Buktinya, tragedi ini perlahan mulai mendingin, semua insan sepak bola mulai kembali bergairah dengan kompetisi tanpa memedulikan tragedi ini lagi.
Hanya para korban, anggota keluarga korban, dan suporter bernurani yang tetap menjaga api lilin yang mengantar mereka menuju gerbang keadilan.
Sementara sebagian suporter lagi terlalu fokus membetulkan logo klub dan mural pos polisi yang esensinya masih belum seberapa itu.
Sementara gagalnya Indonesia ikut turnamen Internasional ini jauh lebih mendalam, bahkan ada aksi pita hitam atas matinya kesempatan itu karena alasan yang masih belum jelas.
Prestasi masih bisa dikejar, rezeki masih bisa dicari, tetapi bagaimana dengan korban dan keluarga korban Tragedi Kanjuruhan?
Mereka tidak lagi memikirkan prestasi dan reputasi klub yang dicintai, mereka merasakan kehilangan anggota keluarganya yang meninggalkan dunia ini.
Bahkan, para korban dan keluarga korban akan membenci sepak bola seumur hidupnya karena merenggut nyawa anggota keluarganya.
Tragedi Kanjuruhan berhak dikenang dan diperlakukan sama seperti halnya gugurnya Indonesia ikut berlaga di kancah internasional karena menjadi tuan rumah Piala Dunia U20 tahun ini.
Bukankah tidak ada kemenangan atau prestasi yang berharga di atas nyawa yang melayang karena ulah aparat?
Kata K.H. Ma'ruf Amin Wapres Indonesia, gagalnya Timnas Garuda bukanlah kiamat baig sepak bola Indonesia.
Rasanya, keputusan yang akan menjadi sanksi pembekuan sepak bola Indonesia adalah doa dari mereka yang teraniaya.