Umurku saat itu sudah dibilang cukup matang, untuk ukuran wanita dikampung 'wes wayahe' nikah, juga sudah lulus kuliah, jadi apalagi yang dicari...ya jelas suami yang mumpuni, kira-kira begitu pendapat trah keluarga.
Setelah menikah semua baik-baik saja, dia selalu sibuk dengan pekerjaannya, sedangkan aku sibuk menjalankan peranku sebagai ibu rumah tangga.
Tapi perlu diketahui, selama menjalankan biduk rumah tangga 5 tahun, kami belum mempunyai momongan, dalam hal ini, aku sering disalahkan.
Padahal waktu itu belum terbukti secara ilmiah, siapa diantara kami berdua mengidap 'Infertilitas', alias tidak subur.
Walaupun kami berdua lulusan Perguruan Tinggi, tapi untuk memeriksakan ke Medis tentang hal tersebut dianggap kurang pantas. Yang menganggap kurang pantas dari pihak keluarga suami, akupun tidak tahu alasan mereka.Â
Tapi sudahlah...itu tidak penting.
Masalahnya...karena hal itu, jadilah aku sebagai sasaran perundungan dalam rumah tangga.
Bisa dibayangkan!
Selama 5 tahun, aku tetap bertahan atas nama kesabaran.
Sering sang suami mengatakan, ingin kawin lagi lah...mengatakan aku tidak becus memasak lah, aku dikatakan tidak lembut lah...
Memang pada saat-saat tertentu, aku melawan atas "stigma" yang selalu dilabelkan suami terhadap diriku.