https://www.jihadwatch.org/wp-content/uploads/2015/07/birmingham-quran.jpg
Paca runtuhnya ideologi besar dunia, kapitalisme dan komunisme, ikatan sosial masyarakat eropa menjadi terpecah-belah, rasa tidak aman menghantui kehidupan mereka, Ditambah kondisi ekonomi yang mencekik membuat mereka kesulitan memenuhi hajat hidupnya. Kekhawatiran tersebut membuat mereka berpaling menaruh harapan pada agama sebagai penggantinya. Namun keyakinan itu seketika runtuh saat agama tampil dalam wujud yang berbeda. Agama yang awalnya diyakini pemeluknya sebagai ruang kedamaian berubah sebagai alat melegitimasi tindak kekeraan dan alat politik untuk memperebutkan kekuasaan. Tidak heran bila pada masa itu golongan Marxian dan Freudian menganggap agama sebagai candu. Sementara Nietzche mengkritik dengan adigiumnya ‘Tuhan telah mati’ karena ketiadaan sifat-sifat tuhan pada orang-orang yang beragama masa itu..
Pada dasarnya semua agama membawa misi sebagai rahmatal lilalamin namun realitas keberagaman makin hari tidak merepresentasikan konsep tersebut. Pasalnya masih banyak tindak kekerasan, intoleransi dan terorisme atas nama agama di era modern ini.
Agama dan kekerasan
Agama dan kekerasan pada awalnya mempunyai keterkaitan. Agama mengakui kekerasan sebagai bentuk perilaku tidak ideal, dan bersifat keberdosaan. Di sisi lain bagi orang beragama, tindakan kekerasan bukanlah sebuah penyimpangan dan penyelewengan karena bagi mereka setiap manusia senantiasa dibayang-bayangi dari segala bentuk kejahatan. Untuk itu dalam agama, mereka diwajibkan untuk memeranginya. Seperti dalam istilah islam “amar makruf nahi munkar”. Bagi kelompok islam ektrimis tindakan kekerasan sebagai wujud mencegah perbuatan keji dan mungkar, sedang berperang melawan non islam adalah tindakan yang dianggap syah menurut pemahaman mereka.berdasarkan kajian ayat yang mereka pahami secara tekstual.
Krisis interpretasi
Al Quran merupakan kitab suci yang diyakini oleh orang islam sebagaimana juga kitab injil yang diyakini oleh umat kristen namun dalam tataran praksisnya para pengikut mereka mengalami krisis interpretasi terutama dalam memaknai ayat-ayat yang cenderung bersifat radikal. Seringkali ayat-ayat tersebut ditelan mentah-mentah kemudian dijadikan dalih bertindak kriminal.
Contoh dalam Al -Quran;
Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan dari padamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.(QS.At taubah:123).
Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti.(QS.At taubah:12)
Adapun dalam injil;
Dalam perjuanganmu melawan dosa, kamu jangan ragu untuk menumpahkan darahmu(Ibrani 12:4)
Apakah aku mencari keridhaan manusia ataukah keridhaan tuhan? Akankah aku mencoba menyenangkan manusia? Sekiranya aku masih ingin menyenangkan manusia, maka aku bukanlah budak kristus.(Gatalia 1: 10)
Berdasarkan ayat-ayat diatas jika dibaca secara tekstual kekerasan atas nama agama bisa jadi diperbolehkan. Namun belum tentu sesuai dengan situasi saat ini karena perintah dari ayat tersebut menyesuaikan pada waktu dan kondisi saat itu. Bila ayat radikal tersebut dipercayai sepenuhnya tentunya akan bersebrangan dengan misi keagamaan sebagai rahmatallilalamin(juru damai bagi seluruh penduduk dunia). Dalam esensi terbesar agama Kristen mengajarkan: Cintailah tuhanmu dengan sepenuh hati dan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terbesar dan pertama. Dan perintah yang kedua adalah sebagai berikut: cintailah tetanggamu sebagai kamu mencintai dirimu. Pada dua perintah inilah seluruh hukum dan nabi bersandar(Matius 22: 37-40). Begitu juga dilarangnya saling membunuh “kalian dilarang membunuh”(Keluaran 20 :13).
Senada dengan ini Al-Quran juga mengajarkan: “dan jika mereka (musuhmu) cenderung kepada perdamaian, maka kamu pun harus mengupayakan kedamaian dan bertakwalah kepada allah(QS Al Anfal[8]: 61). Bahkan Al-Quran juga tidak memaksa seseorang untuk masuk agama tertentu:”Tidak ada paksaan untuk(memasuki)agama (islam)(QS Al-Baqarah[2]: 256). Bila kita cermati, sebenarnya tuhan menciptakan manusia berbeda agama dan keyakinan, dimaksudkan untuk menguji para penganutnya seberapa banyak mereka memberikan kontribusi kebaikan pada seluruh umat manusia. Dalam Al Qur`an disebutkan.”Sekiranya allah menghendaki, niscayadia menjadikan kamu satu umat(saja), tetapi allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada allahlah kamu semua kembali, lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu(QS Al-Ma`idah [5] ;48).
Pembacaan dekonstruktif
Permasalahan mengenai teks-teks radikal ini membuat penulis ingin mengutip pendapat filsof Jacques derrida ”teks adalah bahasa yang maksimal”. dalam teks terjadi apa yang namanya otonomisasi bahasa. Artinya tulisan berdiri sendiri dan menjadi terpisah dari penulisnya ketika ia berada dalam ruang literatur. jadi bisa dikatakan seseorang yang membaca sebuah teks tidak ada jaminan baginya bahwa makna yang dipahaminya sesuai dengan maksud dan tujuan pengarang atau penulisnya. “There are is nothing out of the teks” tidak ada yang absolut dibalik teks.
Dekostruktif berarti penangguhan atau penundaan. Sementara kesadaran dekonstruktif adalah kesadaran individu meyakini adanya bermacam-macam makna yang terkandung dalam teks. Oleh karenanya ia menunda memastikan makna yang dipahami dari teks tersebut.
Seorang agamawan tidak bisa dengan mudah menafsirkan teks-teks suci menurut keyakinan mereka sendiri. keumuman kata yang ada didalamnya membuat banyak penafsiran bahkan mayoritas ahli tafsir dari semua agama di dunia seringkali menunda menafsirkan ayat-ayat tertentu takut tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh penulisnya(tuhan). Lebih-lebih orang awam yang tidak menekuni bidang tafsir sendiri.
Senada dengan pemikiran Derrida, Peter Gomes Pendeta di Harvard Memorical Church sejak 1974, dengan jelas mengakui adanya bahaya menggunakan pendekatan tekstual dalam memahami injil. Dengan beralasan. Pertama, dapat mengecoh pembaca dengan gagasan khayali sehingga membuat pembaca menisbatkan buah pemikiran yang dihasilkan sebagai kehendak dari penulisnya. Kedua, penilaian pribadi bisa mengaburkan makna teks dengan memerhatikan hanya apa yang dikatakan. Kedua alasan tersebut membenarkan adanya makna yang dipahami pembaca bersifat relatif. Jadi sudah sepatutnya bila kita menemukan ayat-ayat suci yang berseberangan dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan, kita perlu menyadari adanya keberagaman makna. Untuk itu sudah selayaknya kita menangguhkan atau menunda dahulu dalam memberikan makna .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H