Saya menjadi yakin, semua memiliki waktu kedaluwarsa, termasuk tentang cinta yang juga tidak akan pernah abadi, selalu berujung pada perpisahan.
Saya tidak berani untuk mencintai seseorang, takut jika seiring berjalannya waktu tidak bisa mencintai pasangan saya yang membuat pasangan saya akan pergi menjauh.
Perpisahan selalu menyakitkan, tetapi itu sudah merupakan keniscayaan sebagai muara dari rasa cinta dan menjadi mimpi buruk yang menggempur kepala saya.
Jika ada yang membahas cinta atau seluk-beluknya, saya lebih memilih untuk menghindar daripada harus terlibat di dalamnya, saya bahagia dengan kekosongan hati saya.
Mengidap gamophobia
Saya mempertanyakan esensi pernikahan: Kalau ada pernikahan, lantas mengapa harus ada perceraian juga? Jika ada kebahagiaan, mengapa juga harus ada kesedihan?
Banyaknya kasus perceraian semakin membuat saya mengidap gamophobia, ketakutan terhadap pernikahan dan seluk-beluknya.
Saya takut jika tidak bisa mempertahankan ikatan suci ini dan harus merelakannya berpisah secara agama dan hukum sebagai mantan istri saya.
Ketakutan saya dengan pernikahan semakin menjadi-jadi: takut jika tidak sanggup menghidupi anak dan istri saya, takut jika harus bercerai, dan takut anak dan istri saya terkena dampak perceraian.
Beratnya berumah tangga sudah saya lihat sendiri: susahnya orang tua merawat saya, konflik adik ibu saya, hingga menjadi bijak untuk menghadapi masalah.
Untuk saya sendiri, menyesal tidak menikah jauh lebih baik daripada menyesal pernah mencintai seseorang yang sudah bercerai dari saya.