Mohon tunggu...
Moh Ikhsani
Moh Ikhsani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis apa saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Cerita Negeri Kashmir

27 Juni 2022   14:09 Diperbarui: 11 Oktober 2022   09:46 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kashmir, hamparan pegunungan yang berjejer rapi membuat kota itu menjadi indah. Putihnya salju yang turun, menarik orang untuk menghampirinya. Serta jernihnya air sungai yang mengalir deras di antara dua lembah menambah keindahan kota itu.

Dingin, hanya dingin yang penduduk sana rasakan. Jaket-jaket tebal dari bulu domba tak pernah lepas dari tubuh mereka. Air terjun yang tumpah dari celah-celah pegunungan itu menambah keindahannya. Kashmir, pesonanya bagaikan Swiss dari Asia.

Kota yang indah itu memiliki pemimpin yang cerdas, dia adalah Marcus. Sosok pemimpin yang sangat dihormati rakyatnya, berkat kecerdasannya dia mampu membuat rakyatnya hidup damai dan sejahtera.

Beragam suku yang mendiaminya bisa disatukannya. Wilayahnya yang indah laksana serpihan surga, membuat lembaran dolar terus mengalir dari wisatawan yang mengunjunginya.

Marcus memiliki belahan jiwa yang setia kepadanya. Hana, wanita cantik berambut pendek sebahu dengan tubuh seksi yang menambah kecantikannya itu telah menemaninya lebih dari lima belas tahun lamanya.

Kedamaian yang mereka rasakan selama bertahun-tahun mulai luntur setelah kedatangan kelompok asing ke wilayah mereka. Toleransi antarumat beragama yang selama ini erat kini mulai renggang.

Pada siang hari, Marcus dan Alex, duduk di teras istana tempatnya menjalankan pemerintahan.

"Lex, kamu merasakan ada yang aneh tidak?" Marcus bertanya.

"Aneh bagaimana, Tuan?" jawab Alex.

"Semenjak Ahriman membawa teman-temannya dari luar, mulai muncul keanehan. Akhir-akhir ini banyak terjadi keributan antarumat beragama," ucap Marcus.

"Mungkin itu hanya perasaan Tuan saja," jawab Alex.

"Semoga tidak terjadi sesuatu yang merusak kedamaian di sini," ucap Marcus.

Marcus lalu meminta Alex meninggalkannya seorang diri.

Di teras istana itu, Marcus melihat pepohonan palem yang tertiup angin melambai-lambai ke arahnya. Angin kencang sore itu juga menyapu bersih guguran daun di halaman istana.

Hari telah malam, Marcus dan Hana makan malam bersama buah hati mereka. Lewis dan Natasha, kakak adik yang hanya terpaut tiga tahun di antara mereka.

Meskipun ada juru masak di istana. Setiap malam, Hana yang memasak untuk suami dan buah hatinya. Lain jika pagi dan siang hari, juru masaknya yang akan melayani mereka.

Di meja makan berlapiskan marmer Italy, mereka menyantap olahan daging sapi yang sangat lezat. Dagingnya yang empuk, serta rasanya yang pas membuat mereka larut dalam kenikmatan.

Saat mereka menikmati makan malam, Alex datang dengan pesan yang ingin dia sampaikan kepada tuannya.

"Maaf, Tuan. Bisa bicara sebentar? ada informasi penting yang ingin saya sampaikan." Ucap Alex.

"Ya, bisa," jawab Marcus sambil berdiri dari kursinya.

"Ada apa?" lanjutnya.

"Begini, Tuan, kecurigaan yang Tuan rasakan selama ini betul adanya. Ahriman dan kelompoknya sore tadi melarang pendirian rumah ibadah Suku Barat." Ucap Alex.

Wajah Marcus memerah mendengar itu. Dinding-dinding kedamaian yang selama ini dia bangun seketika runtuh karena ulah Ahriman dan kelompoknya.

"Kamu awasi mereka, jika mereka kembali berulah, mereka harus angkat kaki dari sini." Perintah Marcus kepada tangan kanannya.

"Baik, Tuan," ucap Alex.

Alex lalu pergi, dan Marcus kembali melanjutkan makan malamnya.

"Ada apa? Kelihatannya sangat serius," Hana bertanya.

"Tidak ada apa-apa," jawab Marcus.

Usai makan malam, Marcus dan Hana duduk di teras istana menikmati suasana malam dengan kawanan bintang yang menemani mereka.

Di malam yang sepi, Marcus memandang wajah istrinya yang cantik, dia belai rambut istrinya yang selembut kain sutra. 

Tubuhnya yang seksi membuat Marcus tidak tahan, mereka lalu berciuman di tengah malam tanpa seorang pun melihat. Hanya kawanan bintang di langit yang melihat mereka sedang bercumbu.

Pagi hari telah tiba.

Pagi itu, Marcus dan Alex meninjau proyek pembangunan jembatan yang letaknya 5 km dari istana. Alex di depan, menyetir Jaguar XJ hitam milik tuannya, sementara Marcus di belakang asyik mengisap lisong di tangan kanannya.

Setelah perjalanan selama 20 menit, mereka tiba di lokasi.

"Selamat datang, Tuan," ucap Penanggung Jawab Proyek dengan senyuman manis.

"Sudah berapa persen?" tanya Marcus.

"Empat puluh persen, Tuan," jawab Penanggung Jawab Proyek.

"Kok baru empat puluh persen?" Marcus kembali bertanya.

"Lama sekali! Ini sudah berjalan setahun lebih! Kenapa tidak selesai!" tambahnya.

"Maaf, Tuan. Kami kekurangan dana yang membuat proyek ini tidak cepat selesai," ucap Penanggung Jawab Proyek.

"Jaga mulutmu! Saya sudah berikan dana yang lebih!" jawab Marcus dengan nada semakin tinggi.

"Dasar otak udang! Saya tidak mau tahu, akhir tahun harus selesai!" tambahnya.

Penanggung Jawab Proyek hanya bisa diam, tak satu pun kata keluar dari mulutnya. Tubuhnya seperti tercabik-cabik oleh perkataan Marcus.

Marcus dan Alex lalu kembali ke istana dengan perasaan marah masih ada pada dirinya. Sesampainya di istana, Marcus melihat Hana seorang diri di pinggir kolam. Mereka pun duduk di sebuah kursi panjang yang terbuat dari rotan.

"Ada apa? Kok sepertinya habis marah," tanya Hana.

"Proyek pembangunan jembatan sudah setahun lebih tapi tak kunjung selesai," jawab Marcus.

"Kok bisa?" Hana kembali bertanya.

"Aku tidak tahu! Padahal dana yang aku beri sudah lebih!" ucap Marcus.

Hana lalu memeluk Marcus, menenangkannya yang sedang marah. Waktu menunjukkan pukul 13.00, Marcus akan menjemput kedua anaknya di sekolah.

"Aku mau jemput anak-anak dulu," ucap Marcus.

"Aku ikut," ucap Hana.

"Tidak usah, kamu di sini saja." Jawab Marcus.

"Tapi, pagi tadi aku yang mengantar mereka," ucap Hana.

"Iya tahu. Sekarang kamu di sini saja, jangan banyak keluar." Balas Marcus.

"Mengapa?" tanya Hana.

Marcus tidak menjawab, dia langsung pergi menjemput kedua anaknya.

Beberapa hari kemudian, pagi hari di taman istana, Marcus menerima telepon dari Alex, katanya Ahriman kembali berulah. Lagi-lagi, dia dan kelompoknya melarang pendirian rumah ibadah untuk kedua kalinya.

Mendengar kabar itu, Marcus darahnya mendidih. Dia betul-betul marah hari itu. Dia dan Alex lalu mendatangi rumah Ahriman di siang hari. Sesampainya di sana, amarahnya masih meledak-ledak.

"Maksud kamu apa!" tanya Marcus.

"Maaf, apa maksud Tuan?" Ahriman bertanya seolah tak terjadi apa-apa.

"Halah, tidak usah pura-pura tidak tahu! Kamu dan kelompokmu itu melarang pendirian rumah ibadah Suku Barat," ucap Marcus.

"Maaf, Tuan. Saya lakukan itu karena di sini mayoritas Suku Timur. Selain itu, karena mereka minoritas di sini. Saya khawatir pendirian rumah ibadah mereka mengganggu kami, Tuan." Ahriman menjelaskan.

Tiba-tiba Marcus menampar Ahriman dengan keras hingga tersungkur.

"Kurang ajar kamu! Begitu saja kamu khawatir? Orang macam apa kamu ini!" ucap Marcus disertai tamparan kedua.

"Sabar, Tuan, sabar." Alex mencoba menenangkan tuannya.

"Saya minta mereka tidak dilarang mendirikan rumah ibadah! Jika tidak, kamu harus angkat kaki dari sini! Saya tidak mau mendengar kabar seperti ini lagi. Saya juga tidak mau kedamaian di sini terusik karena orang seperti kamu!" ucap Marcus lalu pergi meninggalkan rumah Ahriman.

Sikap Ahriman dan kelompoknya benar-benar membuat Marcus gusar. Dia sangat khawatir akan terjadinya perpecahan di wilayahnya karena ulah mereka.

Sesampainya di istana sore hari, Marcus langsung mandi, dinginnya air membuat rasa lelah dan amarahnya menjadi hilang. Dia menikmati segarnya air yang membasahi seluruh tubuhnya.

Malam hari telah tiba, seperti biasa, Hana yang akan memasak makan malam mereka.

Sembari menunggu masakan jadi, dari jendela kamarnya, Marcus melihat langit mulai gelap, bintang-bintang yang selalu menampakkan batang hidungnya, malam itu tidak ada. Dan benar saja, langit akhirnya menangis, menumpahkan seluruh air matanya. Kilatan cahaya disertai suara menggelegar yang tiada henti membuat jantungnya berdebar.

Setelah lama menunggu, aroma masakan Hana mulai tercium hingga menusuk hidung, dan perut sudah bersuara pertanda rasa lapar telah tiba.

Seperti biasa, di meja makan beralaskan marmer Italy yang berusia lebih tua dari kedua anaknya itu, mereka menyantap makan malam di tengah suara halilintar yang saling bersahutan.

"Masakan Mama selalu enak," ucap Lewis.

Hana tersenyum lebar mendengar ucapan itu.

Setelah makan malam, Natasha bertanya kepada Marcus.

"Pa, aku mau jadi pemimpin seperti Papa." Ucap Natasha.

"Cita-cita yang bagus. Tapi, alangkah baiknya kamu jadi dokter saja seperti ibumu. Biar kakakmu yang meneruskan Papa," balas Marcus.

"Mengapa aku tidak boleh jadi pemimpin seperti Papa? Mengapa harus Kak Lewis?" tanya Natasha dengan muka masam.

"Karena kamu perempuan, kamu harus lebih banyak di istana seperti ibumu." Jawab Marcus.

Malam semakin larut, Marcus meminta kedua anaknya untuk segera tidur. Sementara dia ke teras istana, malam itu pikirannya bercabang, persoalan proyek jembatan dan Ahriman masih hinggap di kepalanya.

Hana yang selesai membereskan meja makan, lalu keluar menghampiri Marcus. Dia melihat Marcus memegangi kepalanya, malam itu dia tahu apa yang sedang dipikirkan suaminya.

Di tengah malam yang dingin, berahi Marcus kembali muncul, dia peluk istrinya, lalu mencium bibirnya yang lembut. Malam itu, mereka kembali bercumbu, melampiaskan berahi yang sudah memuncak di teras istana dengan suara halilintar dan derasnya air hujan yang menemani mereka. Mereka pun tertidur pulas dengan rasa lelah di seluruh tubuh mereka.

Malam berganti pagi, sang surya mulai tampak dari tempat persembunyiannya, dan jeritan kuda di pagi itu berhasil membangunkan mereka yang masih terlelap dalam mimpi-mimpi.

Hana lalu bergegas membangunkan kedua putrinya untuk segera mandi dan berangkat ke sekolah. Sementara itu, perasaan Marcus seketika berubah setelah mendapat kabar dari Alex jika Penanggung Jawab Proyek telah ditangkap karena melakukan rasuah atas proyek pembangunan jembatan.

Pagi itu, Marcus sangat marah, dia merasa dikhianati. Namun di hadapan kedua anaknya, dia berusaha untuk tetap kepala dingin. Marcus sudah menduga sejak awal, pasti ada praktik main sabun di proyek jembatan itu, dan untuk kedua kalinya, tebakannya kembali benar. Dia serahkan kasus itu kepada meja hijau untuk memberikan hukuman.

Marcus benar-benar dibuat pusing menjalankan pemerintahannya di tengah cobaan yang datang silih berganti. Tapi dia sadar, dia harus bisa mengatasinya. Dia tidak mau membuat rakyatnya yang telah hidup damai dan sejahtera terganggu karena satu dan lain hal.

Dia berjanji untuk terus menjaga wilayahnya, memastikan para pelancong terus berduyun-duyun datang untuk menikmati secuil keindahan surga di bumi. Dia ingin lembaran dolar terus mengalir, karena dari merekalah roda perekonomian bisa berjalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun