Karena teknolgi dengan cara Kauterisasi (memanfaatkan panas), radiofrequency (gelombang ultrasonik), serta Laser, belum umum digunakan.
Maka pasca operasi, masih harus nginap dua hari di Rumah Sakit, untuk pemulihan.
Saya ingat pada saat itu, Ayah dan Ibu selalu menyuapkan eskrim dengan telaten, dan membujuk saya untuk menghabiskannya.
Dengan makan (makan atau minum ya?) es krim, rasa trauma psikis setelah operasi, lambat laun menghilang.
Hati bukan main senangnya, karena selalu disuguhi es krim oleh Ayah-Ibu.
Belakangan diketahui, ternyata minuman yang dingin dan lunak, seperti puding dan es krim, fungsinya untuk membantu meredakan peradangan pasca operasi, sekaligus mempercepat penyembuhan lukanya.
Selama di Bangsal anak-anak, saya juga bermain bersama pasien anak lainnya, dan sering mendengar celotehan mereka.
Celotehan anak-anak saat itu, semua hampir sama, minta dibelikan mainan, ada yang mewek-mewek minta pulang.
Padahal baru satu hari berada dirumah sakit, maklum masih anak-anak.
Tak terduga, dengan berjalannya waktu, limapuluh tahun setelahnya, peristiwa ini berulang.
Tahun 2021 saya di diagnosa oleh dokter, kembali harus menjalani operasi, tapi dibagian lain, dengan sakit yang berbeda.