Mohon tunggu...
Charise Ani
Charise Ani Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Benci Menjadi Benih Cinta

21 Juni 2015   14:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:31 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat jam istirahat, aku iseng berjalan menuju kantin sekolah. Amin memanggilku, tetapi aku tak’ memperdulikannya karena aku takut dia ngerjain aku lagi. Amin berlari mendekati aku, dan aku menghindar darinya. Namun dia tetap menghampiri aku dan memberhentikan langkahku. Matanya menatapku seakan-akan untuk meyakinkan aku, “Ris, aku minta maaf jika selama ini telah membuatmu kesal.” ucapnya sambil menatapku tajam. “Sumpah Ris, aku tak bermaksud membuatmu kesal dan sampai membenci aku.” diulangnya kata-kata itu seperti dihantui rasa bersalah.

Tetapi aku tidak yakin dia benar-benar serius minta maaf atau tidak. Aku berfikir jangan-jangan dia cuma pura-pura. Soalnya, setau aku selama ini dia tidak pernah serius dan aku tidak bisa menebak saat dia bercanda atau pun serius. “Ya sudahlah, yang sudah ya sudah. Kalau memang kamu serius meminta maaf, ya tidak usah diulangi lagi!” ucapku dengan senyum beku. “Aku serius minta maaf ke kamu Ris.” Kata-katanya berusaha selalu meyakinkan aku agar memaafkannya.

“Ris, nanti pulang sekolah aku tunggu di depan gerbang ya..?” katanya dengan wajah yang menatapku dengan penuh senyum. Tapi aku tetap jutek dan tak membalas senyumannya itu. “Ya, lihat saja nanti!” jawabku sambil menghindar. Aku pun langsung melangkah menuju kelas, namun fikiranku jadi teringat oleh kata-kata Amin. Dia akan menungguku di depan gebang sekolah saat jam pelajaran telah usai. Jantungku sedikit berdebar dan hatiku bertanya-tanya kembali “Ada apa ya dengan Amin? Kenapa ko dia ingin menungguku setelah jam pelajaran usai? Mau bicara apalagi dia? Atau apa dia ingin ngerjain aku lagi ya?!” aku terus bertanya-tanya dalam benak dan seakan-akan pertanyaan yang ada dalam hatiku tak henti-hentinya.

Akhirnya, bel sekolah berbunyi, menandakan waktu jam pelajaran telah usai. Aku bergegas pulang dan berjalan mengayunkan langkahku setengah berlari. Tetap berlari, hingga kudapatkan sosok yang kucari, seseorang yang sedang menungguku di depan gerbang sekolah. Kutepis lelah yang membuat napasku tersengal. “Kuyakin kamu pasti datang!” tutur Amin saat aku berdiri dihadapannya. Aku menatap matanya dengan penuh rasa curiga dan gemetar. Tapi mengapa hati ini merasakan ada sesuatu yang aneh. Detak jantungku mulai tak terkendali, berdetak begitu kencang. Ini tak’ pernah aku rasakan sebelumnya. Sungguh aneh, mengapa semuanya berubah dalam sekejap. Yang tadinya penuh dengan rasa kebencian dan curiga, tapi saat lama aku bercakap-cakap dan berdiri dihadapannya aku merasakan ketenangan. Rasa kebencianku telah pudar. Tangannya memegang erat jemariku, sambil menatapku teduh. Seakan-akan dia ingin mengutarakan sesuatu padaku.

Tiba-tiba tubuhku terasa gemetar. Aku pun tak berani menatap bola matanya. Anehnya, aku jadi setia mendengarkan dia berbicara. Karena, biasanya kalau dia berbicara aku selalu cuek, jutek dan tak’ pernah menanggapinya dengan serius. Tapi entah mengapa, semua rasa itu jadi pudar. Dan entah mengapa perasaan benci itu bisa hilang seketika. Aku pun tak mengerti! Anehkan, dengan waktu yang sekejab saja, aku jadi murah senyum padanya, aku pun setia saat dia berkata. Seperti ada yang menyulap hatiku, agar aku tidak jutek dan benci lagi dengannya. Aku mendengarkan perkataanya, “Maaf jika aku sudah menyita waktumu, Ris.” katanya dengan nada yang penuh gemetar.

“Ris, sebenarnya aku ini sayang sama kamu. Pertama aku melihat kamu, namun sulit bagiku untuk mengutarakannya.” ucapnya sambil menatapku dengan penuh keseriusan. Aku berusaha mengalihkan pembicaraannya itu, pura-pura aku tak’ mengerti. Tapi bagaimana mungkin sosok pria yang hanya kukenal sekilas, selalu membuat kukesal dan selalu mengejekku, dia sebenarnya memendam rasa sayangnya padaku. Apa yang aku dengar tadi sangat membuatku terkejut. Dia sadar sepenuhnya akan ucapannya yang telah dilontarkannya barusan. Dia pun terus memandangiku. Aku menunduk dan sulit bagiku untuk berkata sesuatu. Jantungku terus berdetak dengan kencang tak’ terkendali. Aku paksakan untuk aku menjawab yang sejujurnya, namun tak bisa. karena, jantungku semakin berdebar kencang dan aku pun semakin tegang. Dia terus meyakinkan perasaanku.  Aku berusaha untuk menjawab “Iya, aku juga sebenarnya…,” namun kalimatku terhenti, karena aku malu untuk mengutarakannya. Aku tak bisa langsung menjawab yang sesungguhnya. Kalau sebenarnya, aku juga sudah lama mengaguminya. Dan mungkin, aku pun memiliki perasaan yang sama dengannya.

Tidak terasa satu jam telah terlewati, waktu pun terus berputar. Dan aku mengalihkan semua pembicaraannya tadi. “Min, maaf ni sudah jam 2. Saya mau pulang takut ortu saya nyariin! Pembicaraan kita dilanjut besok lagi aja deh.” Aku pun langsung mengayunkan kaki untuk mencari helef alias angkot. Amin mengejarku, dia terus berusaha ingin meyakinkan perasaanku. “Ris gimana?” katanya dengan penuh penasaran dan berjalan mengejarku. “Gimana apanya?” jawabku sambil terus berjalan untuk mencari helef jurusan Cirebon-Losari yang melewati Gebang. Karena aku tinggal di daerah Perum Gebang.

Amin terus berjalan mengejarku. Dan bertanya lagi “Jawabannya gimana? Gimana dengan perasaanmu, Ris?” memaksaku untuk menjawab secepatnya. Aku terhenti dan membalas perkataannya “Besok aja deh! Tapi, Insya allah ya!”. Aku melanjutkan langkahku, akhirnya aku melihat sebuah helef jurusan Cirebon-Losari. Aku menyegatnya dan helef tersebut pun berhenti dihadapanku, lalu aku pun bergegas untuk naik kedalam helef tersebut. Setelah aku duduk di dalam helef, bola mataku terarah ke jendela untuk melihat Amin. Aku tersenyum dan melambaikan tanganku ke arah Amin. Amin pun membalas senyumanku.

Keesokan harinya, seperti biasa aku aktif untuk berangkat ke sekolah. Pagi-pagi aku tak melihat wajah Amin. Biasanya setiap pagi aku sering bertemu dengannya dan dia pun sering menggodaku. Namun, pagi ini aku tak bertemu dengannya. “Mungkin dia terlambat datang gara-gara bangun kesiangan.” Pikirku. Aku langsung saja bergegas masuk kelas.

Bel istirahat telah berbunyi kembali, aku dan sahabatku menuju ke kantin sekolah. Karena seperti biasa setiap jam istirahat kami ke kantin untuk mengisi perut. Aku bertemu Amin. Dia berjalan ke arahku. “Aduh, mati aku!” dalam hatiku berkata. Jantungku berdebar lagi. Amin langsung mendekatiku. “hei....” sapanya padaku. Aku pun tersenyum. “Gimana?” tanyanya. Dia menagih jawabanku. Aku merasa kebingungan dan salah tingkah. “Hmm, nanti pulang sekolah saja ya?” jawabku. “Ya sudah deh. Nanti saya tunggu di terminal helef dekat orang jualan ketoprak ya?” kata Amin dengan nada yang lancar. Dia langsung berbalik arah dan berjalan meninggalkanku. Jam istirahat telah usai, kami langsung bergegas masuk ke dalam kelas. Pikiranku kembali lagi memikirkan ucapan Amin yang menungguku usai pelajaran sekolah.

Jam pelajaran pun telah usai, aku memiliki janji dengan Amin. Aku berjalan mengayunkan kakiku kembali untuk bertemu dengannya. Seperti kemarin, dia sudah menungguku. Tetapi bedanya, kemarin dia menungguku di luar gerbang sekolah, namun sekarang dia menungguku di dekat terminal helef dekat orang jualan ketoprak. Aku pun segera menemuinya. Kakiku terus saja melangkah sampai aku menemui sosok yang kucari. Aku melihatnya dan aku segera mendekatinya. Aku tak’ tega membiarkannya yang penasaran akan menunggu jawabanku. Jantungku masih tetap berdebar kencang. Dalam hati, aku ingin berucap seribu kata. Meski kuyakin, dia sebenarnya tahu apa yang aku rasakan. Tak lama, kami pun bercakap-cakap. Amin memegang jemariku. Dan pada akhirnya aku pun memberi jawaban yang kemarin “Amin, Aku juga sebenarnya suka sama kamu. Entah mengapa akhir-akhir ini perasaanku berbeda. Apa mungkin perasaanku sama seperti perasaanmu ya? Sepertinya memang benar, aku memiliki rasa sayang ke kamu.” Melepaskan kata-kataku dengan lega, sambil tersenyum malu. Rasa dag dig dug der dalam jantungku sedikit demi sedikit semakin berkurang. Rasanya benar-benar lega sekali saat melepaskan jawaban tadi. Dia yang memegang erat jemariku, membuat keputusan dan dia pun berjanji tidak akan membuatku kesal lagi, dia akan menjagaku, dan tidak akan mengecewakan aku. Apa yang kudengar sangat menyentuh perasaanku. Dia meluluhkan hatiku dan melunturkan kebencianku. Aku menyambut cintanya dengan hati yang terbuka lebar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun