Bagi yang akan atau sudah menikah, punya anak adalah impian karena akan menjadi alasan bahagia.
Bukan sekadar untuk memiliki keturunan agar rumah tidak sepi, melainkan ada yang mengatakan bagian dari ibadah.
Dari anak, pasangan yang sudah menikah bukan semata-mata untuk meneruskan warisan atau jengah ditanya 'Kapan punya momongan?' di Hari Raya atau reuni keluarga.
Melainkan ada kebahagiaan yang tidak bisa dijelaskan, bahkan tidak apa-apa orang tua tidak makan asal anaknya kenyang.
Namun, ada yang memutuskan untuk menunda untuk memiliki anak karena masih belum siap untuk menghadapinya.
Mereka sebenarnya ingin punya anak, tetapi ada yang masih dikejar, misal karier atau masih belum mencapai kematangan mental.
Karena mengurus anak harus siap membentuk karakternya agar bisa menjadi lebih baik dan itu memerlukan energi besar.
Kondisi perekonomian yang mereka alami saat ini hingga beberapa tahun berikutnya belum siap untuk menafkahi tiga orang.
Namun, ada juga pasangan suami-istri yang memutuskan untuk tidak akan pernah memiliki anak seumur hidup.
Mereka yang memutuskan untuk childfree tidak asal karena malas untuk punya anak atau menghindari tanggung jawab.
Ada beberapa hal yang memutuskan untuk tidak memiliki anak, mulai dari psikologis sampai masalah keuangan.
Kita semua tahu bahwa biaya kebutuhan sekarang mulai semakin melambung tinggi dan tidak terbeli.
Menghidupi dirinya sendiri dan pasangan saja sudah ngos-ngosan, apalagi jika kedatangan 'buah hati' yang mereka hindari.
Mulai dari kebutuhan pokok sampai biaya pendidikan yang semakin tidak tersentuh meski pemerintah saat ini mengeluarkan berbagai program.
Banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk seorang anak, mulai dari perawatan saat di dalam kandungan hingga lulus kuliah.
Cukup memberatkan untuk soal uang, mereka yang tidak ingin memiliki anak akan cemas jika punya anak tetapi tidak sanggup membiayainya.
Namun, ada juga yang lebih pelik dari ekonomi, yaitu psikologis, bisa karena trauma, tidak ingin kehilangan karier, atau terbebani oleh tanggung jawab moral.
Ada yang di masa lalunya mengalami trauma karena menjadi korban toxic parents sehingga seumur hidupnya tidak ingin punya anak.
Memang, ada yang 'membalas dendam' toxic parents dengan menjadi orang tua yang baik, tetapi tidak semua orang bisa sembuh dengan cara itu.
Mereka yang memilih childfree karena trauma cemas kalau sifat toxic justru menurun pada dirinya.
Bagi beberapa orang, punya anak justru menjadi momok sebab dapat mengacaukan karier yang mereka kejar.
Bisa saja karena tidak mau melewatkan sehari saja untuk bekerja demi penghasilan besar karena izin cuti.
Ada yang cemas karena kariernya terganggu karena kehadiran anak, dan ini tidak bisa untuk disalahkan.
Waktu mereka tersita dan konsentrasinya pecah begitu harus berbagi waktu dengan anak.
Mereka memilih untuk childfree karena cemas jika anak mereka tidak mendapatkan perhatian karena waktu mereka tersita.
Sayangnya, keberadaan kaum childfee selalu dipersekusi karena menyalahi norma, agama, dan tujuan pernikahan versi mayoritas.
Mereka yang menjadi mayoritas terlalu mendewakan ajaran agama dan kultur tanpa memperhatikan fakta yang ada.
'Banyak anak banyak rezeki' masih menjadi pegangan hidup kebanyakan masyarakat Indonesia, tidak peduli dengan biaya dan tanggung jawab yang melambung tinggi.
Padahal, prinsip tersebut sudah tidak relevan lagi karena semakin banyak anak, semakin besar tanggung jawab orang tua.
Satu anak saja butuh biaya yang cukup besar dan masalah yang rumit apalagi jika banyak dan membuat orang tua semakin payah.
kebanyakan kaum yang menginginkan anak justru mengabaikan orang-orang yang memiliki masalah psikologis yang menyebabkan mereka childfree.
Belum lagi isu tentang kesehatan mental yang juga melanda orang-orang yang childfree belum banyak orang yang peduli.
Membali lagi ke soal prinsip, mereka yang memutuskan untuk tidak memiliki anak adalah keputusan individu.
Mereka tidak salah ketika memutuskan untuk tidak memiliki anak itu adalah cara mereka untuk bahagia.
Prinsip kebahagiaan hidup tidak bisa disamakan, ada yang bahagia dengan punya anak ada juga yang bahagia bila tanpa anak.
Oleh karena itu, yang harus dilakukan adalah menghargai pemikiran orang yang ingin childfee dan tanpa menghakimi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H