Aku kembali ke sini lagi, setelah berpuluh hari raya terlalui. Keadaan di sini jauh berubah setelah pabrik tekstil milik konglomerat asal ibu kota itu memindahkan produksinya ke kampungku. Bantaran sungai yang dulu selebar jalan dua jalur mobil, kini hanya menyisakan setapak untuk dilalui kendaraan roda dua.
Tak ada lagi anak-anak yang berani berbasah-basahan. Tidak ada lagi para remaja yang melirik lawan jenis dengan gombalan picisannya. Tak ada lagi tawa dari bocah sambil berlari berkejaran sambil mencemooh diriku lalu melempar kerikil atau ranting pohon. Tak ada lagi orang tua yang mengatai anak-anaknya agar tidak bermain dengan anak kampungan seperti diriku. Semuana tidak ada lagi.
Bulir hangat di kedua sudut mata ini kembali terasa. Kalian bisa bayangkan bagaimana sedihnya melihat hijau pepohonan di kedua bantaran sungai telah disulap menjadi tembok beton menjulang sampai langit, tidak menyisakan ruang hanya untuk sekali tarikan nafas sekalipun.
Dibalik rasa sedih yang menyayat hatiku, ada perasaan aneh yang menyembul dari ulu. Perasaan yang membuat wajahku merona, menyunggingkan senyuman. Ketika aku menyadari bahwa bocah-bocah brengsek dan orang tua bau tanah yang tidak becus mendidik itu hilang dari pandangan. Apakah mereka telah di azab Tuhan menjadi air sungai yang bau karena perlakuannya terhadapku? Atau apakah mereka telah dipanggili Tuhan untuk selamanya, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya?
Entahlah. Pikiranku terlampau senang hanya untuk memikirkan ke mana perginya manusia-manusia buruk itu. Aku ke sini hanya ingin memastikan air sungai tetap mengalir. Dan kedatanganku kali ini bukan hanya memastikan air sungai tetap mengalir, tetapi juga memastikan sungai kembali seperti dulu kala.
Jojodog anak munding masih setia menungguku, mematung sendirian dalam rasa senyap yang dingin, menunggu seseorang yang akan mendudukinya, berbincang dan bercanda tawa lagi. Aku tersenyum kepadanya, dan dia pun balik tersenyum kepadaku. Tampak sangat senang.
"Apa kabar, Nyoko?" Biasa aku memanggilnya dengan nama itu.
Tentu saja dia akan menjawab kedinginan. Pertanyaan konyol pikirku. Semenjak diriku meninggalkannya (tidak mungkin kan sebaliknya, dia, yang hanya seonggok batu, meninggalkanku) tak ada seorang pun yang peduli, setidaknya menyapa atau sekadar memberinya selimut.
Aku menyalahkan diriku sendiri, lalu meminta maaf kepada Nyoko karena sudah sembrono meninggalkannya begitu saja. Kalian tahu sendiri bagaimana rasanya ditinggalkan seseorang yang sangat kalian sayangi. Aku bilang kepadanya bahwa tidak sepenuhnya salahku, jangan menghakimi diriku dengan kejam.
"Aku tahu kau pasti marah, kecewa, bahkan benci kepadaku. Aku tahu itu, Nyoko."
"Sebagai teman baik, aku yakin kau tahu bagaimana perlakuan mereka kepadaku, bagaimana perasaanku menerima semua ejekan mereka. Aku tak tahu harus bagaimana, Nyoko. Aku tak berani mengadu ke Ambu atau Abah, karena alih-alih menguatkanku atau membelaku, mereka akan balik mengumpat aku sebagai anak dungu dan anak cacat." Kataku mengenang masa lalu.