pun telah usai, aku memiliki janji dengan Amin. Aku berjalan mengayunkan kakiku kembali untuk bertemu dengannya. Seperti kemarin, dia sudah menungguku. Tetapi bedanya, kemarin dia menungguku di luar gerbang sekolah, namun sekarang dia menungguku di dekat terminal helef dekat orang jualan ketoprak. Aku pun segera menemuinya. Kakiku terus saja melangkah sampai aku menemui sosok yang kucari. Aku melihatnya dan aku segera mendekatinya. Aku tak’ tega membiarkannya yang penasaran akan menunggu jawabanku. Jantungku masih tetap berdebar kencang. Dalam hati, aku ingin berucap seribu kata. Meski kuyakin, dia sebenarnya tahu apa yang aku rasakan. Tak lama, kami pun bercakap-cakap. Amin memegang jemariku. Dan pada akhirnya aku pun memberi jawaban yang kemarin “Amin, Aku juga sebenarnya suka sama kamu. Entah mengapa akhir-akhir ini perasaanku berbeda. Apa mungkin perasaanku sama seperti perasaanmu ya? Sepertinya memang benar, aku memiliki rasa sayang ke kamu.” Melepaskan kata-kataku dengan lega, sambil tersenyum malu. Rasa dag dig dug der dalam jantungku sedikit demi sedikit semakin berkurang. Rasanya benar-benar lega sekali saat melepaskan jawaban tadi. Dia yang memegang erat jemariku, membuat keputusan dan dia pun berjanji tidak akan membuatku kesal lagi, dia akan menjagaku, dan tidak akan mengecewakan aku. Apa yang kudengar sangat menyentuh perasaanku. Dia meluluhkan hatiku dan melunturkan kebencianku. Aku menyambut cintanya dengan hati yang terbuka lebar.

Dia menyesali semua kesalahannya yang selalu membuatku kesal dan sampai membencinya. Memang tak mungkin memutar waktu yang telah berlalu. Jadi, tak perlu disesali karena semuanya sudah berlalu. Hidup ini bagaikan roda berputar, anggap saja semuanya sudah menjadi sebuah cerita. Kisah yang tak kan pernah bisa terlupakan. Semoga dia bisa membangkitkan semangatku. Aku pun begitu, tak kan mengecewakannya. Aku menarik napas panjang. Aku mengerutkan kening, masih tak percaya. Semua bagaikan seperti mimpi dan semua di luar dugaanku. Rasanya tak inginku berlarut-larut dalam kebencian dan keraguan. Semuanya tersiram oleh kasih yang berselimut cinta. Aku akui rasa yang terpendam itu. Dan aku termenung menatapnya. Bahagia di mata Amin membuatku semakin yakin. Bahwa dia serius dengan ucapannya. Dan aku termangguk tanda setuju untuk menjadi separuh dari hatinya. Kami merajut kasih tali. Dan akhirnya benci itu memang benar berubah menjadi sebuah cinta. Hingga saat ini cintanya masih melekat dihatiku dan kasih sayangnya masih selalu menemani hari-hariku dalam kesetiaan yang penuh dengan kesabaran.

 

 

        ____Charise___

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun