Ada yang bilang masa dewasa itu menyenangkan karena bisa bebas dari omelan orang tua atau aturan ini-itu.
Dengan menjadi dewasa, katanya bisa bebas untuk menentukan jalan hidup sendiri tanpa gangguan siapa pun.
Masa dewasa paling ditunggu-tunggu bagi setiap remaja labil, seperti aku di masa itu yang berharap cepat menuju kedewasaan.
Namun, begitu mencapai fase kedewasaan, tidak ada yang bisa kurasakan seperti apa kata orang yang pernah kudengar.
Di fase inilah, semua tentang mimpi dan rencana yang sudah dibangun sejak sekian lama tidak bisa untuk kuwujudkan.
Jangankan mewujudkan mimpi, berharap agar hari esok semakin berpihak padaku saja tidak sanggup lagi saking pahitnya hidup.
Bahkan, espresso sepahit bagaimana pun juga sekarang tidak terasa pahit lagi, kalah dengan hidupku dan masa depanku.
Percayalah, semakin tua usia seseorang, semakin banyak masalah hidup yang harus dihadapi dan mustahil untuk menghindar.
Menghadapinya saja sudah tidak mampu lagi, apalagi jika menghindarinya, justru yang ada semakin berat hidupku.
Energiku habis untuk berusaha agar bisa berdamai dengan hari ini yang semakin memuakkan meskipun pada akhirnya gagal.
Semakin tua, semakin sering dilanda kecemasan tentang masa kini, bahkan masa depan penuh rasa cemas.
Aku semakin cemas, takut jika masa depanku tidak bisa sukses seperti orang lain atau tidak bisa menikmati hidup.
Juga, aku kian cemas karena tuntutan hidup sebagaimana sebayaku yang seharusnya semakin kuat membisingkanku.
Kecemasanku semakin memuncak jika harus menghadapi masa depan yang semakin tidak bisa kujalani karena masa kini saja berat.
Terlalu riuh tuntutan hidup, seperti harus lekas bekerja yang mapan dan berkeluarga, semuanya aku takutkan.
Kata orang, semakin tua usia seseorang, seharusnya bisa berkomitmen, sedangkan aku takut dengan komitmen.
Omong kosong kalau ada yang bilang menjadi orang dewasa itu menyenangkan, justru lebih menyenangkan saat bocah.
Menurutku, lebih menyenangkan masa lalu di saat beban hidup terberat hanya sekadar PR Matematika yang tidak sempat terselesaikan.
Atau, diomeli orang tua karena pulang main dengan anak tetangga terlalu sore, hampir mendekati magrib.
Tidak ada rasa menyesal hidup di masa itu, justru aku menyesal mengapa aku tidak menikmati masa lalu itu?
Ya, hidup tidak jauh dari rasa menyesal, antara menyesal tidak bermimpi saat dewasa akan menjadi apa atau menyesal tidak mau menikmati masa yang berjalan kala itu.
Sialnya, aku memilih opsi kedua penyesalan tadi, dan sekarang merasa bersalah mengapa harus mengorbankan masa lalu.
Waktu memang kejam, dia terlalu egois karena tidak mau berhenti apalagi berjalan mundur saat aku tidak sanggup berjalan.
Sudah hukum alam, setiap orang akan harus menjadi pengikut setia waktu yang terlalu keras kepala untuk berjalan sesuka hati.
Aku terus dihinggapi rasa penyesalan yang tidak pernah mengenal kata selesai, entah sampai kapan rasa ini terus terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H