Mohon tunggu...
Moh. Rizal Fauzi Hamzah
Moh. Rizal Fauzi Hamzah Mohon Tunggu... Lainnya - -

Seorang wayang yang ingin hidup bebas, namun teratur dan bermanfaat untuk orang lain

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Konektivitas Sistem Pembayaran di ASEAN, Dolar AS "Ditendang"?

20 Juni 2023   21:40 Diperbarui: 20 Juni 2023   21:46 834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia (FEKDI), 2023. Sumber: website BI

The Association of Southeast Asian Nations atau yang lebih dikenal dengan ASEAN, kini sudah menginjak usia 56 tahun sejak didirikan. Dalam perjalanannya, ternyata Indonesia pernah empat kali menjadi ketua ASEAN yaitu pada tahun 1976, 1996, 2003, dan 2011. Pada tahun ini, Indonesia kembali terpilih sebagai ketua ASEAN.

Keketuaan Indonesia di ASEAN tahun 2023 mengusung tema ASEAN Matters: Epicentrum of Growth. Melalui tema ini, Indonesia ingin menunjukkan bahwa ASEAN tetap penting dan relevan bagi masyarakat ASEAN dan dunia dengan menjadikan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi kawasan dan dunia.

Digital economy merupakan salah satu pilar ekonomi yang telah disusun oleh Indonesia untuk mewujudkan hal tersebut. Pilar ini bertujuan untuk mempercepat transformasi dan partisipasi ekonomi digital inklusif negara-negara anggota ASEAN. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan peningkatan kapasitas setiap negara anggota ASEAN dalam merumuskan strategi edukasi finansial secara nasional dan meningkatkan interkonektivitas sistem pembayaran regional.

Kini Indonesia melalui Bank Indonesia tengah membangun konektivitas sistem pembayaran antar negara di ASEAN. Jika konektivitas sistem pembayaran terwujud, ini bisa membuat dolar AS ‘ditendang’ dari kawasan Asia Tenggara. Loh kok bisa? Mari simak penjelasannya berikut ini.

  •  Local Currency Settlement (LCS)

Secara sederhana LCS ini bisa diartikan sebagai penyelesaian transaksi antar dua negara menggunakan mata uang kedua negara tersebut. Misalnya, Indonesia dan Thailand menjalin kerja sama perdagangan menggunakan sistem pembayaran LCS, maka transaksinya bisa dilakukan menggunakan mata uang rupiah atau baht. Sehingga tidak perlu menggunakan mata uang pihak ketiga (dolar AS).

Dengan tidak menggunakan mata uang pihak ketiga dalam perdagangan, maka akan timbul efisiensi biaya konversi mata uang. Selain itu, penggunaan sistem pembayaran LCS bisa menurunkan ketergantungan terhadap dolar AS, sehingga bisa membuat mata uang rupiah lebih stabil.

Saat ini baru dua negara di ASEAN yang menerapkan LCS dalam bertransaksi dengan Indonesia, yaitu Thailand dan Malaysia. Indonesia nampaknya cukup serius memperluas LCS di ASEAN, hal ini bisa dilihat dengan adanya kerja sama antara Bank Indonesia, beberapa kementerian, lembaga, dan industri terkait membentuk Gugus Tugas Nasional LCS.

  • QR Code

Disela-sela KTT G-20 di Bali November tahun lalu, lima negara ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina telah menjalin kesepakatan penggunaan QR Code dalam sistem pembayaran lintas negara (cross-border payment). Dari lima negara tersebut, hingga kini baru dua negara yang menerapkannya dengan Indonesia, yaitu negara Thailand dan Malaysia.

Penggunaan QR Code sangat mudah dan praktis, hingga pedagang kaki lima pun bisa menggunakannya. Cukup dengan melakukan pemindaian/scan QR Code melalui smartphone yang telah diintegrasikan dengan aplikasi pembayaran yang dipilih.

Menurut Bank Indonesia, kedepannya konektivitas sistem pembayaran lintas negara tidak hanya lima negara, tapi juga seluruh negara anggota ASEAN. Sehingga, ketika kita bepergian ke negara anggota ASEAN misalnya negara Malaysia dan ingin berbelanja, tidak perlu ribet. Cukup scan QR Code yang disediakan oleh merchant, bayar, selesai deh.

Pembayaran akan secara otomatis dikonversi dari ringgit ke rupiah dengan kurs yang berlaku pada saat itu. Lagi-lagi dolar AS akan ditinggalkan.

  • “Sea” sebagai Mata Uang ASEAN

Bayangkan jika negara-negara anggota ASEAN memiliki mata uang tunggal. Anggap saja mata uang ASEAN dinamakan “sea” (merupakan kependekan dari southeast asian). Seperti halnya euro yang menjadi mata uang di Uni Eropa. Transaksi lintas negara tentunya akan lebih mudah, praktis, dan secara makro akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Tenggara.

Mata uang euro yang hadir di tahun 1999, saat ini nilainya lebih kuat dibandingkan dolar AS yang sudah ada dari tahun 1700-an. 1 euro setara dengan 1,09 dolar AS (20/06/2023). Padahal dolar AS sejauh ini menjadi mata uang yang banyak diperdagangkan di dunia.

Jika sea sebagai mata uang tunggal yang digunakan di ASEAN, maka dolar AS akan semakin ‘ditendang’ lebih jauh dari ASEAN. Melihat besarnya potensi ekonomi di ASEAN, tidak menutup kemungkinan sea akan menjadi salah satu mata uang terkuat di dunia.

Terakhir, membangun konektivitas sistem pembayaran di ASEAN tentu saja tidak akan mudah. Perlu adanya kerja sama dari berbagai pihak untuk mewujudkannya. Semoga ASEAN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dunia dapat terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun