Mohon tunggu...
Mohammad Faiz Attoriq
Mohammad Faiz Attoriq Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Kontributor lepas

Penghobi fotografi domisili Malang - Jawa Timur yang mulai jatuh hati dengan menulis, keduanya adalah cara bercerita yang baik karena bukan sebagai penutur yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Money

Modal Kartu Contactless dan Smartphone, Money Changer Goodbye

10 Mei 2023   07:14 Diperbarui: 11 Mei 2023   07:04 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transaksi digital menjadi tren di masa kini, terlebih setelah pandemi Covid-19. (pixabay.com/Maria)

Dewasa ini, ASEAN sebagai uni negara Asia Tenggara  sedang mengembangkan konektivitas sistem pembayaran ASEAN di lingkup regional.


Bank Indonesia (BI) sedang membangun regional payment connectivity (RPC) dengan negara sesama lingkup ASEAN.


Dengan RPC ini, konektivitas sistem pembayaran ASEAN akan semakin kuat dan mempermudah transaksi regional.


Contohnya, Indonesia dan Thailand sudah membangun proyek RPC agar masyarakat Indonesia bisa bertransaksi secara mudah di Thailand, begitu juga sebaliknya.

Urgensi RPC ASEAN
RPC atau konektivitas sistem pembayaran ASEAN ini perlu untuk mengurangi kebutuhan penukaran uang asing.


Seperti yang sudah diketahui, ada praktik kotor di beberapa money changer yang menerapkan bea tinggi untuk menukarkan uang.


Ini sangat merugikan bagi turis yang menjadi korban pemerasan atau penipuan berkedok penukaran uang.


Berikutnya, perubahan kurs mata uang terjadi sangat cepat dan bisa terjadi kapan saja, bahkan dalam hitungan jam.


Jika Rupiah menguat, ini menguntungkan karena bisa mendapatkan uang banyak, akan beda ceritanya jika Rupiah tiba-tiba melemah.


Karena faktor tersebut, memang seharusnya konektivitas sistem pembayaran ASEAN atau RPC harus segera dibangun.


Dengan konektivitas sistem pembayaran ASEAN, masyarakat regional dapat mengurangi ketergantungan terhadap mata uang Dollar AS yang akan mengacaukan kestabilan keuangan.

Kartu contactless vs QR code
Sejak Covid-19 mengacaukan dunia, sistem pembayaran berubah dari tunai yang secara pasti ada kontak fisik menjadi non tunai, contohnya kartu debit contactless dan QR code.


Dari wabah virus inilah, muncul gaya hidup new normal yang mulai meninggalkan uang kertas atau logam untuk bertransaksi.


Begitu status darurat Covid-19 berakhir, tren transaksi baru berupa cashless tetap berjalan hingga saat ini.


Masyarakat sudah terbiasa belanja di sebagian pusat perbelanjaan atau minimarket menggunakan kartu debit atau kredit contacless.


Kemudahan transaksi digital didapatkan oleh penggunanya karena tidak perlu untuk menggunakan PIN, tinggal tap, langsung bisa bertransaksi.


Namun, kelemahan kartu debit atau kredit contactless adalah tidak semua mesin EDC mendukung sistem tap karena pada umumnya masih berupa gesek atau chip, metode transaksi yang sudah ketinggalan zaman.


Isu kejahatan dalam transaksi digital juga terjadi, yaitu kartu tersebut rawan disalahgunakan ketika tersebut hilang karena langsung tap, transaksi beres.


Meskipun ada fitur untuk mematikan status contactless, pengguna yang panik tidak sempat mematikannya, ini akan menguntungkan pelaku kriminal.


Berikutnya, ada metode pembayaran dengan menggunakan QR code yang hanya dengan scan melalui ponsel.


Di Indonesia sendiri, QR code seperti QRIS sangat laris manis, hanya modal smartphone, masukkan nominal, beres.


Harus diakui, QR code memiliki kelemahan, yaitu mudah dipalsukan sehingga uang yang masuk bukan ke tempat usaha, melainkan pribadi pelakunya.


Rumitnya QR code adalah harus menunjukkan bukti transaksi kepada tenant, meskipun ada yang menggunakan QR code spesifik meskipun sedikit sekali.

Namun, keduanya kini bisa digunakan untuk transaksi digital di luar negeri, saldo terpotong mengikuti kurs mata uang setempat tanpa harus 'transit' ke Dollar AS.

Konektivitas perlu, keamanan penting
Dengan kemudahan bertransaksi seperti kartu contactless dan QR code, ada ancaman keamanan keuangan yang menghantui jika penggunanya lengah sedikit.


Membangun konektivitas bisa memperbesar peluang terjadinya kejahatan siber tersebut seiring luasnya koneksi, terlebih sampai melewati batas negara.


Maka dari itu, Bank Indonesia juga harus menggandeng Kementerian Kominfo dan kepolisian untuk turut serta membangun keamanan dalam konektivitas sistem pembayaran ASEAN ini.
Penjaminan keamanan transaksi regional perlu untuk dibangun agar masyarakat ASEAN dapat bertransaksi di negara sesama regional tersebut dengan aman.

(***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun