Mohon tunggu...
Mohammad Yayat
Mohammad Yayat Mohon Tunggu... ASN -

penulis amatir

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hidung Tak Mancung Jangan Pipi yang Disorong-sorong

20 Mei 2016   08:53 Diperbarui: 20 Mei 2016   09:22 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar dari : pedulisehat.com

Petuah melayu diatas terdengar simpel namun begitu mengena di hati saya.

Ada baiknya kita terlebih dahulu mengerti tentang arti kata petuah dan sorong

Arti petuah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah ; petuah/pe·tu·ah/ n 1 keputusan atau pendapat mufti (tentang masalah agama Islam); fatwa; 2 nasihat orang alim; pelajaran (nasihat) yang baik: dalam pertemuan itu diharapkan nasihat dan -- orang-orang tua;

dan arti sorong menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah : sorong/so·rong/ 1 v bergeser maju:

Ya, benar judul di atas merupakan petuah yang berasal dari orang tua saya yang beliau selalu sampaikan berulang-ulang kepada saya.

Beliau tidak pernah menjelaskan makna kata itu secara lugas, dan saya pun tak juga pernah bertanya tentang apa yang disampaikannya berulang-ulang tersebut.

Hingga akhirnya saya sendiri mengerti makna kata-kata itu.

Seiring berjalannya waktu banyak hal yang saya temui bukan hanya sekedar hitam putihnya kehidupan menjadi seorang mahasiswa yang hanya berkutat masalah tugas, skripsi dan revisi.
Kini yang saya alami jauh lebih berwarna entah itu warna merah karena marah ataupun warna biru yang sendu.

Dunia kerja, dunia yang berwarna, banyak hal yang tak terduga muncul di fase ini.

Entah itu karena yang disengaja ataupun tak disengaja. Semua yang terjadi saya anggap sebagai proses kehidupan.

Ada yg bekerja sepenuh hati namun tak dihargai, ada yg bekerja biasa saja berlagak seperti berkorban nyawa, ada yg tak bisa bekerja tapi pandai mengira.

Semua perilaku ini saya temukan di dunia kerja.

Mereka yang bekerja dan mengabdi sepenuh hati, yang tak menonjol dalam pergaulan dan hanya fokus untuk menyelesaikan pekerjaan berbanding terbalik dengan mereka yang hanya duduk santai kedai kopi sambil mengangkat kaki dan tidak ambil pusing dalam pekerjaan. Kemudian kedua tipe 2 orang ini pada akhirnya sama-sama naik pangkat dan golongan walaupun beban kerja mereka sangat tidak sebanding.

Ada kah sistem yang benar-benar mampu menilai seseorang berdasarkan beban kerjanya ? Semua sistem yang dibuat saat ini sudah banyak yang bagus untuk menilai hasil kerja seseorang, namun dengan alasan kasihan dan dengan alasan kemanusiaan lainnya yang beban kerjanya rendah dan tidak mumpuni dengan 'terpaksa' di edit untuk menunjukkan memang kualitas nya setara dengan yang lain.

Ada hal yang menarik disini, yaitu nilai ketegasan berbanding terbalik dengan nilai kemanusiaan.
Dengan alasan kemanusiaan, setegas apapun aturan atau sistem yang dibuat maka itu akan sirna dengan sendirinya.

Lantas, serumit apapun sistem dibuat tetap akan kalah. jika sudah begini adilkah bagi mereka yang bekerja karena tanggung jawab dengan mereka yang bekerja karena ada sebab ?

Hmmmm....
Kemudian saya berpikir sebenarnya bekerja ini untuk mencari uang atau untuk mencari muka ? Mungkin inilah makna dari petuah melayu yang sering disampaikan oleh orang tua saya dulu, jika hidung tak mancung jangan pipi yang disorong agar hidung terlihat mancung, lantas jika hidung memang tak mancung haruskah di operasi plastik ? Hmmmm....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun