Bunda Gendhis pernah bercerita tentang sepasang suami istri disabilitas daksa yang tak bisa kemana-mana. Rumah mereka hanya sepetak, terbuat dari kayu. Meski masih di kota Palembang, tapi akses jalannya sulit menuju sana. Mereka sehari-hari hanya berdiam diri di rumah. Adapun pakaian yang mereka kenakan dan barang-barang rumahnya, semuanya pemberian dari warga sekitar dan kerabat. "Usia mereka sebenarnya masih muda, tetapi mereka seperti paruh baya." kata Bunda Gendhis prihatin.Â
Adapun tugasku untuk komunitas ini ialah mempublikasikan kegiatan komunitas ke dunia maya. Telah kubuat media sosial Instagram @sharingdisability sebagai wadah penyiarannya. Agar komunitas ini dapat bertumbuh dan dikenal oleh khalayak ramai.Â
Hari Sabtu kemarin aku dan ayah ikut serta lagi kumpul-kumpul bersama rekan komunitas Sharing Disability. Keluarga kami kian bertambah dengan adanya banyak teman-teman sesama disabilitas. Rata-rata mereka teman dari Pak Sapta, Bunda Gendhis dan suaminya.Â
Aku berkenalan dengan Bu Gemi, notaris di Musi Banyuasin, yang juga seorang penyandang disabilitas fisik. Beliau ditemani oleh suaminya yang non disabilitas. Saat acara makan-makan, Bu Gemi disuapi oleh suaminya yang kelihatan sayang sekali sama beliau. Soalnya Bu Gemi sulit makan sendiri menggunakan tangan.Â
Kehidupan penyandang disabilitas sebenarnya menarik untuk diceritakan. Dengan keterbatasan fisik, mereka banyak yang ingin menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama. Komunitas Sharing Disability contohnya. Sebuah komunitas disabilitas yang diharapkan menjadi percontohan di kota-kota lain. Semoga komunitas ini bisa berkembang di masa depan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H