Tarian Politik Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar akhirnya menemui titik terang. Ya, manuver politik dari orang yang kerap dipanggil Cak Imin ini sulit ditebak sehingga mengejutkan banyak pihak. Tadi siang menjelang sore partai Nasdem dan PKB secara resmi mendeklarasikan pasangan calon presiden dan wakilnya, yakni Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar.
Hubungan Muhaimin Iskandar dengan Prabowo Subianto yang sudah lebih dari setahun akhirnya kandas. PKB memang sudah lama mendesak Partai Gerindra untuk segera mendeklarasikan Cak Imin sebagai pasangan dari Prabowo. Namun entah apa yang menjadi pertimbangan Partai Gerindra, mereka tak kunjung juga memberikan kepastian kepada Cak Imin.
Belakangan ini nama Muhaimin Iskandar kerap disebutkan oleh ketua DPP PDIP Puan Maharani untuk bisa mendampingi capres dari PDIP, Ganjar Pranowo. Cak Imin terlihat begitu antusias hingga melakukan pertemuan-pertemuan dengan para petinggi PDIP.
Namun tak disangka-sangka, belum genap seminggu isu mengenai Anies Baswedan yang akan meminang Muhaimin Iskandar beredar, kini terbukti nyata. Banyak orang terkejut, termasuk saya sendiri. Melihat hubungan dengan Prabowo Subianto yang sudah berjalan lama, saya pikir kalaupun tidak berpasangan dengan Prabowo, Cak Imin akan tetap mendukung Prabowo.
Tapi setelah melihat bagaimana tarian politik yang dilakukan oleh Ketua Umum PKB ini, sebenarnya sederhana untuk melihat arah politik Muhaimin Iskandar. Proposal yang diajukan oleh Cak Imin hanya satu, yaitu menjadikan dirinya sebagai cawapres dari capres manapun. Sehingga selama ada capres yang mau menerima proposal ini, dirinya akan senang hati untuk bergabung.
Lalu kenapa Anies Baswedan mau menerima proposal ini?
Jawabannya ternyata sederhana. Anies Baswedan menginginkan pasangan dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Setelah menengok ulang peristiwa yang lalu, Mahfud MD yang merupakan salah satu tokoh NU pernah ditawari untuk menjadi wakil dari Anies. Tapi ditolak secara halus.
Selanjutnya ada Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa yang juga merupakan salah satu tokoh NU, bahkan namanya sudah dikenal sejak era pemerintahan Gus Dur. Ia diisukan mendapat tawaran untuk menjadi wakil dari Anies Baswedan. Tapi sepertinya juga ditolak karena isu tersebut lambat laun menghilang.
Setelah itu ada juga kabar yang mengatakan bahwa Anies Baswedan sedang mendekati anak dari Gusdur yaitu Yenny Wahid. Namun kabar ini juga tak mendapat kepastian dan sepertinya juga gagal untuk dipasangkan.
Kini ada nama lain dari tokoh NU lainnya, yakni Muhaimin Iskandar. Tak butuh waktu lama, Muhaimin Iskandar langsung begitu saja menerima pinangan dari Anies Baswedan. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, Cak Imin memang menginginkan posisi cawapres dari capres manapun yang sudah ada.
Nampaknya Muhaimin Iskandar memiliki ambisi yang besar dalam pemerintahan Indonesia. Andai saja ia memiliki elektabilitas yang tinggi, bisa jadi posisi yang diinginkan oleh Cak Imin adalah capres bukan cawapres. Jika pasangan Anies-Muhaimin terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, maka ini akan menjadi batu loncatan untuk Cak Imin agar bisa melompat lebih tinggi lagi.
Lalu, bagaimana peluang Anies-Muhaimin memenangkan pilpres 2024?
Sebelum berbicara peluang, saya akan terlebih dahulu membahas mengenai tantangan yang harus dihadapi oleh pasangan ini. Karena jika pasangan ini bisa mengatasi tantangan-tantangan tersebut, maka peluang kemenangannya bisa terbuka lebar.
Pertama, Anies-Muhaimin harus bisa meyakinkan PKS. Dari deklarasi yang dilakukan di Hotel Majapahit Surabaya hari ini (02/09/2023), PKS tidak hadir. Meskipun Presiden PKS telah menyampaikan permintaan maaf karena tidak bisa hadir, tapi ini adalah acara yang sangat penting. Sudah menjadi kewajiban untuk setiap partai politik dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) hadir dalam acara ini.
Meskipun PKB dan PKS sama-sama partai Islam, tapi keduanya sering berseberangan. Ketidakhadiran PKS dalam acara deklarasi Anies-Muhaimin menjadi bukti bahwa sebenarnya PKS masih ragu. Ahmad Syaikhu yang merupakan presiden PKS mengatakan bahwa dirinya percaya Anies, tapi apakah percaya dengan PKB?
Jika  dihitung-hitung, kursi DPR RI dari partai Nasdem dan PKB saat ini jika dijumlahkan akan menghasilkan total 117 kursi. Angka ini sebenarnya sudah memenuhi ambang batas parlemen (presidential threshold) untuk dapat mengusulkan capres-cawapres. Sebagaimana yang diketahui, bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mengusung capres-cawapres jika memiliki jumlah kursi DPR RI sedikitnya 20% atau 25% suara sah pada pemilu legislatif sebelumnya.
Saat ini kursi DPR RI berjumlah 575 kursi, maka 20% dari angka tersebut yaitu 115 kursi. Sehingga Nasdem-PKB sudah memenuhi syarat untuk mengusung capres-cawapres. Meskipun jika menghitung suara sah pada pemilu legislatif sebelumnya, kedua partai ini belum memenuhi angka 25% karena memiliki total presentase sebanyak 18,74%.
Nasdem-PKB memang bisa mengusung capres-cawapres, tapi jika ingin memenangkan pilpres 2024 perlu mendapatkan dukungan tambahan dari partai lain. PKS merupakan partai yang wajib untuk diyakinkan kembali, mengingat pasti ada tokoh-tokoh PKS yang tidak setuju dengan dijadikannya Cak Imin menjadi cawapres Anies Baswedan.
Kedua, Anies-Muhaimin harus bisa menggaet suara NU dan Gusdurian. Meskipun Muhaimin Iskandar merupakan tokoh NU, tapi bukan berarti warga NU akan mendukung pasangan ini. Suara dari NU kerap kali menjadi faktor X dalam pilpres. Presiden Jokowi bisa menang pada pilpres sebelumnya tak lepas dari suara NU yang dibawa oleh K.H. Ma'ruf Amin.
Tapi pengaruh Cak Imin terhadap warga nahdliyin tak sebesar K.H. Ma'ruf Amin. Warga NU biasanya selalu mengikuti arahan kyai mereka. Sehingga Anies-Muhaimin perlu mendapatkan dukungan dari kyai-kyai NU.
Yang menjadi tantangan terberat dalam menggaet suara NU adalah mendapatkan suara dari Gusdurian. Pendukung Gus Dur sangat banyak. Meskipun Gus Dur berasal dari PKB, tapi saat ini tokoh-tokoh yang militan mendukung Gus Dur sudah hampir tidak ada dalam struktur kepengurusan PKB. Konflik PKB Gus Dur dengan PKB Muhaimin menjadi penyebabnya.
Kalau dulu ada ungkapan warga NU pasti partainya adalah PKB, tapi sekarang tidak. Dengan mendapatkan suara dari ormas Islam terbesar di tanah air ini, tentu saja akan membuat peluang Anies-Muhaimin memenangkan pilpres terbuka lebar.
Ketiga, Anies-Muhaimin harus mendapatkan dukungan dari partai lain, termasuk partai nonparlemen. Pergerakan partai politik tanah air begitu dinamis menjelang pilpres 2024. Hingga saat ini, tarian partai politik masih terus berlanjut hingga belum ada koalisi partai yang solid.
Kita lihat bagaimana Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang kini bubar. Tidak adanya titik temu mengenai nama capres yang akan diusung membuat partai yang ada di koalisi ini cerai berai. PPP memutuskan untuk mengusung Ganjar Pranowo. Sementara Golkar dan PAN memutuskan untuk bergabung ke dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang kini namanya telah berubah menjadi Koalisi Indonesia Maju.
Bertambahnya partai politik yang ada di KKIR membuat peluang Muhaimin mendampingi Prabowo pada pilpres 2024 menjadi semakin kecil. Hingga akhirnya Cak Imin memutuskan untuk menerima pinangan dari Anies Baswedan. Sehingga secara otomatis PKB keluar dari KKIR. Ketidakpuasan Partai Demorat terhadap keputusan Partai Nasdem dan Anies yang memilih Cak Imin sebagai cawapres Anies, membuat mereka keluar dari KPP.
Dengan serangkaian peristiwa tersebut, ini menunjukkan bahwa masih belum ada kepastian kerja sama antar partai politik. Koalisi partai politik saat ini bisa terus bertahan, bubar, bahkan bisa saja terbentuk koalisi baru. Anies-Muhaimin harus dapat menggaet partai lain untuk bergabung. Tidak masalah jika nantinya akan menjadi koalisi gemuk, lebih banyak dukungan maka akan lebih baik.
Pengaruh partai nonparlemen juga jangan dinggap remeh. Partai Perindo, Hanura, PSI, dan PBB yang pada pemilu 2019 gagal meraih kursi di DPR RI tentu saja pada pemilu yang akan datang ingin berhasil meraih kursi DPR RI. PSI yang banyak memiliki anggota berusia muda tentu bisa saja menarik suara pemilih usia muda pada pemilu 2024 yang didominasi oleh pemilih usia muda.
Jangan lewatkan juga partai politik baru yang akan meramaikan pemilu 2024. Sebut saja Partai Buruh yang menurut survei terbaru LSI menyebutkan bahwa elektabilitas partainya mencapai 0,3%. Jika dibandingkan dengan Hanura yang merupakan partai lama dan cukup berpengalaman ternyata hanya terpaut 0,2% saja. Potensi Partai Buruh dan partai pendatang baru terbilang cukup besar.
Tidak akan mudah untuk Anies-Muhaimin untuk mendapatkan dukungan tambahan dari partai lain. Mereka perlu menyiapkan proposal yang menarik dan sesuai dengan kebutuhan partai tersebut. Mengingat tarian partai politik masih berlanjut, tidak menutup kemungkinan akan ada partai lain yang mendukung pasangan Anies-Muhaimin sebagai capres-cawapres 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H