Mohon tunggu...
Moh Tamimi
Moh Tamimi Mohon Tunggu... Jurnalis - Satu cerita untuk semua

Mencari jejak, memahami makna.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Semaling-malingnya Maling Madura, Masih Lebih Maling Maling Jakarta

18 Agustus 2021   07:39 Diperbarui: 18 Agustus 2021   09:58 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Utama: "Bukan Koruptor" karya Moh. Tamimi 


Masih ingat dengan lagu ini, "Maling kau maling kau maling, jangan teriak maling, bila kau maling, jangan berisik." Ingat kan? Iyalah, masah gak ingat, itu kan lagu yang sering kamu nyanyikan di kamar mandi sambil jingkrak-jingkrak.

Kira-kira, malingnya siapa? orang Madura bukan? Yang dicuri apa? Kalau yang dicuri sapi, kemungkinan besar itu orang Madura. Kalau Bansos? Kalau yang dicuri adalah hati loe, ya gue lah itu orangnya. Hehe

Maling yang sering mencuri uang di senayan itu, saya gak mau tanya lagi, terlalu banyak vrooh. Ibarat kata, kalau dulu konon Khalifah Harun Ar-Rasyid bertanya kepada Abu Nawas,  "Lebih banyak mana antara bintang di langit dan ikan di lautan?" 

Maka dalam konteks kekinian kira-kira begini pertanyaannya, "Mana lebih banyak antara maling sapi di desa dengan maling uang di kota?" Seandainya saya Abu Nawas, maka saya tak akan ragu menjawab, "Lebih banyak maling uang di kota karena sudah ditangkap setiap hari tapi tak habis-habis."

Menurut Saut Situmorang dalam akun Facebook yang diposting pada tanggal 25 Agustus 2017 pukul 21.05, "Koruptor adalah maling paling rendah dalam hierarki maling. Lebih rendah malah dibanding maling jemuran." Saya sangat setuju dengan pernyataan Saut Situmorang ini. 

Ya iya lah, koruptor itu seperti ular berkepala tikus. Kepalanya, dengan "giginya", berguna untuk menggigit loker uang sedangkan tubuhnya berguna untuk berkelit, membebaskan diri dan melilit balik pengusiknya. Tentu beda dong dengan maling khas Madura. Anda tahu gak maling Madura seperti apa? Ini ciri khasnya:

Memiliki Intel sekelas FBI dan CIA
Para maling Madura takkan mencuri sebelum tahu seluk beluk wilayah yang akan "diinvasinya" pada malam hari. Oleh karena itu, mereka menerjunkan para intelejennya untuk mengorek informasi wilayah tujuannya. Biasanya, para intelejen ini adalah orang "dalam", warga sekitar yang menjadi sekutunya dalam blok maling.

Cinta Tanah Air
Sejahat-jahatnya maling Madura karena telah mencuri hak orang lain, mereka tetap cinta tanah air, tanah kelahirannya sendiri. Buktinya, mereka tidak mencuri di wilayahnya/desanya sendiri, kecuali ditantang oleh tuan rumah. 

Mereka akan mencuri ke desa antah berantah yang terlebih dahulu disurvei, kondisi jalannya, bobot calon curiannya, siapa pemiliknya, serta di mana letaknya.

Apabila ada yang menghina tanah airnya, desanya, ia tak segan untuk berdiri paling depan. Dia siap bertempur mati-matian. Mereka mah melakukan aksi nyata bukan hanya koar-koar di media.

Peduli sesama
Jangan kira para maling Madura ini beringas terus tak kenal ampun. Tidak. Mereka tetap peduli sesama, baik sesama maling maupun sesama manusia. Ketika pemilihan kepala desa, misalnya, merekalah pengaman tanpa SK dari pemerintah. Kalau cuma pu*isi, maju-mundur cantik untuk menghadapinya, toh meraka sudah kebal.

Mereka juga turut mengamankan desa. Jangan harap desa akan aman jika belum menggunakan jasa maling untuk mengamankannya. 

Mereka turut bertanggung jawab atas kehilangan di suatu desa yang menjadi tanggungannya dengan cara menelusuri para sindikat maling yang lain dan turut mencari barang yang hilang sampai ketemu. Ini sebagai wujud tanggung jawabnya sebagai penanggung jawab dan sebagai bentuk kepeduliannya terhadap sesama manusia.

Religius
Madura kental dengan pesantrennya, masyarakatnya yang religius, yang selalu melaksanakan tahlilan, muludan, barzanjian. Demikian juga dengan para maling, mereka tetap ikut tahlilan, muludan, dan barzanjian sebagaimana biasanya, memakai sarung, baju koko, dan songkok. Tentu saja, maling Madura pinter ngaji.

Satu lagi, sebelum beraksi, bahkan berbulan-bulan sebelumnya, mereka lebih dulu melakukan tapabrata untuk mengumpulkan tenaga dan kesaktian dalam mengantisipasi segala kemungkinan. Jangan kira mereka tidak melakukan ritual dan persiapan yang matang untuk hal ini. Bisa saja, puasanya, ngajinya, mereka lebih hebat dari kita-kita yang mengaku sebagai bukan maling.

Dunia permalingan dijadikan profesi,
beda dengan profesi-profesi lain. Profesi maling ini tidak membuat kaya pelakunya karena menjadi maling di sini cukup untuk hidup sederhana, kecuali bosnya. Duit mereka takkan pernah sampai miliaran seperti koruptor. 

Meskipun demikian, sebagaimana profesi, di tengah-tengah masyarakat ia tetap dikenal sebagai maling, tetapi takkan digebuk massa, secara gitu, orang Madura anti mainstream. Akan tetapi, jika kepergok saat beraksi dan ketangkap basah, bersiap-siaplah bertemu malaikat Mungkar dan Nakir.

Demikian sebagian ciri-ciri maling khas Madura yang saya kira sudah mewakili secara keseluruhan. Apabila ada maling dengan ciri-ciri demikian, silahkan ditelusuri, apakah ia orang Madura. Akan tetapi, jika hanya sebagian dari ciri-ciri di atas, maka kemungkinan besar dia bukan orang Madura, semisal memotong Rp. 10. 000 setiap paket Bansos. Orang "Jakarta" itu mah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun