Mohon tunggu...
Mohammad Umam Fawaid A.R
Mohammad Umam Fawaid A.R Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, pecinta buku, pecinta seni dan pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kekerasan dan Agama: Dekonstruksi Ayat Radikal

10 Mei 2016   11:58 Diperbarui: 10 Mei 2016   12:17 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam perjuanganmu melawan dosa, kamu jangan ragu untuk menumpahkan darahmu(Ibrani 12:4)

Apakah aku mencari keridhaan manusia ataukah keridhaan tuhan? Akankah aku mencoba menyenangkan manusia? Sekiranya aku masih ingin menyenangkan manusia, maka aku bukanlah budak kristus.(Gatalia 1: 10)

Berdasarkan ayat-ayat diatas jika dibaca secara tekstual kekerasan atas nama agama bisa jadi diperbolehkan. Namun belum tentu sesuai dengan situasi saat ini karena perintah dari ayat tersebut menyesuaikan pada waktu dan kondisi saat itu. Bila ayat radikal tersebut dipercayai sepenuhnya tentunya akan bersebrangan dengan misi keagamaan sebagai rahmatallilalamin(juru damai bagi seluruh penduduk dunia). Dalam esensi terbesar agama Kristen mengajarkan: Cintailah tuhanmu dengan sepenuh hati dan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terbesar dan pertama. Dan perintah yang kedua adalah sebagai berikut: cintailah tetanggamu sebagai kamu mencintai dirimu. Pada dua perintah inilah seluruh hukum dan nabi bersandar(Matius 22: 37-40). Begitu juga dilarangnya saling membunuh “kalian dilarang membunuh”(Keluaran 20 :13).

Senada dengan ini Al-Quran juga mengajarkan: “dan jika mereka (musuhmu) cenderung kepada perdamaian, maka kamu pun harus mengupayakan kedamaian dan bertakwalah kepada allah(QS Al Anfal[8]: 61). Bahkan Al-Quran juga tidak memaksa seseorang untuk masuk agama tertentu:”Tidak ada paksaan untuk(memasuki)agama (islam)(QS Al-Baqarah[2]: 256). Bila kita cermati, sebenarnya tuhan menciptakan manusia berbeda agama dan keyakinan, dimaksudkan untuk menguji para penganutnya  seberapa banyak mereka memberikan kontribusi kebaikan pada seluruh umat manusia. Dalam Al Qur`an disebutkan.”Sekiranya allah menghendaki, niscayadia menjadikan kamu satu umat(saja), tetapi allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada allahlah kamu semua kembali, lalu diberitahukannya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu(QS Al-Ma`idah [5] ;48). 

Pembacaan dekonstruktif

Permasalahan mengenai teks-teks radikal ini membuat penulis ingin mengutip pendapat filsof Jacques derrida ”teks adalah bahasa yang maksimal”. dalam teks terjadi apa yang namanya otonomisasi bahasa. Artinya tulisan berdiri sendiri dan menjadi terpisah dari penulisnya ketika ia berada dalam ruang literatur. jadi bisa dikatakan seseorang yang membaca sebuah teks tidak ada jaminan baginya bahwa makna yang dipahaminya sesuai dengan maksud dan tujuan pengarang atau penulisnya. “There are is nothing out of the teks” tidak ada yang absolut dibalik teks.

Dekostruktif berarti penangguhan atau penundaan. Sementara kesadaran dekonstruktif adalah kesadaran individu meyakini adanya bermacam-macam makna yang terkandung dalam teks. Oleh karenanya ia menunda memastikan makna yang dipahami dari teks tersebut.

Seorang agamawan tidak bisa dengan mudah menafsirkan teks-teks suci menurut keyakinan mereka sendiri. keumuman kata yang ada didalamnya membuat banyak penafsiran bahkan mayoritas ahli tafsir dari semua agama di dunia seringkali menunda menafsirkan ayat-ayat tertentu takut tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh penulisnya(tuhan). Lebih-lebih orang awam yang tidak menekuni bidang tafsir sendiri.

Senada dengan pemikiran Derrida, Peter Gomes Pendeta di Harvard Memorical Church sejak 1974, dengan jelas mengakui adanya bahaya menggunakan pendekatan tekstual dalam memahami injil. Dengan beralasan. Pertama, dapat mengecoh pembaca dengan gagasan khayali sehingga membuat pembaca menisbatkan buah pemikiran yang dihasilkan sebagai kehendak dari penulisnya. Kedua, penilaian pribadi bisa mengaburkan makna teks  dengan memerhatikan hanya apa yang dikatakan. Kedua alasan tersebut membenarkan adanya makna yang dipahami pembaca bersifat relatif. Jadi sudah sepatutnya bila kita menemukan ayat-ayat suci yang berseberangan dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan, kita perlu menyadari adanya keberagaman makna. Untuk itu sudah selayaknya kita menangguhkan atau menunda dahulu dalam memberikan makna .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun