Mohon tunggu...
Mohammad Faiz Attoriq
Mohammad Faiz Attoriq Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Kontributor lepas

Penghobi fotografi domisili Malang - Jawa Timur yang mulai jatuh hati dengan menulis, keduanya adalah cara bercerita yang baik karena bukan sebagai penutur yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cerdas Diukur dari Nilai Rapor dan IPK? Basi!

3 Mei 2023   05:49 Diperbarui: 3 Mei 2023   05:53 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski sudah terlewat dari Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas, tapi tidak ada salahnya untuk menyinggung soal pendidikan dan stigmanya.

Masih ingat dulu orang tua kita adu mekanik rapor kita dan teman kita? Mereka membanggakan anak mereka masing-masing dari nilai rapornya.

Kalau waktu saya SD atau SMP, standar anak jadi jagoan kelas itu adalah ranking 10 besar dan nilai rapor tidak ada yang 70 ke bawah.

Begitu menginjak bangku SMA, sistem ranking tidak ada di rapor, tapi pernah orang tua teman saya menanyakan rapor saya melalui orang tua saya.

Untuk apa? Jelas-jelas adu mekanik, pertanyaannya adalah: di rapor saya, ada berapa mata pelajaran yang nilainya 90?

Jelas, karena teman saya berasal dari SMP negeri yang kualitasnya bagus, sedangkan saya dari SMP swasta medioker.

Waktu itu saya berpikir, orang-orang berpikir kalau latar belakang siswa juga memengaruhi bagus atau jeleknya nilai rapor.


Budaya usang
Meskipun sekarang ranking dan nilai rapor bukan menjadi prioritas dalam sistem pendidikan, tetap saja di dunia sosial atau pendidikan sendiri masih mendwakannya.

Mereka masih menilai anak mereka atau orang lain cerdas kalau nilainya bagus, misal Matematika dapat nilai 95.

Lantas bagaimana dengan siswa yang nilai Matematika hanya 70, sedangkan dia berbakat di bidang seni?

Tetap saja dia dianggap bodoh karena yang dinilai hanya mata pelajaran eksak, kesannya dikotak-kotakkan.

Ini sudah diwanti-wanti Albert Einstein: "Semua orang jenius. Tetapi jika Anda menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, ia akan menjalani seluruh hidupnya dengan percaya bahwa ia bodoh.".

Bahkan, Indonesia masih menyembah prestasi akademik seperti pelajar ikut Olimpiade alih-alih pelajar ikut kejuaraan olah raga.

Sampai di dunia kerja pun mindset kuno masih dipelihara, mengapa? Mereka hanya mau menerima calon pekerja yang IPK di atas 3,0.

Padahal, IPK diambil dari kemampuan seseorang berdasarkan teori, bukan praktik atau tekniknya.

Percayalah, ini semua adalah budaya usang yang seharusnya sudah lama ditinggalkan seperti halnya negara maju.


Menghapus pembatas
Indonesia masih banyak masyarakatnya yang terkurung dalam stigma kecerdasan diukur berdasarkan nilai rapor atau IPK.

Zaman sudah berubah, paham usang yang mengotak-ngotakkan indikator kecerdasan ini seharusnya dibuang saja.

Tidak semua anak bisa berkembang jika penilaiannya berdasarkan sistem atau stigma yang sudah basi, barangkali seharusnya mati sejak awal era Reformasi.

Setiap individu memiliki kecerdasan tersendiri, berbeda satu sama lain, dan belum tentu bisa diukur dengan indikator zaman baheula.

Ini sudah saatnya untuk menghargai kecerdasan individu, tidak selamanya nilai jelek itu bodoh, dia pintar hanya saja diukur dengan sistem yang sudah tertinggal jauh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun