Mohon tunggu...
mohrizalky
mohrizalky Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa Tadris Matematika UIN MALIKI Malang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Padepokan Anti Galau Soal Hasil Pemilu!

22 April 2019   16:20 Diperbarui: 22 April 2019   16:24 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lima hari berlalu semenjak dilaksanakannya pemungutan suara 17 April kemarin, juga sudah mulai lima hari yang lalu para peserta pemilu raya tahun ini menunggu hasil-hasil yang diharapakan. Tahun ini sepertinya kontestasi politik terutama untuk pemilihan presiden dan wakil presiden jauh menenggelamkan pemilu yang lain yakni pemilihan Angota DPR, DPD dan DPRD.

Bagaimana tidak?, seluruh pemberitaan di berbagai media, baik media sosial, media masa, atau pemberitaan lain solah-olah terfokus hanya pada pemilihan presiden dan wakilnya dan melupakan pertarungan lain di kursi dewan.

Pemilu tahun ini adalah pemilu terumit dalam sejarah, dilansir dari website resmi Kompas.com yang menuliskan pendapat wakil presiden Jusuf Kalla bahwa,

Dengan banyaknya surat suara dan peserta Pemilu dari pemilihan DPRD hingga Presiden, Kalla meyakini perhitungan suara juga akan banyak memakan waktu. "Bayangkan rumitnya itu. Dan pasti orang akan lebih mencapai hasil pilpresnya dulu. Pasti quick count-nya ke (pemilu) presiden, enggak akan ke DPR lagi," kata dia. "Perhitungan pasti mungkin 1-2 hari penuh. Maka saya katakan, ini pemilu paling rumit di dunia yang kita alami," ucap Kalla.

Hal ini merupakan salah satu akibat dilaksanakannya pemilu serantak yang dalam hal ini adalah pilpres dengan pileg. Banyak dari masyarakat yang kurang mengenal para calon wakilnya, sehingga usaha para calon anggota legislatif akan semakin keras dalam mengenalkan diri mereka sekaligus untuk meraup suara masyarakat.

Berbagai cara dilakukan untuk meraup suara masyarakat, dari yang sekedar memansang banner di pinggir jalan, mengunjungi seluruh dapil (daerah  pemilihan), bahkan sampai bermain dengan uang (money politic), yang kita semua tahu bahwa mahar untuk menjadi calon anggota legislatif tidaklah murah, bahkan sampai harus rela berhutang.

Pertanyaannya: iya kalau sudah mengeluarkan uang sebegitu banyaknya lantas menang, kalau kalah? bagaimana?. 

Dalam sejarah pemilu kita banyak orang yang berubah menjadi stress setelah mengetahui basil yang tidak sesuai, bahkan ada juga yang malu sampai tidak mau keluar rumah, ada pula yang galau dan juga masih banyak pula yang tetap fair dengan hasil yang ada.

Padepokan Anti Galau

Dokpri
Dokpri

Di Cirebon ada sebuah padepokan yang biasa menangani para calon anggota dewan yang gagal merengkuh kursi. Di asuh oleh Ustadz Ujang Bustomi, biasanya tempat ini ditujukan bagi orang-orang yang galau bahkan stress menghadapi hasil yang ada. Berbagai fasilitas yang ada disini di sini diantaranya mandi kembang dengan bacaan lantunan ayat suci Al-Quran, kamar khusus yang intinya untuk membantu menenangkan pasien dalam menerima segala hasil yang ada.

Dilansir dari Detiknews, "Kebanyakan dari mereka itu depresi. Karena tidak siap menerima kekalahan. Mereka minta untuk dibantu, kemudian kita berdoa agar lebih tenang lagi. Kita juga ingatkan, kalau politik itu hanya perhiasan dunia. Soal biaya, di sini gratis," kata beliau. 

Adanya padepokan anti galau tersebut adalah salah satu contoh yang membuktikan, bahwa ternyata memang dalam berdemokrasi keputusan bersamalah yang menjadi penentu, sehingga para calon legislatif tersebut seharusnya kalau sudah siap menang, juga tentunnya harus siap kalah pula.

Maka dari itu kedewasaanlah yang memang diperlukan dalam mengemban amanat rakyat sebagai wakil mereka. Sekarang ini banyak yang beranggapan bahwa jabatan dapatdiraih dengan jalan yang instan, oleh karena itu tujuannya pun jadi melenceng, yakni dengan menjadikan jabatan yang diemban sebagai sarana intuk meraih kemakmuran sendiri.

Contoh, dari dulu samapai pemilu kemarin ini masih marak dengan money politic, atau bisa kita sebut dengan membeli suara. Coba kita logikakan misalkan saja satu kursi DPRD senilai dengan 1,560 suara berapa banyak uang yang harus dikeluarkan jika satu suara di hargai Rp.50.000,00. Untuk memperoleh semua suara tersebut? Berikut perhitungannya

1560 x Rp. 50.000,00 =  Rp. 78.000.000,00 

Jumlah yang tidak sedikit juga kan! Jumlah tersebut juga mungkin bertambah besar dengan segala pengeluaran lain yang ada.

Tetapi, dengan cara tersebut belum tentu juga menjamin kursinya aman, bisa saja malah kalah mengenaskan.

Maka dari itu, sebagai seorang yang nantinya berperan sebagai mandataris rakyat, hal-hal seperti ini memang harus sangat disadari, bahwa menjadi wakil dari rakyat bukan berarti menjadi bekuasa, justru malah sebagai pembantu rakyat. Sehingga sosok yang benar-benar di harapkan adalah sosok teladan, sosok yang kritis dan peka memandang atau menyikapi apa yang rakyat butuhkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun