Mohon tunggu...
moh.muntholib.S.Pd
moh.muntholib.S.Pd Mohon Tunggu... Lainnya - aktivis NU

nama : moh.muntholib,alumni ponpes lirboyo dan genggong dan akdemisi dari universitas zainul hasan genggong probolinggo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sholawat Nariyah Dituduh Syirik oleh Wahabi, Santri Membantah

26 Agustus 2021   20:14 Diperbarui: 26 Agustus 2021   20:32 12899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  salah satu kelompok berlebel islam yang ada di Indonesia serta sering membid'ahkan amaliyah Nahdhatul 'ulama adalah Wahabi.Dalam sebuah kajian salah satu ustdaz wahabi yakni badrussalam Lc mengatakan bahwa sholawat nariyah mengandung kesyirikan.oleh karenanya saya sebagai santri akan membantahnya dengan ilmu nahwu dan shorof  sebagai ciri kas seorang santri pondok pesantren lirboyo.

        Popularitas shalawat Nariyah di kalangan umat Islam di Nusantara memang tak terbantahkan. Namun, apakah ia lantas bersih dari para penolaknya? Ternyata tidak. Sebuah fenomena yang sesungguhnya sangat lumrah dalam kehidupan beragama. Lewat beragam sudut, beberapa orang melancarkan vonis bahwa pengamalan shalawat Nariyah termasuk melenceng dari ajaran Rasulullah alias bid'ah. Sebagian yang lain mengahakimi secara lebih ekstrem: syirik atau menyekutukan Allah.
    Vonis bid'ah umumnya berangkat dari alasan tak ditemukannya hadits atau ayat spesifik tentang shalawat Nariyah. Sementara tuduhan syirik berasal dari analisa terjemahan atas redaksi shalawat yang dinilai mengandung unsur kemusyrikan. Yang terakhir ini menarik, karena tuduhan "sekejam" itu ternyata justru muncul hanya dari analisa kebahasaan. Benarkah demikian? Kita simak dulu redaksi shalawat Nariyah secara lengkap sebagai berikut: 

Perhatian para penuduh shalat Nariyah mengandung kesyirikan umumnya tertuju pada empat kalimat berurutan di bawah ini: 

 Kalimat-kalimat itu pun dirinci lalu diterjemahkan begini:

Artinya: "Segala ikatan dan kesulitan bisa lepas karena Nabi Muhammad."

  Artinya: "Segala bencana bisa tersingkap dengan adanya Nabi Muhammad."

Artinya: "Segala kebutuhan bisa terkabulkan karena Nabi Muhammad."

Artinya: "Segala keinginan bisa didapatkan dengan adanya Nabi Muhammad." 

        Menurut para penuduh itu, empat kalimat tersebut sarat kesyirikan karena secara terjemahan mengandung pengakuan bahwa Nabi Muhammad memiliki kemampuan yang hanya dimiliki Allah, seperti bisa menghilangkan kesulitan, menghilangkan bencana, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan serta doa hanyalah Allah. 

      Bantahan dari Ilmu Sharaf dan Nahwu Dasar 

    Shalawat Nariyah atau disebut juga shalawat Tziyah atau shalawat Tafrjiyah berasal bukan dari Indonesia. Ia dikarang oleh ulama besar asal Maroko, Syekh Ahmad At-Tazi al-Maghribi (Maroko), dan diamalkan melalui sanad muttashil oleh ulama-ulama di berbagai belahan dunia. Tak terkecuali Mufti Mesir Syekh Ali Jumah yang memperoleh sanad sempurna dari gurunya Syaikh Abdullah al-Ghummar, seorang ahli hadits dari Maroko.

 Jika shalawat Nariyah dianggap syirik, ada beberapa kemungkinan. Pertama, para ulama pengamal shalawat itu tak mengerti tentang prinsip-prinsip tauhid. Ini tentu mustahil karena mereka besar justru karena keteguhan dan keluasan ilmu mereka terhadap dasar-dasar ajaran Islam. Kedua, pengarang shalawat Nariyah, termasuk para pengikutnya, ceroboh dalam mencermati redaksi tersebut sehingga terjerumus kepada kesyirikan. Kemungkinan ini juga sangat kecil karena persoalan bahasa adalah perkara teknis yang tentu sudah dikuasai oleh mereka yang sudah menyandang reputasi kelilmuan dan karya yang tak biasa. Ketiga, para penuduhlah yang justru ceroboh dalam menghakimi, tanpa mencermati secara seksama dalil shalawat secara umum, termasuk juga aspek redaksional dari shalawat Nariyah. 

Dilihat dari segi ilmu nahwu, empat kalimat di atas merupakan shilah dari kata sambung (isim maushul) yang berposisi sebagai na'at atau menyifati kata . 

Untuk menjernihkan persoalan, mari kita cermati satu per satu kalimat tersebut.

   

Pertama, .

 Dalam kacamata ilmu sharaf, kata merupakan fi'il mudlari' dari kata . Bentuk ini mengikuti wazan yang memiliki fungsi/faedah (dampak dari ). Demikian penjelasan yang kita dapatkan bila kita membuka kitab sharaf dasar, al-Amtsilah at-Tashrfiyyah, karya Syekh Muhammad Ma'shum bin 'Ali

. Contoh:  

"Saya memecahkan kaca maka pecahlah kaca itu."

 Dengan bahasa lain, kaca itu pecah () karena dampak dari tindakan subjek "saya" yang memecahkan. 

Contoh lain:  

 "Allah telah melepas beberapa ikatan (kesulitan) maka lepaslah ikatan itu."

 Dengan bahasa lain, ikatan-ikatan itu lepas karena Allahlah yang melepaskannya. 

Di sini kita mencermati bahwa wazan mengandaikan adanya "pelaku tersembunyi" karena ia sekadar ekspresi dampak atau kibat dari pekerjaan sebelumnya.

 Kalau dimaknai bahwa secara mutlak Nabi Muhammad melepas ikatan-ikatan itu tentu adalah kesimpulan yang keliru, karena tambahan bihi di sini menunjukkan pengertian perantara (wasilah). Pelaku tersembunyinya (dan hakikinya) tetaplah Allah---sebagaimana faedah . 

Hal ini mengingatkan kita pada kalimat doa:      

"Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah ikatan/kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku."

 Kedua,

 Senada dengan penjelasan di atas, merupakan fi'il mudlari' dari kata , yang juga mengikuti wazan . Faedahnya pun sama (dampak dari ). 

Ketika dikatakan maka dapat diandaikan bahwa . 

Dengan demikian, Allah-lah yang membuka atau menyingkap bencana/kesusahan, bukan Nabi Muhammad. 

Ketiga,

 Kata adalah fi'il mudlari' dalam bentuk pasif (mabni majhl).

 Dalam ilmu nahwu, fi'il mabni majhul tak menyebutkan fa'il karena dianggap sudah diketahui atau sengaja disembunyikan. Kata menjadi naibul fa'il (pengganti fa'il). Ini mirip ketika kita mengatakan "anjing dipukul" maka kita bisa mengandaikan adanya pelaku pemukulan yang sedang disamarkan. 

Dengan demikian kita bisa mengandaikan kalimat lebih lengkap dari susunan tersebut. "Allah akan mengabulkan kebutuhan-kebutuhan."

Keempat,

 Penjelasan ini juga nyaris sama dengan kasus . Singkatnya, Nabi Muhammad bukan secara mutlak memiliki kemampuan memberikan keinginan-keinginan karena Allah-lah yang melakukan hal itu yang dalam kalimat tersebut disembunyikan. Fa'il tidak disebutkan karena dianggap sudah diketahui.

 Alhasil, dapat dipahami bahwa tuduhan syirik atas kalimat-kalimat itu sesungguhnya keliru. Sebab, kemampuan melepas kesulitan, menghilangkan bencana/kesusahan, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan-keinginan secara mutlak hanya dimiliki Allah. Dan ini pula yang dimaksudkan pengarang shalawat Nariyah, dengan susunan redaksi shalawat yang tidak sembrono. Hanya saja, dalam redaksi shalawat Nariyah tersebut diimbuhkan kata bihi yang berarti melalui perantara Rasulullah, sebagai bentuk tawassul. 

Bahasa Arab dan bahasa Indonesia memang memiliki logika khas masing-masing. Karena itu analisa redaksi Arab tanpa meneliti struktur bakunya bisa menjerumuskan kepada pemahaman yang keliru. Lebih terjerumus lagi, bila seseorang membuat telaah, apalagi penilaian, hanya dengan modal teks terjemahan. Wallahu a'lam. ( Gus Ahong Pejuang Aswaja Omahan)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun