Mohon tunggu...
Mohammad Faiz Attoriq
Mohammad Faiz Attoriq Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Kontributor lepas

Penghobi fotografi domisili Malang - Jawa Timur yang mulai jatuh hati dengan menulis, keduanya adalah cara bercerita yang baik karena bukan sebagai penutur yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kabar Perceraian yang Membuatku jadi Gamophobia dan Philophobia

22 Mei 2023   07:20 Diperbarui: 22 Mei 2023   07:36 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perceraian menjadi momok yang menakutkan setiap pernikahan. (pixabay.com/Gerd Altman)

Setiap pernikahan, selalu ada perceraian, entah cerai hidup melalui talak dan persidangan, maupun cerai mati yang alamiah karena kematian.

Untuk cerai mati, setiap orang masih bisa dimaafkan meskipun rasa sakitnya masih membekas dan sulit untuk melepaskan, setidaknya berpisahnya secara baik-baik.

Namun, berbeda dengan cerai hidup karena konflik rumah tangga, perselingkuhan, atau hal-hal lain yang tidak bisa dimaafkan atau diselesaikan secara baik-baik.

Perceraian bukan solusi yang baik, tapi kadang bisa menjadi satu-satunya jalan ketika berbagai konflik atau perbedaan prinsip fundamental hidup sudah tidak bisa dimaafkan lagi.

Semua akan terkena dampak perceraian, terlebih bagi anak-anak yang idealnya menginginkan orang tua yang lengkap dan utuh, psikis anak akan terganggu olehnya.

Orang tua, entah ayah atau ibu akan menjadi single parent bagi anak-anaknya, ini juga akan memengaruhi psikologis sebagai dampak perceraian itu sendiri.

Tidak salah, mengapa dalam Islam, hukum dasar perceraian itu adalah haram meskipun di kemudian waktu ada berbagai turunan hukum sesuai situasi dan kondisi.

Mengapa menjadi haram? Kembali lagi ke dampak anak atau pasangan yang akan memberikan dampak perceraian yang serius dan negatif.

Menjadi philophobia

Kabar atau berbagai cerita tentang kandasnya pernikahan dan dampak perceraian membuat saya menjadi semakin philophobia atau fobia terhadap cinta

Saya menjadi yakin, semua memiliki waktu kedaluwarsa, termasuk tentang cinta yang juga tidak akan pernah abadi, selalu berujung pada perpisahan.

Saya tidak berani untuk mencintai seseorang, takut jika seiring berjalannya waktu tidak bisa mencintai pasangan saya yang membuat pasangan saya akan pergi menjauh.

Perpisahan selalu menyakitkan, tetapi itu sudah merupakan keniscayaan sebagai muara dari rasa cinta dan menjadi mimpi buruk yang menggempur kepala saya.

Jika ada yang membahas cinta atau seluk-beluknya, saya lebih memilih untuk menghindar daripada harus terlibat di dalamnya, saya bahagia dengan kekosongan hati saya.

Mengidap gamophobia

Saya mempertanyakan esensi pernikahan: Kalau ada pernikahan, lantas mengapa harus ada perceraian juga? Jika ada kebahagiaan, mengapa juga harus ada kesedihan?

Banyaknya kasus perceraian semakin membuat saya mengidap gamophobia, ketakutan terhadap pernikahan dan seluk-beluknya.

Saya takut jika tidak bisa mempertahankan ikatan suci ini dan harus merelakannya berpisah secara agama dan hukum sebagai mantan istri saya.

Ketakutan saya dengan pernikahan semakin menjadi-jadi: takut jika tidak sanggup menghidupi anak dan istri saya, takut jika harus bercerai, dan takut anak dan istri saya terkena dampak perceraian.

Beratnya berumah tangga sudah saya lihat sendiri: susahnya orang tua merawat saya, konflik adik ibu saya, hingga menjadi bijak untuk menghadapi masalah.

Untuk saya sendiri, menyesal tidak menikah jauh lebih baik daripada menyesal pernah mencintai seseorang yang sudah bercerai dari saya.

Terakhir

Biarkan saya dalam kesendirian daripada berkubang dalam kesedihan akibat dampak perceraian, saya tidak apa-apa membujang hingga nanti.

Tidak perlu menyerang saya dengan agama, cukup resapi semua masalah yang ada dengan akal nurani, tidak semua teori bisa dilakukan, seperti dalil-dalil pernikahan yang ternyata tidak wajib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun