Mohon tunggu...
MASE
MASE Mohon Tunggu... Lainnya - Mochammad Hamid Aszhar

Pembelajar kehidupan. Pemimpin bisnis. Mendedikasikan diri membangun kesejahteraan fisik, mental dan spiritual masyarakat melalui pendidikan dan kewirausahaan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

5 Proses Memaafkan yang Membebaskan

1 Juli 2021   17:00 Diperbarui: 25 Desember 2022   06:55 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Adakah orang yang kita putus hubungan baiknya? Adakah orang yang kalau kita ingat, ada rasa gak enak ? Adakah orang yang kita anggap sebagai penyebab kesialan, kerugian bahkan penderitaan hidup kita? Adakah kejadian dengan seseorang yang terus menerus kita sesali? Adakah orang yang cenderung hanya kita lihat sisi buruknya saja? Adakah orang yang kita harap untuk mengalami penderitaan dalam hidupnya ? Bila seluruhnya atau sebagian atau satu saja dari pertanyaan-pertanyaan tersebut jawabannya ada, artinya jiwa kita masih sakit dan teridentifikasi bahwa kita belum bisa memaafkan. 

Identifikasi ini dan mengakui bahwa jiwa kita masih sakit adalah langkah pertama agar kita bisa memaafkan. Memaafkan harus spesifik, karena kita tidak bisa memaafkan sesuatu yang tidak terjadi pada kita. Ini disebut juga uncovering phase, mencoba memahami dan mengungkap rasa "sakit" yang dialami.

Memaafkan (forgiveness) bukan berarti mengabaikan, melupakan, melepaskan dari pertanggungjawaban hukum jika ada atau bahkan menyangkal keseriusan perlakuan buruk orang lain terhadap kita atau menganggap kesalahan yang terjadi itu tidak apa-apa. Itu namanya excusing. Memafkan bukan berarti melupakan masa lalu yang pahit dan melupakan kesalahan yang telah terjadi. Itu namanya forgetting. Memaafkan adalah keputusan untuk mereset dan menformat ulang belenggu sakit hati, luka, rasa gak enak, penyesalan dan kebencian ke dalam bingkai baru yang bisa membebaskan diri kita dari belenggu tersebut dan membawa ke kondisi hati yang lebih baik secara konsisten. Jadi salah satu tanda memaafkan adalah kita bisa melupakan. Kalau kita masih ingat dia yang kita benci, terbayang-bayang dan terus-menerus memikirkannya sampai menempati posisi di hati jauh lebih tinggi dari orang yang kita cintai... artinya kita belum memaafkan, kita terpenjara dan belum terbebaskan. Forgiveness is not an occasional act, it is a constant attitude. 

Contohnya kita ingat di masa lalu kita disakiti dan/atau dirugikan oleh pasangan atau saudara atau teman. Setiap teringat hal itu hati kita terluka. Untuk memaafkan kita bisa menjadikan kejadian tersebut dalam bingkai pesan Yang Maha Kuasa dan alam semesta tentang pelajaran hidup berharga. Alam semesta ini diciptakan Yang Maha Kuasa dalam keseimbangan. Apa yang kita tabur itulah yang kita tuai. Apa yang kita berikan itulah yang kita terima. Ada semacam neraca keseimbangan di alam semesta ini. Hukum ini tidak bisa dimanipulasi, direkayasa atau di "kadali". Bila kita sekarang menuai sakit hati dan kerugian, bisa jadi di masa lalu kita telah manabur perkataan dan/atau perbuatan yang menyebabkan orang lain sakit hati dan rugi. Alam semesta sedang menyeimbangkan dirinya pada diri kita, hingga akun saldo kita yang negatif menjadi nol. 

Bisa jadi Yang Maha Kuasa sedang memurnikan keikhlasan niat kita atau alam semesta sedang mengarahkan fokus hidup kita. Kita sedang diingatkan agar tidak terjerumus dalam jurang kesesatan dan penderitaan. Yang Maha Kuasa sedang menolkan ego kita. Alam semesta sedang menghancurkan kesombongan kita. Yang Maha Kuasa sedang mendidik diri kita lebih baik. Menjadi manusia yang hadir dan mampu membina hubungan cinta atau bisnis dengan bijaksana, menjadi pasangan/saudara/teman yang aktif saling menyembuhkan dan saling membahagiakan terus-menerus. Tidakkah kita menyadari semua kejadian di alam semesta ini walaupun menyakitkan adalah guru yang real? Sayangnya kita lebih banyak menyukai guru yang theory, karena lebih nyaman. Padahal semua kejadian di alam semesta ini adalah sekolah kehidupan yang sebenarnya. Sebenarnya kita sedang memasuki kurikulum alam semesta dan pelajaran real tentang "memaafkan".

Mengapa sih kita harus memaafkan? Sebab ketika belum bisa memaafkan lenyap perasaan nyaman. Ketika tidak ada perasaan nyaman maka jiwa kita, badan kita akan terbebani dan rentan untuk sakit baik secara psikis maupun fisik. Kita sering menganggap bahwa memaafkan selalu terkait orang lain, padahal memaafkan selalu terkait dengan diri sendiri. Forgiveness is not something we do for other people, we do it for ourselves to get well and to move on. Ini seperti kita memegang bara api dan berharap orang yang belum kita maafkan terbakar. Justru ketika kita tidak memaafkan sebenarnya kita membakar diri kita sendiri. Tanpa memaafkan, itu seperti membangun ikatan yang kuat dengan bayangan orang yang kita benci dan menyeretnya kemanapun kita pergi. Coba renungkan, bila kita tidak memaafkan, yang jadi korban siapa? Yang sakit dan menderita akhirnya siapa? 

Memaafkan itu gunanya buat kita sendiri, bukan buat orang lain. Bila kita bisa memaafkan dan tidak melakukan kezhaliman maka kebaikan akan dicatat dalam sistem memori kita. Ada  rekaman pengampunan, memaafkan, welas asih dan kebijaksanaan di sistem memori kita. Akun neraca keseimbangan kehidupan me"nol"kan diri dan ditutup. Ini adalah tentang pertukaran energi. Jika energi kita dalam neraca keseimbangan kehidupan positif dengan memaafkan, maka di masa depan sistem keseimbangan ini akan memberi kita begitu banyak kebaikan dalam situasi yang berbeda. Nasib akan berubah, menjadi lebih bahagia dan penuh kebaikan. Fred Luskin dalam penelitiannya menyampaikan bahwa ketika seseorang memendam amarah dan kebencian, tubuhnya mengeluarkan hormon kortisol  dan adrenalin yakni hormon yang membuat cemas dan stress. Amarah yang luar biasa beresiko dengan penyakit jantung dan kematian. Sebaliknya memaafkan menyehatkan mental dan membahagiakan hati, menenangkan hidup dan lebih membuat kita terhubung dengan sekitar.

Menyadari untung dan ruginya memaafkan. Menyadari bahwa memaafkan itu gunanya buat kita sendiri, bukan buat orang lain adalah langkah kedua agar kita bisa memaafkan. Ini disebut juga decision phase, mulai mempertimbangkan konsekuensi positif-negatifnya, untung-ruginya.

Ego base, gengsi, khawatir terlihat lemah atau bodoh sering membuat memaafkan itu jadi berat dan sulit. Beberapa di antara kita punya kata hati "Bagaimana mungkin saya bisa memaafkan setelah apa yang sudah dia perbuat begitu menyakitkan? Bagaimana mungkin saya bisa memaafkan ketika bekas lukanya masih terasa sampai sekarang? Bagaimana mungkin saya bisa memaafkan, orang dianya gak kapok, masih terus aja begitu, bahkan semakin menjadi-jadi ? Enak aja dimaafkan, orang dia-nya minta maaf atau sadar aja juga enggak ! Pernahkah kita menyadari bila kita punya kata hati, berpikir dan merasa seperti ini, itu artinya kita "salfok" (salah fokus). Kita fokus pada hal yang salah. Setiap orang seperti antena-antena yang memancarkan apa kata hatinya, memancarkan apa yang dipikirkan, memancarkan apa yang dirasa dan memancarkan apa yang difokuskan. Sesungguhnya apa yang kita pancarkan ke alam akan dipantulkan kembali ke kita. Pernahkan kita menyadari bila dalam pikiran dan emosi yang kita fokuskan dan pancarkan adalah musuh maka yang kita terima adalah musuh. We are attracted what we are. Salah fokus ini membuat hidup kita stuck, tidak beranjak naik level dan hanya mengundang pola kejadian menyakitkan yang sama berulang-ulang. Mau sampai kapan kita berputar dalam lingkaran penderitaan yang berulang-ulang seperti ini?

Lalu kemana seharusnya fikiran dan emosi kita fokuskan? Fokus ke dalam bukan keluar. Fokus kepada hal yang ada di dalam diri sendiri ! Fokus kepada hal yang ada di dalam diri sendiri sama artinya dengan fokus kepada Tuhan. Fokus kepada Diri Yang Agung. Bukankah Tuhan jauh lebih dekat dari urat nadi kita? Bukankah kita manusia sejatinya adalah pancaran dari Diri Yang Agung?

Menata kembali niat kita, memurnikan kembali keikhlasan kita, mengarahkan kembali pada hidup yang benar. Diri hanya memancarkan vibrasi, frekuensi dan energi yang murni seperti keikhlasan, kasih sayang, rasa syukur dan pengabdian. Mengendalikan ego kita. Mereset kembali keangkuhan dan kesombongan kita. Selalu berupaya mengambil hikmah dan pelajaran berharga agar kapasitas diri kita naik level dan bisa melewati masalah tersebut. Selalu berupaya menyikapi dengan baik, tidak terjebak oleh emosi negatif dan marah yang tidak terkendali serta terus-menerus memperbaiki diri. Hal yang perlu kita sadari dan perhitungkan, seringkali dampaknya pikiran negatif dan emosi marah jauh lebih besar daripada kesalahan itu sendiri, yang bisa jadi sangat sepele. 

Sejatinya musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri, yang selalu kita bawa kemanapun berada. Musuh terbesar kita adalah ego, keinginan dan hawa nafsu kita yang tidak bisa dikendalikan. Ketika kita sulit memaafkan, pernahkah kita menyadari bahwa kita juga pernah dimaafkan. Ketika kita sulit mengerti, pernahkah kita menyadari bahwa kita juga pernah dimengerti. Ketika kita sering tidak bisa terima, pernahkah kita menyadari bahwa kita sering diterima apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangan kita, dengan segala kebaikan dan keburukan kita. Pernahkah kita menyadari jangan-jangan kita ini sebenarnya orang yang sering menyakiti orang lain. Jangan-jangan kita ini sebenarnya orang yang sering melukai orang lain. Jangan-jangan kita ini sebenarnya yang bebal, terus mengulangi kesalahan-kesalahan, dan terus aja begitu tidak berubah. Seringkali orang yang kita nilai telah menyakiti kita hanya pembawa pesan yang dikirimkan oleh Yang Maha Kuasa untuk memberitahukan siapa kita. Ketika kita merubah belief, values, pikiran, perasaan, tindakan dan habits kita maka dunia akan mengkonfirmasi perubahan.

Pernahkah kita menyadari bahwa sebenarnya kita juga ikut berkontribusi atas terjadinya kebencian, pertengkaran dan permusuhan tersebut disadari atau tidak disadari. Kesalahan terjadi oleh kita, dia, mereka, kita semua. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya alam semesta ini diciptakan Yang Maha Kuasa dalam keseimbangan. Apa yang kita tabur itulah yang kita tuai. Apa yang kita berikan itulah yang kita terima. Ada semacam neraca keseimbangan di alam semesta ini. Hukum ini tidak bisa dimanipulasi, direkayasa atau di "kadali". Bila kita sekarang menuai sakit hati dan kerugian, bisa jadi di masa lalu kita telah manabur perkataan dan/atau perbuatan yang menyebabkan orang lain sakit hati dan rugi. Alam semesta sedang menyeimbangkan dirinya pada diri kita, hingga akun saldo kita yang negatif menjadi nol. Bertanggung jawab sepenuhnya atas kejadian apapun yang diri kita alami.

Ketika ada orang yang menyakiti hati kita, ketika ada orang yang melukai hati kita, sejatinya yang menyakiti dan melukai hati kita adalah diri kita sendiri. Sejatinya tidak ada satupun orang yang bisa menyakiti dan melukai hati kita bila hati kita tidak mengijinkan diri kita sakit dan terluka. Satu-satunya cara untuk menyingkirkan apa yang kita sebut "musuh" atau orang yang melukai kita atau orang yang merugikan kita adalah memaafkannya. Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat yang pernah memimpin bangsanya keluar dari Perang Saudara Amerika, mempertahankan persatuan bangsa, dan menghapuskan perbudakan menyampaikan bahwa "the best way to destroy an enemy is to make him a friend." Itu dimulai dari kesediaan diri kita untuk memaafkan.

Memperbaiki fokus bukan ke orang lain tapi fokus ke hal yang baik dari diri sendiri adalah langkah ketiga agar kita bisa memaafkan. Ini disebut juga work phase, yakni mengubah sudut pandang dan fokus diri.

Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan, punya sisi baik dan punya sisi gelap. Seburuk-buruk orang pasti masih punya hati yang baik juga dan sebaik-baik orang pasti bukan malaikat yang tidak pernah salah. Itu fakta ! Tugas kita adalah memberikan stimulus atas kelebihannya, memberikan stimulus atas kebaikannya sehingga kelebihan dan kebaikannya semakin lama semakin membesar kemudian kekurangan dan sisi gelap sudah tidak relevan lagi. Seringkali orang berbuat buruk bukan karena orang tersebut buruk tapi karena terpaksa berbuat buruk, tidak tahu atau tidak sadar (khilaf). Coba melihat orang dengan kacamata welas asih. Kita bisa mencoba mengklarifikasi dan memahami apa yang melatar belakangi orang berbuat buruk. Seringkali orang-orang yang berbuat buruk adalah orang yang layak kita tolong untuk bisa lepas dari keburukannya. Orang berbuat buruk, sebenarnya ia melawan hati nuraninya. Orang berbuat buruk, sejatinya sangat tersiksa dan menderita.

Kemudian yang perlu kita sadari lagi orang bukanlah benda mati yang tetap. Orang adalah sasaran bergerak yang terus berubah setiap saat. Seringkali orang tidak bisa memaafkan kesalahan orang 1 tahun yang lalu atau 10 tahun yang lalu, padahal orang tersebut sudah bertaubat, sudah insaf dan sudah berubah jadi jauh lebih baik. Bukankah itu sudah masa lalu? Kita masih terpaku kepada memori masa lalu. Ini seperti kita mencari alamat rumah di Jakarta tahun 2022 menggunakan peta Jakarta tahun 1897, jelas tidak match. Perkara orang tersebut berubah atau tidak, itu bukan urusan kita. Itu urusan orang tersebut dengan konsekuensi tanggungjawabnya kepada Yang Maha Kuasa. Mereka punya lingkaran keseimbangannya sendiri. Kalau mereka salah mereka pasti dihukum koq. Pasti ada balasannya. Kita saja yang tidak tau dan menyadarinya. Jadi jangan kuatir ! 

Sesungguhnya setiap kejadian yang kita alami adalah tentang kita sendiri. Bukan tentang orang lain. Sesungguhnya setiap kejadian yang kita alami adalah tentang lingkaran keseimbangan kita sendiri. Orang lain punya lingkaran keseimbangannya masing-masing. Setiap kejadian yang kita alami sejatinya kita sendiri yang meng-attract. Sesuai dengan beliefs kita, sesuai dengan values kita. Sejatinya kita sendiri disadari atau tidak disadari yang men-set up dinamika kehidupan kita. Lakukan apa yang menjadi bagian kita, selebihnya biarlah Yang Maha Kuasa dan mekanisme alam semesta yang bekerja. Sekali lagi orang lain yang kita anggap menyakiti kita seringkali adalah "duta" yang dikirimkan oleh Yang Maha Kuasa untuk menyadarkan kita, untuk membuat kita lebih kuat, untuk membuat kita lebih baik.

Sejatinya Yang Maha Kuasa, "Diri yang Tinggi", sumber segala realitas, wujud sempurna dan absolute, tidak dibatasi ruang, waktu, materi, energi dan informasi, Dia ada di dalam diri setiap manusia. Dia ada di dalam diri kita, ada di dalam dirinya, ada di dalam diri mereka semua.  Sebenarnya semua di alam semesta ini adalah perwujudan Tuhan. Alam adalah ungkapan empirisNya yang berbeda dalam segala hal. Artinya Dia immanent sekaligus transendent. KeberadaanNya tidak bergantung pada alam semesta yang terbatas dalam ruang, waktu, materi, energi dan informasi namun meresapi apa pun yang ada. Tak ada tempat di dunia ini di mana tidak ada kehadiranNya di situ. Setiap diri, setiap manifestasi adalah daya Tuhan. Dan itu satu kesatuan (entanglement). Ketika kita menyakiti daya Tuhan yang lain sebenarnya sama saja kita menyakiti diri sendiri. Sama seperti salah satu anggota badan kita tersakiti maka seluruh badan kita ikut sakit. Sudah benarkah kita, sehingga tidak coba komunikasi, klarifikasi dan memahami orang? Sudah sucikah kita, sehingga layak untuk tidak memaafkan orang? Sedangkan Yang Maha Kuasa saja sangat pemaaf kepada kita walaupun dosa dan kesalahan kita sebesar bumi dan langit. Bukankah kita juga masih butuh maafNya? Dalam perjalanan hidup bukankah kita masih butuh dimengerti dan dimaafkan orang lain?

Langkah memaafkan keempat, kita perlu memisahkan antara orang dan perbuatan. No body perfect. Tak satupun orang di dunia ini yang sempurna. Dan orang adalah sasaran bergerak yang bisa berubah setiap saat. Sesungguhnya setiap kejadian yang kita alami adalah tentang lingkaran keseimbangan kita sendiri. Orang lain punya lingkaran keseimbangannya masing-masing. Ini disebut juga deepening phase, menyadari bahwa orang termasuk diri kita juga butuh dimaafkan.

Buat apa kita rusak pikiran dan perasaan kita dengan getaran, frekuensi dan energi negatif dengan tidak memaafkan? Buat apa menyiksa diri dengan dendam?  Apalagi melakukan balas dendam. Balas dendam sejatinya menyakiti diri sendiri. Banyak orang berpikir balas dendam adalah kebebasan, padahal itu adalah penjara total. Bila kita memutuskan balas dendam, itu seperti sedang menandatangani sumpah darah untuk menghubungkan cerita hidup kita dengan orang yang kita benci atau musuh sepanjang sisa hidup kita. Membalas dendam seringkali hanya menyebabkan berpindahnya penderitaan ke penderitaan yang lain yang tiada habisnya. Buat apa kita habiskan waktu, materi dan energi untuk terpuruk dengan sakit hati yang tidak perlu.  Sayang bila tujuan mulia kita dinodai dengan getaran, frekuensi dan energi negatif. Sayang bila pengabdian kita, cinta kita dikotori kebencian dan tidak ada sikap saling memaafkan. Sayang dengan kesehatan kita, sayang dengan kebahagiaan kita, sayang dengan keberlimpahan hidup kita bila harus menderita karena tidak bisa memaafkan.

Beberapa cara untuk bisa melepaskan dari belenggu tidak bisa memaafkan adalah dengan terus-menerus memperbaiki diri agar lebih bahagia, agar lebih sukses, agar diri lebih bermanfaat dan bermakna. Katarsis bisa dilakukan dengan mengambil nafas dalam-dalam dan mengeluarkan perlahan-lahan dengan sadar penuh hadir utuh, melakukan olahraga, kontemplasi, sholat, meditasi, menulis gratitude journal, berdialog mencurahkan hati terhadap Yang Maha Kuasa, dzikir (membangun kesadaran diri terus menerus), mengembangkan diri, membangun bisnis, bekerja secara optimal, piknik, melakukan hobi positif serta bersilaturrahmi dengan komunitas yang lebih kondusif.

Proses katarsis dan pelepasan belenggu sulit memaafkan adalah langkah kelima untuk bisa memaafkan. Di tahap ini kita berproses menuju kebebasan dari borgol "sakit" jiwa karena tidak bisa memaafkan (release phase) 

Kemampuan orang untuk memaafkan tidaklah sama, tergantung atribusi, tingkat "sakit", kedewasaan diri, kekuatan dan kualitas hidupnya. Memaafkan seringkali membutuhkan proses. Ada yang prosesnya langsung. Ada yang prosesnya bertahap. Ada yang tahapannya exponential. Ada yang tahapannya incremental. Kita tidak perlu terobsesi mengejar kebebasan, kesembuhan dan kebahagiaan. Kita nikmati prosesnya. Walaupun progressnya baru 10%. Wajib kita syukuri. Kita hanya perlu melakukan banyak kebaikan. Kebebasan, kesembuhan dan kebahagiaan adalah dampaknya.

Sebagaimana yang saya sampaikan di atas sesungguhnya setiap kejadian yang kita alami adalah tentang kita sendiri dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa. Bukan tentang orang lain. Sesungguhnya setiap kejadian yang kita alami adalah tentang lingkaran keseimbangan kita sendiri. Orang lain punya lingkaran keseimbangannya masing-masing. Semua perkataan dan perbuatan sebesar zarah (materi terkecil) pun pasti ada balasannya. Hanya saja kita tidak tau yang dialami orang lain. Jadi jangan kuatir ! Artinya di sini juga bahwa jangan meletakkan atau mengikatkan kebahagiaan kita pada sesuatu di luar diri kita, baik itu orang lain ataupun benda-benda. Kendali sepenuhnya ada di dalam diri. Memiliki kebebasan sepenuhnya. Di level ini kita memaafkan karena ada kesadaran bahwa alam semesta ini balance, semua ada keseimbangannya, semua ada hukum pembalasannya. 

Sejatinya apapun yang hilang dari diri kita akan kembali lagi ke kita, entah sama atau dalam wujud lain yang lebih baik. Tidak ada yang perlu diratapi, dibalaskan, dituntut dan dikhawatirkan lagi. Kehidupan adalah permainan energi, tidak semata tentang strategi, taktik dan teknik. Dalam kehidupan ini ada aturan main tentang keseimbangan energi kehidupan. Siapa yg menabur akan menuai. Siapa yg mengambil akan dicabut. Mau pakai cara curang sekalipun, alam semesta adalah suatu sistem keseimbangan yang tidak bisa ditipu, dikonspirasi, di rekayasa atau dikadali. (QS 16 : 61,97). Di level ini, memaafkan sebenarnya tidak diperlukan lagi. Hati sudah penuh "welas asih". Karena sejatinya tidak ada musuh, yang ada adalah guru yang meruntuhkan kesombongan kita, mengkoreksi kita dan menunjukkan jalan yang benar. Sejatinya tidak ada masalah, yang ada adalah challenge yang luar biasa. Sejatinya tidak ada gagal, yang ada adalah belajar. Luka seringkali adalah anugerah dimana cahaya hidayah masuk dan membuat kita bertumbuh. Apa yang umumnya disebut musuh, masalah, gagal dan luka sejatinya adalah guru, tantangan, pembelajaran dan pertanda dari Yang Maha Kuasa agar kita lebih baik. 

Seringkali semua kejadian yang menyakitkan tersebut untuk menempa kita jadi lebih baik. Kadangkala seseorang dikirim Yang Maha Kuasa kepada kita untuk menguji sejauh mana keikhlasan kita, syukur kita, disiplin kita, fokus kita pada jalan kebahagiaan. Bila sikap kita keras seperti tanah liat, mungkin hanya perlu sentuhan sedikit untuk meluruskan ego kita, membetulkan kekeliruan kita dan mengingatkan kesombongan kita. Bila sikap kita keras seperti "batu" mungkin diperlukan "palu besi", "pasak baja" yang tajam dan pukulan "paku bumi" kehidupan berulang-ulang dari Yang Maha Kuasa untuk meluruskan ego kita, membetulkan kekeliruan kita, dan menghancurkan kesombongan kita. 

Fokus saja pada jalan kebahagiaan, disiplin menempuhnya, lepaskan semua beban belenggu kebebasan kita, murnikan getaran, frekuensi dan energi kita serta jalani hidup ini dengan ikhlas dan rasa syukur (Inna a’thoina kalkautsar). Terus membangun kesadaran dan kebermaknaan hidup dengan menjalani hidup yang indah dengan pengabdian dan cinta kepadaNya serta berkurban membantu orang-orang yang kesusahan/kekurangan, membangun peradaban lebih sehat, lebih hijau, lebih abundance, lebih smart, terus memberikan manfaat dan value sebesar-besarnya bagi umat manusia dan semesta alam (Fasholli lirobbika wanhar). Nanti orang-orang yang telah, sedang dan akan melecehkan kita, menyakiti kita, bahkan memusuhi kita dan menzhalimi kita akan tumbang, hancur dan sirna dengan sendirinya (Innasyaaniaka huwal abtar) (QS 108 : 1-3)

Di level yang paling tinggi ini, sikap kita seperti air, bahkan air samudera. Bila sikap kita seperti halnya air sebesar samudera, hati mampu menyucikan kontaminasi sampah-sampah emosi. Bila sikap kita seperti kuatnya air samudera, hati mampu melepaskan borgol energi negatif. Bila sikap kita seperti halnya air seluas samudera, kasih kita jauh lebih besar daripada orang dan lingkungan yang toxic. Bila sikap kita seperti halnya air yang selalu mengalir kebawah dan menyesuaikan dengan bentuk situasi dan kondisi yang ada, kesadaran kita mampu meletakkan ego dan mengambil keputusan secara sadar untuk melepaskan kebencian, marah dan dendam. Sudah tidak diperlukan palu besi, pasak baja yang tajam dan pukulan kehidupan berulang-ulang untuk meluruskan ego kita, membetulkan kekeliruan kita, dan menghancurkan kesombongan kita. Seperti halnya air yang tidak bisa dipukul, ditusuk, dicabik-cabik dan dilukai, sejatinya musuh, masalah, gagal dan luka adalah guru, tantangan, pembelajaran dan pertanda dari Yang Maha Kuasa dan alam semesta agar kita bisa lebih baik. (QS 10 : 62)

Finally, there is not peace without apologize. Memang sedih bila disakiti orang yang kita cintai. Memang kecewa di khianati orang yang kita percaya. Memang marah telah ditipu, dibohongi, dilecehkan, difitnah dan dijatuhkan. Memang terluka akibat kebencian, kemunafikan, permusuhan, pukulan, siksaan, kejahatan, penganiayaan, ketidakadilan, pertengkaran dan peperangan.  Its ok. Memang tidak mudah. Namun memaafkan layak untuk dijalani bukan karena orang lain, tapi karena kita layak mendapatkannya. Kita layak mendapatkan kebebasan dari rantai/borgol/belenggu/penjara sakit hati, dendam, amarah, kebencian. Kita layak mendapatkan ketenangan, kenyamanan, kedamaian, kebahagiaan, kesehatan, keselamatan dan keberlimpahan hidup. Hidup ini pilihan. Terserah kita mau memutuskan untuk bahagia atau menderita. Saya percaya kita adalah manusia cerdas yang mampu memilih mana jalan hidup terbaik.  Its about letting go, to move on, to  a better state of being. (QS 3 : 133-134)

Referensi :

Ibn Katsir, Ismail  (774 H) "Tafsir Alquran al-Adziim", Dar Alamiah (QS 3 : 133-134) (QS 16 : 61,97) (QS 10 : 62) (QS 108 : 1-3)

Luskin, Frederic, Forgive for Good: A Proven Prescription for Health and Happiness,  HarperOne; Revised ed. edition (January 21, 2003) 

Nicholson, Reynold A. (2011) The Mathnawi of Jalaluddin Rumi, Suhail Academy

Rahutomo, Arif,  "Kitab Ilmu Vibrasi", Eska Publising, 2020

Enright, Robert D., Richard P. Fitzgibbons, Forgiveness Therapy An Empirical Guide for Resolving Anger and Restoring Hope, American Psychological Association, 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun