Ramai pagi jalanan di kota ini terasa padat dipenuhi dengan berbagai ragam aktivitas, dari penjual sarapan pagi, ibu-ibu yang berbelanja sayur, anak-anak berangkat sekolah dan orang-orang yang mulai berangkat kerja. Semua beraktivitas di hampir waktu yang bersamaan membuat setiap pagi menjadi hiruk-pikuk.
Riuh rendah dan samar-samar suara semakin menambah kesan kota ini semakin berkembang, iya Kota Tanjungpinang yang terasa mulai ramai, bahkan suasana macet di pagi hari yang tak pernah ditemui sewaktu saya bersekolah, kalaupun itu macet ya pasti ada peristiwa di ujung jalan sana, entah itu karena razia atau ada kecelakaan lalu lintas, hanya itu saja yang berhasil membuat kota ini menjadi macet.
Kini, macet menjadi suatu hal yang mulai terbiasa bagi penghuni kota ini, di satu sisi bagus karena Kota Tanjungpinang mampu berkembang dengan baiknya, namun pertambahan jumlah kendaraan yang tidak diiringi dengan bertambahnya akses jalan mungkin nanti akan membuat kemacetan yang mengular. Huh, semoga saja tidak terjadi. Ini bukan Jakarte ini Tanjungpinang Kote Kite (dengan pengucapan e lemah).
Ingatan saya kembali ke beberapa minggu yang lalu, malam itu sekitar pukul 10 lewat, pergi saya mencari makan nasi goreng untuk orang tua di dekat sekitar rumah wilayah Jl. Pemuda (nama tempat ini bukan berada di pinggiran kota).
Sesampai di tempat nasi goreng, duduk saya agak lama karena memang kebetulan malam itu lagi ramai yang pesan nasi goreng. Setelah selesai nasi goreng dibuatkan, bergegas saya naiki motor untuk pulang. Tiba-tiba entah dari mana muncul anak kecil bertanya.Â
"Boleh Numpang Om?" terkejut saya selain muncul tiba-tiba ia juga sedang menenteng koran. hah, jam segini masih jualan koran, terdiam saya sejenak.
"Mau kemana dek?" tanya saya kepada anak penjual koran itu.
"Ke depan om," segera setelah anak itu menjawab saya suruh ia naik dan duduk di belakang.
Bertanya kembali saya kepada anak itu, "darimana dek malam-malam gini?"Â
"Abes jual koran om," jawab anak itu khas dengan aksen dan logat melayu yang kental.
"Ngape pulak baru balek? Besok tak sekolah?" saya pun menimpali dengan logat dan aksen yang sama (mungkin bagi yang bingung ya seperti mendengar upin ipin ngomong lah, hehe)
"Tak om," jawab pendek anak tersebut.
"Ee..eehh ngape tak sekolah? Libur e?" tanya saya kebingungan.
"Tak lah om dah bereenntiii," jawabnya santai dan berirama.
Hah, sedih rasanya mendengar jawaban anak kecil yang polos, yang bisa dengan sesantai itu menjawab sudah berhenti dari bangku sekolah.
"Dah lame berenti? Kelas berape berenti?" semakin saya ingin tau keadaannya.
"Dah lah dah setahun lebih kelas 4 kemaren berenti," jawabnya santai.
"Ngape pasal berenti? Bapak tak marah?" berharap saya mendengar jawaban Bapaknya marah. Ternyata apa yang ia jawab jauh di luar dugaan saya.
"Tak lah bapak tak marah, kami nak (menunjukkan kata mau) jual koran aje."
"Kan bisa sambilan," jawab saya. Agak rasa bersalah juga mengucapkan kalimat itu.Â
Ternyata kembali jawaban yang luar biasa 'out of the box' dari anak itu.
"Kami (dalam bahasa melayu kami adalah panggilan untuk diri sendiri, seperti saya atau aku) kalau sekolah tak dapat makan bapak emak tak ade duit, bagus kami jual koran aje bise dapat duit dapat makan,"
Tak lama kemudian sampai di daerah tempatnya tinggal di wilayah Sungaijang (sekitar 5-7 menit dari Jl. Pemuda tadi)Â
"Antar sini aje om," katanya minta diturunkan di ujung gang.
Dengan sedikit sisa uang kembalian uang nasi goreng saya berikan kepada anak itu, kemudian kembali ia berkata "sekalian ambil korannye om,"Â
"Eeehh tak ape ambek lah," jawab saya karena untuk apa koran sebanyak itu hingga 5 koran dengan merk dagang yang sama.
"Kami harus habis om koran ni, ambil lah ni om," seraya menyorongkan tangannya.
Seketika itu saya ambil dan berlari ia menuju gang berteriak "Makasih banyak om."
Pulang saya ke rumah dengan perasaan campur aduk. Saya diberi pelajaran di malam itu, di saat kita dengan enaknya mulai mau memejamkan mata di kasur yang empuk sambil bermainkan smartphone dan tertawa melihat postingan-postingan lucu di media sosial, di saat itu pula ada seorang bahkan segerombolan anak kecil berdiri di pinggir jalan menawarkan koran.Â
Anak kecil yang lebih memilih pekerjaan dibanding pendidikan, di mana otaknya sudah terbentuk mindset bahwa sekolah tidak mendatangkan uang, yang mendatangkan uang hanya berjualan koran dan ada orang yang menghabiskan berjuta-juta bahkan ratusan juta rupiah dalam sehari namun masih juga mereka tidak merasa puas, sedangkan yang ia dapat hanya puluhan ribu itu sudah membuatnya bahagia.Â
Hidup yang kita jalani, sudah jauh lebih nyaman dibanding ia yang bekerja siang malam, bersyukurlah tentang apa yang sudah kita miliki dan liatlah sedikit ke mereka yang kurang beruntung.
Maaf dek, negara belum bisa hadir untukmu.
Maaf dek, pemerintah belum sampai menjangkaumu, meskipun engkau tinggal di kota bukan pinggiran.
Maaf dek, kami lupa masih banyak anak-anak sepertimu yang sudah berjuang keras, bukan menunjukkan diri yang keras.
Maaf dek, kami terlalu sibuk dengan urusan kami, kami lupa dengan keadaanmu.
Maaf dek, saya tidak bisa beretorika tentang ini dan itu untuk menyelamatkan masa depanmu.
Karena saya yakin telah banyak pengamat, pakar, dan ahli yang merumuskannya.
Maaf dek, saya tidak bisa berbuat apa-apa, saya bukan pengambil kebijakan, atau bahkan pembuat keputusan.
Tanpa tau namamu, semoga kelak nasibmu beruntung, dek.
*Tulisan ini berdasarkan kisah nyata penulis dan teringat kembali setiap melihat anak-anak berjualan koran di pinggir jalan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI