Mohon tunggu...
Firsty Ukhti Molyndi
Firsty Ukhti Molyndi Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Korean Enthusiast | Cerebral Palsy Disability Survivor

Seorang blogger tuna daksa dari Palembang. Memiliki minat tulis-menulis sejak kecil. Menulis berbagai problematika sehari-hari dan menyebarkan kepedulian terhadap kaum disabilitas. Blog: www.molzania.com www.wahkorea.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sharing Disability, Komunitas Berbagi dari Disabilitas untuk Disabilitas

3 September 2023   08:00 Diperbarui: 3 September 2023   08:21 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Agenda Pertemuan Komunitas Sharing Disability Palembang/Dok Pribadi

Berbekal niat tulus dari sepasang disabilitas yang istrinya kupanggil Bunda Gendhis. Berawal dari 4 tahun lalu, cikal bakal komunitas Sharing Disability ini dibentuk. Bunda Gendhis dan suaminya, Pak Wide, adalah pasangan disabilitas fisik yang pertama kali berniat membentuk komunitas yang didasari keinginan berbagi dari disabilitas untuk disabilitas. Bunda Gendhis seorang pengguna kursi roda, sementara suaminya sehari-hari menggunakan kruk. 

Dirinya banyak melihat kalau selama ini disabilitas seringkali diberikan bantuan. Namun ternyata tidak tepat guna. Banyak dari bantuan tersebut, disabilitas disuruh untuk mengambilnya langsung. Padahal disabilitas sendiri kesulitan untuk keluar rumah. Curahan hatinya itu lalu disambut oleh Pak Sapta, aku dan ayah. Kami semua lalu sepakat untuk membesarkan komunitas yang bernama Sharing Disability ini.

Pak Sapta, seorang disabilitas netra kelulusan Universitas Indonesia, mengamini curhatan Bunda Gendhis. Beliau berkata bahwa jika disabilitas sendiri yang terlibat langsung memberikan bantuan, maka kaum disabilitas akan paham bantuan apa yang seharusnya diberikan. Untuk itu komunitas yang dibentuk langsung oleh disabilitas seperti Sharing Disability ini sungguh tepat. 

Masalahnya ada pada data disabilitas di Indonesia yang masih carut marut. Laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa terdapat kesenjangan data-data disabilitas resmi milik pemerintah. Angka-angka jumlah penyandang disabilitas relatif bervariasi. Banyak data resmi yang menunjukkan angka sebesar 4 dan 5 persen. Padahal rata-rata global jauh lebih tinggi dari data resmi milik pemerintah. 

Pak Sapta, teman disabilitas netra yang juga jadi Bendahara komunitas/Dok Pribadi
Pak Sapta, teman disabilitas netra yang juga jadi Bendahara komunitas/Dok Pribadi

Menurut WHO, secara global diperkirakan ada sekitar 16 persen populasi dunia atau sekitar 1,3 miliar. Sementara itu data terbaru dari pemerintah Indonesia, penyandang disabilitas hanya mencapai 8,5 persen atau sekitar 22,97 juta Jiwa. 

Masih banyak disabilitas di luar sana yang tidak tersentuh bantuan. Hanya karena mereka tinggal di pelosok dan tidak mampu bersosialisasi. Di sini disabilitas masih dianggap sebagai suatu aib dan masalah besar. Banyak orang yang sebenarnya mereka termasuk disabilitas, namun enggan untuk mengakuinya. Sehingga hal ini juga semakin mempersulit dalam mengumpulkan data terkait jumlah disabilitas secara resmi. 

"Banyak anak disabilitas yang malah disembunyikan orang tuanya. " keluh Pak Sapta, "Sehingga mereka belum terdata.". 

Kenyataan pahit ini ditemui secara langsung oleh Bunda Gendhis dan suaminya. Berkat keduanya, Komunitas Sharing Disability ini dapat berjalan. Selama ini, Bunda Gendhis dan suaminya aktif menyalurkan bantuan dari para donatur. Dibantu pula oleh Pak Sapta yang bersedia meminjamkan nomor rekeningnya untuk menerima bantuan. Mereka juga mendata disabilitas mana yang belum tersentuh bantuan pemerintah. 

"Soalnya banyak disabilitas yang tidak bisa aktif bersosialisasi dengan warga sekitar, sehingga kurang dikenal di lingkungannya." jelas Bunda Gendhis. Bersama suaminya, Bunda Gendhis rela pergi hingga ke pelosok kota Palembang untuk memberikan sembako dan kebutuhan sehari-hari. Alat transportasinya, ya mobil mereka sendiri.

Bunda Gendhis pernah bercerita tentang sepasang suami istri disabilitas daksa yang tak bisa kemana-mana. Rumah mereka hanya sepetak, terbuat dari kayu. Meski masih di kota Palembang, tapi akses jalannya sulit menuju sana. Mereka sehari-hari hanya berdiam diri di rumah. Adapun pakaian yang mereka kenakan dan barang-barang rumahnya, semuanya pemberian dari warga sekitar dan kerabat. "Usia mereka sebenarnya masih muda, tetapi mereka seperti paruh baya." kata Bunda Gendhis prihatin. 

Adapun tugasku untuk komunitas ini ialah mempublikasikan kegiatan komunitas ke dunia maya. Telah kubuat media sosial Instagram @sharingdisability sebagai wadah penyiarannya. Agar komunitas ini dapat bertumbuh dan dikenal oleh khalayak ramai. 

Hari Sabtu kemarin aku dan ayah ikut serta lagi kumpul-kumpul bersama rekan komunitas Sharing Disability. Keluarga kami kian bertambah dengan adanya banyak teman-teman sesama disabilitas. Rata-rata mereka teman dari Pak Sapta, Bunda Gendhis dan suaminya. 

Aku berkenalan dengan Bu Gemi, notaris di Musi Banyuasin, yang juga seorang penyandang disabilitas fisik. Beliau ditemani oleh suaminya yang non disabilitas. Saat acara makan-makan, Bu Gemi disuapi oleh suaminya yang kelihatan sayang sekali sama beliau. Soalnya Bu Gemi sulit makan sendiri menggunakan tangan. 

Berfoto dengan Bu Gemi dan Suaminya/Dok Pribadi
Berfoto dengan Bu Gemi dan Suaminya/Dok Pribadi

Kehidupan penyandang disabilitas sebenarnya menarik untuk diceritakan. Dengan keterbatasan fisik, mereka banyak yang ingin menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama. Komunitas Sharing Disability contohnya. Sebuah komunitas disabilitas yang diharapkan menjadi percontohan di kota-kota lain. Semoga komunitas ini bisa berkembang di masa depan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun