Kesenjangan ekonomi merupakan pendapatan dan kesempatan yang tidak merata antara berbagai kelompok masyarakat. Salah satu indikator yang sangat penting untuk diperhatikan dalam kesenjangan ekonomi adalah ketimpangan pendapatan. Indeks gini dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan. Rasio gini Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta masih menghadapi masalah ketimpangan pendapatan.
Rasio gini yang dihitung berdasarkan tingkat pengeluaran penduduk menunjukkan ketimpangan ekonomi, dimana nilai 0 menunjukkan pemerataan sempurna, sedangkan nilai 1 menunjukkan ketimpangan paling parah. Artinya, angka rasio gini yang lebih tinggi menunjukkan tingkat ketimpangan ekonomi yang lebih besar.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2019, rasio gini di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 0,423, selanjutnya meningkat di tahun 2020 sampai dengan tahun 2021, dan mengalami penurunan di tahun 2022 sebesar 0,439, serta kembali mengalami peningkatan sebesar 0,449 di tahun 2023.
Jika dilihat berdasarkan daerah rasio gini Provinsi DIY pada Maret 2024 di pedesaan sebesar 0,349 dan di perkotaan sebesar 0,440. Sedangkan secara nasional pada Maret 2024 di pedesaan sebesar 0,306 dan di perkotaan sebesar 0,399. Maka jika dibandingkan, rasio gini berdasarkan daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta lebih tinggi dari rasio gini nasional.
Menurut World Bank (2015), penyebab utama ketimpangan perekonomian di Indonesia adalah ketimpangan kesempatan, pekerjaan yang tidak merata, tingkat kekayaan yang tinggi, dan ketahanan ekonomi yang rendah. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia memiliki akses yang berbeda terhadap sumber daya. Hal ini menyebabkan kondisi di mana masyarakat yang memiliki pendapatan rendah akan sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.
Kemiskinan dan ketimpangan pendapatan merupakan masalah yang sama bagi negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Penduduk miskin merupakan penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Sedangkan, garis kemiskinan adalah suatu nilai pengeluaran minimum kebutuhan makanan dan bukan makanan yang harus dipenuhi agar tidak dikategorikan miskin.
Jumlah penduduk DIY pada periode 2019-2023 tercatat mengalami fluktuasi, dimana pada tahun 2019 sebanyak 3.842.932 jiwa dan mengalami penurunan di tahun 2020 menjadi 3.662.110 jiwa. Kemudian di tahun berikutnya terus mengalami peningkatan hingga tahun 2023 menjadi sebanyak 3.736.490 jiwa dengan penduduk laki-laki sebanyak 1.849.540 dan perempuan sebanyak 1.886.950 jiwa.
Jumlah penduduk miskin di DIY, jika dilihat dalam tren 5 tahun terakhir kerap mengalami peningkatan periode tahun 2019-2021, dimana pada tahun 2019 sebanyak 448,47 jiwa, 2020 sebanyak 475,72 jiwa, 2021 sebanyak 506,45 jiwa, selanjutnya pada tahun berikutnya mengalami penurunan tercatat pada tahun 2022 sebanyak 454,76 jiwa dan 2023 sebanyak 448,47 jiwa.
Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta tiap tahunnya mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2019 yaitu sebesar Rp. 432.026 per kapita per bulan hingga pada tahun 2023 sebesar Rp. 573.022 perkapita per bulan. Namun, hal ini terbilang masih rendah dibandingkan dengan garis kemiskinan nasional pada Maret 2023 tercatat sebesar Rp.550.458 perkapita per bulan. Selain itu, menurut data Badan Pusat Statistik tingkat kemiskinan di DIY pada Maret 2024 dengan persentase 10,83 persen merupakan provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan yang paling tinggi di pulau jawa. Pada tahun sebelumnya juga Provinsi DIY menyandang sebagai provinsi di Pulau Jawa dengan tingkat kemiskinan paling tinggi sebesar 11,04 persen pada Maret 2023.
BPS juga mencatat bahwa jumlah penduduk dengan jenis pekerjaan terbanyak di Yogyakarta adalah Tenaga Produksi, operasional angkutan dan pekerjaan kasar lainnya yaitu sejumlah 839.297 orang dengan jenis kelamin laki-laki sejumlah 543.691 dan perempuan sejumlah 295.606 orang. Hal ini berbanding jauh dengan penduduk jenis pekerjaan yaitu tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan dan pejabat pelaksana, tenaga TU yang hanya sejumlah 187.535 orang.
Tingkat ketimpangan yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Akibatnya, masyarakat miskin tidak memiliki kemampuan untuk berinvestasi dengan tepat dalam pengembangan anak-anak mereka, sehingga mereka tidak dapat keluar dari kemiskinan, kerentanan, atau berpindah ke kelas konsumen, yang mana menghalangi mereka untuk mendapatkan pekerjaan produktif. Selanjutnya, ketika masyarakat menyadari adanya perbedaan pendapatan dan kekayaan, ketegangan sosial dan ketidakrukunan sangat mungkin terjadi, yang pada akhirnya dapat menyebabkan konflik (Bank Dunia, 2015).Â
Oleh karena itu, dibutuhkan upaya untuk mengurangi kesenjangan pendapatan. Salah satunya dengan melibatkan pemerintah, masyarakat dan sektor swasta, dalam hal ini bekerja sama untuk menciptakan lapangan kerja yang layak dengan upah yang adil, memberikan pelatihan, dan memastikan seluruh masyarakat mendapatkan kesempatan yang sama untuk bekerja.
Lebih lanjut, Bank Dunia (2015) menyarankan empat langkah utama untuk mengatasi ketimpangan pendapatan tersebut: 1) Memperbaiki pelayanan publik di daerah, Â 2) Meningkatkan lapangan pekerjaan dan memberikan peluang untuk melatih keterampilan bagi tenaga kerja, Â 3) Memberikan perlindungan terhadap gangguan, 4) Menggunakan pajak dan anggaran belanja pemerintah untuk mengurangi ketimpangan saat ini dan masa depan. Kebijakan fiskal yang menekan peningkatan belanja pemerintah untuk infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial. mengubah sistem perpajakan yang lebih adil dengan mengubah beberapa peraturan perpajakan yang saat ini menguntungkan segelintir orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H