Sore itu, sepulang dari tempat kerja, aku langsung memarkir motor di  samping rumah. Aku memang lebih suka menggunakan pintu samping dibandingkan pintu depan. Karena ukuran motorku yang cukup besar,  sehingga sangat sulit jika harus melalui pintu depan yang hanya seukuran  80 x 200 cm, sementara pintu samping itu memiliki ukuran 100 x 200 m,  cukup leluasa melewatinya.Â
Setelah melepas jaket dan helm serta  meletakkan tas di meja. Tiba-tiba mataku tertuju pada selembar kertas  yang terselip di bawah pintu depan, melintang dengan posisi separuh di  dalam dan separuh di luar. Ternyata kertas itu adalah surat undangan  dari Pak RT, untuk menghadiri rapat warga yang akan dilangsungkan  sehabis isya.Â
"Rapat yang mana lagi ya?" aku membatin, karena seingatku  hampir setiap minggu selalu diadakan rapat. Aku cukup memaklumi, sebagai  perumahan baru tentu harus dibangun silaturahmi antara sesama warga,  dan supaya lebih mengenal. Aku segera bergegas mandi dan siap-siap ke  masjid, karena suara orang mengaji sudah saut menyaut, sebagai tanda  azan magrib akan segera dikumandangkan.
Rapat malam itu diadakan  di halaman Kantor pemasaran perumahan yang kebetulan cukup luas,  dilengkapi dengan atap dan penerangan dengan sinar seadanya, cukuplah  untuk membedakan antara jerawat dan tahi lalat. Sejujurnya aku tidaklah  terlalu ingin mengikuti rapat ini, karena dari pengalaman terdahulu,  rapat-rapat seperti ini paling cepat selesai pukul 00.00 WIB. Tetapi ada  satu hal yang membuatku bertahan untuk rapat malam ini, ada wacana  mengenai kedatangan Presiden Jokowi ke perumahan kami.Â
Hal ini tentu  sesuatu yang spesial, mengingat kepala desa saja belum pernah sampai ke  perumahan ini. Hanya perwakilan pemuda yang setiap bulan rajin  berkunjung, memungut iuran sampah. Pak RT terlihat semangat sekali malam  itu, dengan pesona batu cincin pancawarna-nya, ditambah gaya rambut  yang agak mengilat, seperti habis dijilat kucing. Seperti biasa, beliau  membuka rapat dengan mukadimah yang itu-itu saja, panjang dan berulang,  setidaknya aku sampai menghabiskan 5 batang rokok, ditambah 2 gelas air  mineral yang aku pun tidak mau dari mana datangnya, tiba-tiba bapak di  sebelah sudah menyodorkan saja air itu.
Betul dugaanku, waktu  sudah menunjukkan 23.00 WIB, tetapi belum ada gelagat Pak RT untuk  mengakhiri rapat ini, rapat yang lebih mirip kuliah umum bagi mahasiswa  baru, selentingan yang aku dengar, Pak RT kami ini memang seorang dosen  di salah satu PTS. Kebiasaannya menceramahi mahasiswa pun terbawa sampai  ke perumahan ini. Sebenarnya aku sudah bisa menangkap inti dari rapat  malam itu, Presiden Jokowi akan datang ke perumahan ini bulan depan. Â
Akhirnya aku mengumpulkan tekad untuk mengangkat pantat, dan berangsur  keluar dari kumpulan rapat ini. Setelah mendapat momentum yang baik, aku  pun pergi sambil melihat handphone, berlagak seperti ada yang menelepon. Cara ini cukup sukses, sampai akhirnya aku sudah berada di depan rumah.
Perumahan  ini, dan perumahan-perumahan lain yang sama, memang merupakan bagian  dari program rumah murah yang digalakkan oleh Presiden Jokowi. Rumah  subsidi dengan bunga yang ringan, diperuntukkan bagi masyarakat  berpenghasilan rendah. Faktanya, banyak tetangga-ku yang lebih dari  sejahtera, punya mobil lebih dari satu, bahkan punya rumah lebih dari  satu, tetap mendapat skema kredit yang sama dengan mereka yang berpenghasilan rendah.
Perbedaan antara rencana dan implementasi memang  sesuatu yang wajar di negara ini, bahkan terkesan aneh kalau rencana yang disusun bisa terlaksana dengan baik. Ironis. Ingin rasanya aku  adukan hal ini ke Presiden Jokowi. Tetapi aku urungkan. Aku takut gugup  dan gagap jika berhadapan dengan beliau, seperti si anak SD penghafal  nama ikan kemarin.
Tiga minggu kemudian, umbul-umbul sudah  dipasang berjejer dengan rapinya, baliho selamat datang membentang  dengan tegapnya di pintu gerbang perumahan. Terlihat foto Presiden  Jokowi, cukup manis dengan senyum khasnya, di sampingnya ada foto bupati  daerah ini, baru dilantik dua bulan yang lalu. Tentu kedatangan  presiden ini merupakan sesuatu yang spesial juga bagi sang bupati, baru  dilantik sudah didatangi sama presiden, momen langka yang indah.
Seminggu lagi presiden akan datang
Tetapi  sayang, sepertinya aku akan melewatkan kedatangan presiden ini. Aku  baru saja mendapat surat tugas ke luar kota selama seminggu. Sebetulnya  tidak masalah juga, toh aku masih bisa melihat sang presiden di layar  TV. Kalau pun aku ada di acara kedatangan ini, pasti akan kalah juga rebutan foto sama ibu-ibu, aku bisa melihat di berbagai pemberitaan,  dimana presiden ini cukup diminati oleh ibu-ibu. Bahkan sampai ada yang  rela berjalan kaki dari tempat yang jauh, demi untuk menemui sang  presiden.
Benar saja, acara itu tetap berlangsung tanpa aku berada  disitu. Seminggu kemudian aku menyaksikan status-status media sosial  beberapa tetanggaku, ada yang memang berfoto dengan presiden, ada yang  berfoto beramai-ramai, bahkan ada yang sekedar menginformasikan  keberadaan presiden di perumahan itu. Niat yang mulia dari mereka, patut  mendapat apresiasi.
Sejujurnya aku berharap presiden menyaksikan  langsung kondisi perumahan dan proses administrasi yang ada dibaliknya,  tetapi tentunya harapan ini terlalu naif dan tak sadar diri, mana pula  presiden sampai mau mengurus hal-hal seperti itu. Jalan utama yang  di-paving block itu disiapkan seminggu sebelum presiden datang, mesjid  diselesaikan, lokasi rencana taman bermain dibersihkan, lampu jalan  diperbaiki.Â
Sebenarnya hal-hal tersebut sudah pernah warga minta jauh  sebelum rencana kedatangan presiden, bahkan sampai bersitegang urat  leher dan adu fisik. Sah-sah saja kalau pengembang mau membuat  pencitraan di depan presiden dan pejabat daerah, karena pencitraan  adalah hal yang lumrah di negara ini, kita pun terkadang suka atau  bahkan minta untuk ditipu oleh berbagai pencitraan. Miris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H