Ini sudah diwanti-wanti Albert Einstein: "Semua orang jenius. Tetapi jika Anda menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, ia akan menjalani seluruh hidupnya dengan percaya bahwa ia bodoh.".
Bahkan, Indonesia masih menyembah prestasi akademik seperti pelajar ikut Olimpiade alih-alih pelajar ikut kejuaraan olah raga.
Sampai di dunia kerja pun mindset kuno masih dipelihara, mengapa? Mereka hanya mau menerima calon pekerja yang IPK di atas 3,0.
Padahal, IPK diambil dari kemampuan seseorang berdasarkan teori, bukan praktik atau tekniknya.
Percayalah, ini semua adalah budaya usang yang seharusnya sudah lama ditinggalkan seperti halnya negara maju.
Menghapus pembatas
Indonesia masih banyak masyarakatnya yang terkurung dalam stigma kecerdasan diukur berdasarkan nilai rapor atau IPK.
Zaman sudah berubah, paham usang yang mengotak-ngotakkan indikator kecerdasan ini seharusnya dibuang saja.
Tidak semua anak bisa berkembang jika penilaiannya berdasarkan sistem atau stigma yang sudah basi, barangkali seharusnya mati sejak awal era Reformasi.
Setiap individu memiliki kecerdasan tersendiri, berbeda satu sama lain, dan belum tentu bisa diukur dengan indikator zaman baheula.
Ini sudah saatnya untuk menghargai kecerdasan individu, tidak selamanya nilai jelek itu bodoh, dia pintar hanya saja diukur dengan sistem yang sudah tertinggal jauh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI