Mohon tunggu...
MASE
MASE Mohon Tunggu... Lainnya - Mochammad Hamid Aszhar

Pembelajar kehidupan. Pemimpin bisnis. Mendedikasikan diri membangun kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan dan kewirausahaan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Samudera Kesadaran : Mengapa Tidak Bahagia?

12 Februari 2021   15:25 Diperbarui: 18 Agustus 2024   15:18 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak pandangan arti bahagia. Di sini saya mendasarkan arti bahagia yang lebih proven secara scientific menurut Daniel Kahneman, psikolog yang mendapatkan Nobel di bidang behavioral economics tahun 2002. Beliau menyampaikan bahwa manusia adalah dividu (divide) yang terbagi menjadi “diri yang mengalami” dan “diri yang mengingat/membayangkan”. Yang mengalami bahagia adalah "diri yang mengalami" bukan "diri yang mengingat/membayangkan". Kebanyakan manusia sering terjebak pada ingatan/bayangan kebahagiaan daripada pengalaman kebahagiaan itu sendiri. Ketika ingatan/bayangan tersebut tidak sesuai dengan keinginannya maka terjadi gap dan ini sering disebut masalah atau penderitaan. Ketika ingatan/bayangan tersebut sesuai dengan keinginannya maka itu dianggap kebahagiaan, padahal tidak, itu hanya kegembiraan. 

Ada salah kaprah dan kerancuan di masyarakat kita dengan menyamakan kebahagiaan dengan kegembiraan. Padahal antara kebahagiaan dan kegembiraan adalah sesuatu yang berbeda. Kegembiraan terjadi saat mengalami sesuatu yang sesuai dengan keinginan. Kebahagiaan justru sebaliknya, kondisi itu terjadi justru ketika kita bisa melepaskan diri dari kemelekatan kepada keinginan. Keinginan sejatinya hanyalah ingatan atau bayangan. Ketika ingatan atau bayangan tidak sesuai keinginan maka hal ini menjadi sumber penderitaan.  Pintu masuk kebahagiaan bukan pada “diri yang mengingat/membayangkan”. Namun pintu masuk kebahagiaan ada pada “diri yang mengalami” dan itu hanya terjadi ketika menyadari, merelakan dan menerima semua pengalaman kehidupan dan kematian di sini kini. Atau dengan kata lain pintu masuk kebahagiaan itu adalah ketika kita bisa menikmati apapun kondisi pengalaman hidup di present moment.

Jadi agar kita mengalami kebahagiaan maka diri kita harus memutuskan untuk memilih menjadi "diri yang mengalami" di present moment, bukan memilih menjadi “diri yang mengingat/membayangkan”. Karena yang mengalami bahagia adalah "diri yang mengalami" dan itu terjadi di present moment. Karena ketika kita be present moment maka tidak ada gap antara ingatan/bayangan di masa lalu dengan keinginan di masa depan. Pada saat itulah kita sedang memasuki pintu kebahagiaan. Itulah mengapa dalam penelitian Brett Q Ford atas orang yang memperturutkan keinginan untuk mengejar kebahagiaan justru paradoks mengalami sabaliknya yakni ketidakbahagiaan. Karena kebahagiaan bukanlah kondisi di masa depan, tapi kebahagiaan itu ketika kita bisa apapun kondisi pengalaman hidup di present moment. Kebahagiaan bukanlah tujuan, melainkan proses perjalanan hidup itu sendiri yang penuh kesadaran, kerelaan dan penerimaan. Karena proses hidup itu sendiri bersifat long term (jangka panjang) maka kebahagiaan dengan menikmati proses hidup dengan sadar penuh hadir utuh moment demi moment juga bersifat long term (jangka panjang). 

Menarik konsep psikoterapi sederhana yang disampaikan oleh Ki Ageng Suryomentaram dalam masterpiecenya "Kawruh Jiwa" bahwa ada tiga unsur utama diri manusia, yakni "Fisik, Keinginan, dan Aku". "Fisik" itu tidak merasa apa-apa dan tidak merasa ada. "Keinginan" itu merasa apa-apa dan tidak merasa ada. "Aku' itu tidak merasa apa-apa dan merasa ada.  Oleh karena itu, tidak ada hal "fisik" yang pantas dicari secara mati-matian untuk menuju kebahagiaan karena "fisik" itu tidak merasa apa-apa dan tidak merasa ada. Yang merasa apa-apa itu "keinginan". "Keinginan" ini memiliki sifat dinamis, artinya bila terus dituruti tidak akan ada habisnya. Keinginan bisa mengembang (molor) dan menyusut (mungkret). Bila keinginan dituruti maka akan terus mengembang (molor). Ini seperti meminum air laut, semakin banyak diminum justru semakin haus. Namun bila keinginan tidak dituruti maka keinginan akan menyusut (mungkret). Karena keinginan sebenarnya hanyalah ilusi. Keinginan adalah permainan pikiran dan perasaan yang bila tidak dituruti akan turun dengan sendirinya. Melekatkan kebahagiaan pada memperturutkan "keinginan" hanya akan terus menciptakan gap antara keinginan dan kenyataan yang ini justru menjadi sumber penderitaan. 

Selanjutnya yang merasa ada itu "aku". Ketika 'aku' dan keinginan melekat, orang merasa "akulah yang berkeinginan". Aku teridentifikasi dengan keinginan. Sehingga menjadi : "akulah yang gembira", "akulah yang sedih." Sehingga "aku" akan mengikuti mengikuti nature / fitrah nya kehidupan yang bersifat terbatas (relative) dan berpasangan (duality). Ada up and down, ada gembira dan sedih, ada sukses dan gagal. Maka "aku" akan menjadi labil. Aku akan selalu merasa tidak puas dengan apa yang dimiliki di sini kini. Terus-menerus terjebak dalam hedonic tredmill. Maka kebahagiaan yang dibayangkan terjadi ketika keinginan terwujud adalah ilusi dan labil. Ini bukanlah kebahagiaan sejati.

Kebahagiaan sejati justru ketika "aku" sudah bisa melepaskan kemelekatan terhadap "keinginan". Hal ini bisa dicapai ketika kita menyadari, merelakan dan menerima keinginan. Bila "aku" sudah bisa mulai menyadari bahwa yang berkeinginan bukanlah "aku", yang gembira atau sedih bukanlah aku, yang sukses dan gagal bukanlah aku maka secara perlahan mulai ada jarak antara "aku" dan "keinginan". Kemudian manusia akan berpikir dan merasa bahwa "aku bukanlah keinginan".... "yang gembira dan sedih bukanlah aku".  Dengan demikian 'aku' tidak larut dalam ritme gembira dan sedih. 'Aku' hadir seutuhnya sebagai yang menyaksikan (syahadah). 'Aku' lepas dari kemelekatan pada "keinginan".  Ketika "aku" sudah bisa terlepas/bebas/merdeka dari relatifitas dan dualitas kehidupan diatas maka "aku" menjadi tenang (lerem/nafs al muthmainnah). 

Pada saat kondisi jiwa bisa mengalami tenang (lerem/nafs al muthmainnah) karena terlepas/bebas/merdeka dari kemelekatan terhadap keinginan inilah sejatinya yang disebut kebahagiaan. Ini seperti langit dan awan. "Aku" adalah langit, dan "keinginan" adalah awan. Bagaimanapun kondisi "awan keinginan" maka "langit aku" tetap tidak larut dalam ritme cerah atau mendungnya "awan keinginan". Maka di mana saja, kapan saja, bagaimana saja, 'aku' menerima kehidupan se-apa adanya. "Saiki, kene, ngene, aku gelem". "Aku" mengalami kebahagiaan sejati. Seseorang yang mengalami kebahagiaan sejati tanda-tanda utamanya adalah berada dalam kondisi yang penuh cinta tanpa syarat (love mode). Mengalir menikmati perayaan hidup moment demi moment secara sesuai rancangan agung semesta (QS 1 : 1-7)

Referensi :

Ibn Katsir, Ismail  (774 H) "Tafsir Alquran al-Adziim", Dar Alamiah (QS 89 : 27-28; QS 1 : 1-7)

Kahneman, Daniel. Thinking, Fast and Slow. Farrar, Straus and Giroux; 1st edition (April 2, 2013) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun