Cerpen Kang Dwi
Sontak bocah-bocah itu berteriak, saling melempar ejekan, lalu terbahak, berlarian menuju tempat berkumpul setelah matahari tergelincir. Ada saja kelakuan mereka, mengambil rumput teki, dibentuk menyerupai raket (batangnya dipegang dengan bentuk melingkar di bagian atasnya), kedua batang antar lawan dimasukkan ke lingkaran satu sama lain. Lalu saling adu siapa yang terkuat tidak putus. Sedangkan bocah lainnya bersenandung, ayang ayang gung, gung goongna rame, menak ki mas tanu nu jadi walanda..., lalu kembali terbahak.
Hanya bocah yang punya nyali, memiliki tubuh besar--dengan menakjubkan--berdiri di jembatan kecil mengambil ancang-ancang, melompat, berjungkir balik sebelum menceburkan tubuhnya ke dalam arus. Sesaat bocah itu tenggelam, lalu menyembulkan kepalanya sembari tersenyum penuh kebanggaan. Menyiprat-nyiprat air dengan kedua kaki yang seperti melambai, menghamburkan air ke segala arah, membasahi orang-orang yang selonjoran dengan kaki menggantung di atas jembatan tadi. Keseruannya bukan hanya ketika mereka salto dan menceburkan diri, mereka beradu seberapa cantik gaya berenang dengan meliuk-liukkan badan melawan arus sungai.
Selalu seperti itu. Sore yang ramai di bantaran sungai kampungku. Benar-benar menyenangkan melihat hiruk pikuk seperti itu. Anak-anak yang lebih besar lagi, usia remaja, berkelompok tiga-empat laki-laki. Lalu saling lirik dengan sekumpulan gadis dengan jumlah yang nyaris sama berlawanan jenis. Gombalan-gombalan receh dilemparkan malu-malu yang membuat pipi para gadis merona. Diselingi tawa yang dipaksakan, hanya agar tampak menyenangkan.
Aku sendiri selalu saja duduk di atas seonggok batu sebesar anak munding, tempat paling nyaman yang biasa aku duduki, mengamati semua yang terjadi setiap sorenya. Bentuk batu itu memang menyerupai munding. Itulah kenapa orang-orang menamakannya jojodog anak munding. Bahkan setiap pagi, setiap siang, terkadang pada tengah malam pun, aku akan duduk di jojodog anak munding, hanya untuk meyakinkan air sungai tetap mengalir.
Aku tidak seperti bocah lain seumuran yang selalu riang gembira berhamburan dengan bocah lainnya, saling bercanda tawa, yang terkadang diselingi pertengkaran kecil, "manéh wanina ka budak leutik", "sok kadieu lamun wani", "digulung ku urang", atau bocah yang nyalinya ciut, lalu jurus pamungkas "béjakeun ka bapa urang siah!"
Tidak ada. Hampir semua tabiat bocah umumnya tidak ada pada diriku. Diriku selalu bertanya bagaimana bisa air terus mengalir seperti itu. Dari mana sumber airnya, kenapa tidak habis atau mengering, padahal tempatnya lebih tinggi dibanding bagian hilir. Kalau kata bapakku air sungai itu berasal dari hujan. Lalu aku bertanya balik, kalau berasal dari air hujan, harusnya hujan terus turun tidak pernah reda, biar sungai tidak mengering, tetapi kenyataannya tidak seperti itu.
Perlahan, bocah-bocah itu mulai mengamati diriku yang selalu duduk di jojodog anak munding. Awalnya mereka bertanya-tanya kenapa diriku selalu terduduk di batu itu. Aku hanya tersenyum. Lama kelamaan mereka mulai berani mengata-ngataiku, lalu mengejek diam-diam, sampai pada akhirnya mencibir terang-terangan.
"Budak lhoan! Anak ingusan" kata mereka dengan wajah menghina dan tangan menunjuk ke arahku. Teriakkan yang membuat hatiku sakit. Aku hanya terdiam sambil sekali-kali memaksakan senyum. Tapi membuat bocah-bocah itu menjadi-jadi.
"Lihat anak itu, kepalanya peang. Wajahnya saja kayak alas kaki, datar! Hahaha..."
"Mana mau diajak balap lari, jalan saja masih ngesot!"
"Ingat ya, kalian jangan main sama anak kampungan itu, nanti ketularan bego."
Orang tuanya sendiri pun mengamini apa yang mereka lakukan terhadapku. Aku ingin menangis sejadi-jadinya ketika sebuah kerikil tepat mengenai mata kananku. Perih. Sesaat setelah itu seorang anak kecil berlari sekencang mungkin sambil membanggakan keberanian dirinya kepada anak kecil lainnya.
Dengan langkah kaki yang berat, aku memaksakan untuk pulang ke rumah. Setelah menyeka lelehan air di sudut mata yang semakin memerah karena lemparan kerikil tadi, aku beranikan diri untuk masuk ke rumah. Aku mengucap salam. Abah hanya melihat dengan sudut matanya sambil ongkang-ongkang kaki di kursi reyot satu-satunya yang ada di ruang tamu. Hanya Ambu saja yang menjawab salamku, walaupun tanpa ekspresi.
"Dari mana?" Katanya dengan ketus.
Aku menunjukkan jari ke arah bantaran sungai.
"Dari bantaran sungai lagi?" Tanyanya lagi. Aku hanya mengangguk pelan.
"Lain kali jangan main ke sana lagi. Mending bantu-bantu di rumah. Jagain si bungsu, bantu cuci piring, cuci baju. Pijitin abahmu itu, seharian mikirin bagaimana mencari uang buat makan."
Bagiku kata-kata Ambu itu seperti kaset yang diputar terus menerus. Diulang diputar lagi setiap hari, "kamu nggak kasihan sama Ambu tiap hari kerja seperti ini, hah? Mau jadi anak bandel, niru-niru Si Gofar jadi preman pasar tukan malakin lapak?"
Lalu sederet kalimat panjang akan menyemburat dari mulutnya sampai berbuih. Ingin rasanya segera beranjak dari tempat itu, tetapi tidak mungkin. Diam mendengar ocehan Ambu dengan mata yang semakin memerah atau dikurung di kamar mandi seharian.
***
Arus sungai yang sama di kampungku itu semakin mengayal. Permukaan airnya hanya menyisakan tiga jengkal dari dasar, dengan warna semakin pekat dan bau yang menusuk hidung. Pohon nangka yang sesekali menjadi tumpuan untuk salto menceburkan dirinya ke sungai, kini tinggal menyisakan daun kering, buahnya selalu membusuk menggantung pada dahan yang sudah rapuh. Gelas plastik Ale Ale, stereoform Sabana, atau pembalut Softex sesekali lewat di hadapanku, mengapung barengan dengan benda kekuningan yang menggumpal.
Aku kembali ke sini lagi, setelah berpuluh hari raya terlalui. Keadaan di sini jauh berubah setelah pabrik tekstil milik konglomerat asal ibu kota itu memindahkan produksinya ke kampungku. Bantaran sungai yang dulu selebar jalan dua jalur mobil, kini hanya menyisakan setapak untuk dilalui kendaraan roda dua.
Tak ada lagi anak-anak yang berani berbasah-basahan. Tidak ada lagi para remaja yang melirik lawan jenis dengan gombalan picisannya. Tak ada lagi tawa dari bocah sambil berlari berkejaran sambil mencemooh diriku lalu melempar kerikil atau ranting pohon. Tak ada lagi orang tua yang mengatai anak-anaknya agar tidak bermain dengan anak kampungan seperti diriku. Semuana tidak ada lagi.
Bulir hangat di kedua sudut mata ini kembali terasa. Kalian bisa bayangkan bagaimana sedihnya melihat hijau pepohonan di kedua bantaran sungai telah disulap menjadi tembok beton menjulang sampai langit, tidak menyisakan ruang hanya untuk sekali tarikan nafas sekalipun.
Dibalik rasa sedih yang menyayat hatiku, ada perasaan aneh yang menyembul dari ulu. Perasaan yang membuat wajahku merona, menyunggingkan senyuman. Ketika aku menyadari bahwa bocah-bocah brengsek dan orang tua bau tanah yang tidak becus mendidik itu hilang dari pandangan. Apakah mereka telah di azab Tuhan menjadi air sungai yang bau karena perlakuannya terhadapku? Atau apakah mereka telah dipanggili Tuhan untuk selamanya, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya?
Entahlah. Pikiranku terlampau senang hanya untuk memikirkan ke mana perginya manusia-manusia buruk itu. Aku ke sini hanya ingin memastikan air sungai tetap mengalir. Dan kedatanganku kali ini bukan hanya memastikan air sungai tetap mengalir, tetapi juga memastikan sungai kembali seperti dulu kala.
Jojodog anak munding masih setia menungguku, mematung sendirian dalam rasa senyap yang dingin, menunggu seseorang yang akan mendudukinya, berbincang dan bercanda tawa lagi. Aku tersenyum kepadanya, dan dia pun balik tersenyum kepadaku. Tampak sangat senang.
"Apa kabar, Nyoko?" Biasa aku memanggilnya dengan nama itu.
Tentu saja dia akan menjawab kedinginan. Pertanyaan konyol pikirku. Semenjak diriku meninggalkannya (tidak mungkin kan sebaliknya, dia, yang hanya seonggok batu, meninggalkanku) tak ada seorang pun yang peduli, setidaknya menyapa atau sekadar memberinya selimut.
Aku menyalahkan diriku sendiri, lalu meminta maaf kepada Nyoko karena sudah sembrono meninggalkannya begitu saja. Kalian tahu sendiri bagaimana rasanya ditinggalkan seseorang yang sangat kalian sayangi. Aku bilang kepadanya bahwa tidak sepenuhnya salahku, jangan menghakimi diriku dengan kejam.
"Aku tahu kau pasti marah, kecewa, bahkan benci kepadaku. Aku tahu itu, Nyoko."
"Sebagai teman baik, aku yakin kau tahu bagaimana perlakuan mereka kepadaku, bagaimana perasaanku menerima semua ejekan mereka. Aku tak tahu harus bagaimana, Nyoko. Aku tak berani mengadu ke Ambu atau Abah, karena alih-alih menguatkanku atau membelaku, mereka akan balik mengumpat aku sebagai anak dungu dan anak cacat." Kataku mengenang masa lalu.
Batu itu mulai mengeluarkan air mata dari sudutnya. "Aku pergi bukan dari tempat ini. Aku pergi dari semua manusia terkutuk itu. Aku tak ingin melihat lagi wajah-wajah itu, Nyoko. Jangan hanya menangis saja, kau harus bisa memahami dan memaafkanku!" Pintaku dengan suara semakin tercekat.
"Di tempat baru yang itu, aku sama sekali tidak pernah merasa takut. Bahkan Abah dan Ambu tidak pernah bertemu atau sekadar mencari tahu keberadaanku di mana. Bodo amat. Aku sendiri tidak pernah terlintas untuk mengharap rasa peduli mereka. Entah keajaiban apa yang menghampiriku, ada seorang gadis yang mencintaiku, Nyoko. Atau mungkin gadis itu sedang khilaf, tidak sadar dengan keadaannya sehingga mau saja mencintaiku. Kau jangan tertawa!"
Hatiku begitu senangnya bertemu kembali dengan jojodog anak munding, sampai-sampai diriku tak sadar telah basah kuyup. Hujan sedari tadi turun dan aku terus bercerita kepada Nyoko. Sayang memang, keajaiban itu tidak pernah menghampiriku. Atau diriku memang ditakdirkan untuk tidak pernah menemukan keajaiban. Gadis yang mencintaiku dan kusebut sebuah keajaiban hanyalah kosong belaka.
Dia menyatakan cintanya dan bersedia menikahiku, ternyata hanya untuk menerima tantangan dari teman-temannya. Dia akan menerima uang yang besar jika berani menikah dengan orang tolol yang pego yang ditujukan kepada diriku. Keesokan hari setelah menikah, ketika masih pagi buta, gadis itu mengumpat, "Salaki pego. Teu sudi kawin jeung lalaki belegug jiga manh!"*) Â Lalu sekonyong-konyong pergi begitu saja.
Aku yakin Nyoko memahamiku. Sepenuhnya yakin. Nyoko akan menjadi pembelaku ketika aku berada di akhirat kelak. Kalian jangan meremehkan apa pun ciptaan Tuhan, walau itu hanya seonggok batu sebesar anak kerbau, karena mereka akan menjadi saksi ketika menghadap Tuhan apa-apa yang kalian lakukan selama di dunia.
Hujan semakin deras. Suara deru dari kejauhan terdengar mendekat. Arus sungai perlahan mulai membesar, membawa hanyut bau-bauan dan sampah yang menggenang sepanjang tepi dinding sungai. Kilat sesekali menyambar disusul selang beberapa kedipan mata gemuruh guntur menggelegar.
Langit berubah menjadi gelap. Tiupan kencang angin menerbangkan dedaunan yang lepas dari rantingnya, menggoyang-goyangkan pepohonan, membuat orang-orang cemas khawatir akan terjadi sesuatu pada rumah-rumah mereka.
Kami, aku dan Nyoko, berpegangan erat. Diriku tidak pernah merasa sebahagia sepeti ini sebelumnya: duduk di atas jojodog anak kebo di bantaran sungai dan memastikan arus sungai tetap mengalir dengan baik.
***
*) Suami bisu. Tidak sudi saya kawin dengan laki-laki bodoh sepertimu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H