Diri-Ku, maafkan aku
Sudah berlalu saja, waktu begitu lambat tuk disadari. Rasanya baru kemarin ramadhan mengantuk sahur bersamaku, memulai niat dalam sunyi dan sepi. Menyambut hari dengan mimpi, dan sarapan buka bersama Aku. Berlalu. Serasa tiada pahala yang menyatukan-Ku padaku, hingga waktu mengutukku tuk membangunkan-Ku.
Namun semua itu tlah lambat-terlambat. Fitri telah tiba dan Aku-pun belum juga terjaga. Ramadhan, sahur, buka, fitri, “TAK ADA.” – dalam batinku.
***
Aku-pun tak ada, ketika orang-orang menjabat jemariku. Tak ada.
Aku-pun tak ada, ketika orang-orang berdoa bersamaku. Tak ada.
Tapi,
Aku-pun ada, ketika orang-orang tak ada.
Aku hanya bersamaku, tak bersama-Mu.
***
Tuk itu aku berlebaran seorang diri, tanpa rindu. Hanya ruangan mati, pena, kertas, dan api. Maafkan, ”ujarku.” Aku tlah tenggelam dalam pena, kertas, serta kata, tak ada lainnya. Maafkan, “kataku.” Semoga.
Ya, semoga diri-Ku memaafkanku. “Hanya untukmu diri, aku berdosa sekaligus peduli.”
Maaf jika aku selalu menyembunyikan kepedulian-Ku padaku/ Maaf jika aku selalu mengalihkan hasrat-Ku padaku/ Maaf jika aku selalu menekan cinta-Ku padaku/ Maaf jika aku hanya menjadi aku, bukan kita “aku dan Aku.”
***
Lantas, apa permaafanku diterima oleh-Ku? Entah, aku tak begitu peduli, karena keyakinanku tak lagi percaya pada “kata maaf.” Bagiku maaf tak hanya maaf, ia perubahan. Maaf yalah perubahan.
Rubahlah aku, Aku!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H