3.  Budaya Malu Sekali,  dalam bahasa Tetun/Dawan  yakni Moe An/Mae Ntia
Budaya Moe/ An/ Mae Ntia merupakan  perasaan yang sangat bersalah  yang diikuti penyesalan diri yang mendalam akan kata atau perbuatan yang sudah diutarakan dan atau dilakukan. Perilaku yang telah salah ini menuntut pribadi yang bersalah harus berubah.Â
Tidak berubah maka orang tersebut dihindari dari pergaulan masyarakat. Maka terdengan dari mulut orang tua, " jangan bergaul atau jalan dengan dia". Ini berarti perilaku orang itu tidak tepat dan tidak pantas ada pada masyarakat itu.
4. Budaya Tidak Tahu Malu,  dalam bahasa Tetun/Dawan yakni  Moe Lalek/Kanmui' Mamae.
Budaya Moe lalek/Kanmui' Mamae merupakan perilaku yang tidak memiliki perasaan lagi malu baik kepada keluarganya maupun masyarakat. Perilaku ini lahir dari keluarga-keluarga yang tidak menatar dan membimbing anak-anak untuk berperilaku yang baik. Budaya tidak tahu malu merujuk pada perbuatan. Seperti mengambil barang milik orang lain dengan tak sepengetahuan tuannya, koruptor dan  menyalahgunakan barang milik umum.
5. Â Budaya Tidak pernah punya perasaan malu sama sekali, Â dalam bahasa Tetun/Dawan Yakni Notar lalek/Rara' Maten.
Budaya Notar lalek/ Rara' Maten merupakan perbuatan yang tidak terpuji yang dilakukan seseorang dengan tidak mengindahkan etika dan norma sosial yang ada dan melekat pada masyarakat. Tingkatan ini secara adat yang bersangkutan diberikan denda adat agar tidak mengurangi perbuatannya. Dimana norma dan etika sama sekali tidak diindahkan oleh yang bersangkutan.
6. Â Budaya Sama dengan Kera, Â dalam bahasa Tetun/Dawan Yakni Karawa/bero.
Budaya Karawa/Bero merupakan perbuatan yang sesunguhnya bukan manusia lagi. Tetapi ia sesungguhnya identik dengan hewan yakni kera yang tidak memiliki perasaan malu. Bahkan perbuatan tersebut muncul bahasa dimana manusia disamakan dengan hewan berupa anjing, babi, kera. Sehingga terdengar dalam masyarakat ada keluarga-keluarga binatang. Suami kata kepada istri, "babi", istri kata kepada suami, "anjing" dan kepada anak, Â "kera".
Enam tingkat budaya malu yang ada pada masyarakat Timor, sesungguhnya merupakan cerminan yang lahir dari peradaban budaya leluhur yang telah lama ada. Cerminan Budaya malu dapat memelihara martabat kerja yang luhur dan harga diri manusia akan perbuatan yang tidak pantas dan berkenan. Bahkan  sebagai tindakan introspeksi diri akan hal-hal yang berbau negative dan koruptor.Â
Budaya malu pun menjadi sebuah panglima hati yang selalu menegur dan berbisik agar tindakan- tindakan sosial manusia selalu hati-hati dan waspada. Sebab manusia lemah dagingnya akan ajakan-ajakan dunia digital yang harus dihadapi dalam kehidupan masyarakat. Maka budaya malu selalu menuntun orang untuk setiap saat selalu jalan kembali kepada dirinya sendiri. Baik secara pribadi, pribadi dengan pribadi maupun pribadi dengan Allah yang dianutnya.