Tidak terasa, dalam waktu kurang-lebih setahun kedepan, rakyat Indonesia akan mengadakan perhelatan besar, Pemilu Presiden dan Wakilnya pada tahun 2024.
Dalam penerapannya, Pemilu dianggap sebagai perwujudan dari Kedaulatan Rakyat, sarana partisipasi masyarakat, yang memberi peluang memilih pemimpin sesuai dengan "seleranya."
Dalam perhelatan demokrasi tersebut, dilantiklah pemimpin yang menang tanding.
Maka bisa dikatakan, pemimpin yang muncul dari proses ini adalah cerminan dari rakyatnya.
Karena ada kaidah yang berbunyi, "Kalian akan dipimpin orang yang seperti kalian."
Ungkapan diatas sudah ada sejak jaman dahulu, dan menjadi kaidah dalam masalah kerakyatan dan kepemimpinan, baik itu dalam kepemimpinan tradisional maupun moderen, seperti sekarang ini.
Biasanya, sikap golongan pemilih yang mencla-mencle dalam memilih pemimpin, maka hasilnya ya, 'setali tiga uang' alias kurang lebih sama karakter pemimpin dan pemilihnya.
Apalagi kalau pemilihnya berkongsi, dengan tujuan akhir, pokoknya golongannya harus menang, walaupun dengan segala cara.
Maka hasilnya adalah residu auto pemimpin yang tidak berpegang pada nilai-nilai etik, tidak amanah, karena tidak menjunjung standart meritokrasi.
Kandidat yang tujuannya hanya semata mengejar jabatan, dan memimpikan derajat sosial yang tinggi, cenderung hatinya menjadi budak bagi para (donatur) pengusungnya, yang menghantarkannya untuk mencapai keposisi tersebut.
Karena ada 'Bargaining Politik', yang harus dibayar kepada para pengusungnya.
Maka selama dia memimpin, akan terjadi pembiaran dalam bentuk melawan hukum, yang dilakukan para pengusungnya sebagai balas budi.
Perpaduan berbagai kepentingan inilah, yang membuat rezim seperti ini kehilangan marwahnya.
Atau jangan-jangan, kita termasuk bagian dan ikut berperan dalam panggung sandiwara kolosal ini.
Jangan pula heran apalagi marah, dengan gonjang-ganjing dunia perpolitikan ditanah Gemah Ripah Loh Jinawi ini, jika banyak pemimpin yang ada, susah dipegang omongannya, pintar berkelit dan licin seperti belut.
Munculnya pemimpin seperti ini, harus kita terima dengan lapang dada.
Hitung-hitung untuk melatih kesabaran...
Bukankah kesabaran itu baik?
Bahkan kesabaran adalah anjuran agama yang harus kita taati.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, kekuasan yang didapat dengan cara batil, biasanya senang mendengar kalimat peng-'Agungan' terhadapnya, meskipun ucapan itu hanya untuk menjilat.
Dan marah dengan ujaran 'Kebencian', meskipun kalimat tersebut benar.
Karakter pemimpin seperti inilah, menjadikan mereka bersikap defensive ala 'Catenaccio', untuk mempertahankan kedudukannya yang diraih denga susah payah.
Kita mahfum, sebenarnya, apabila para pemegang kekuasaan yang mengatur masyarakat berjalan lurus, maka mayoritas masyarakatnya bisa tenang dan bahagia.
Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah ditanya umatnya, tentang resep 'Toto Tentrem Kerto Raharjo', yang dirasakan umatnya selama ke Khalifahannya.
Jawab beliau, "Selama pemimpin kalian berlaku lurus terhadap kalian."
Ya memang benar, selama pemimpin itu adil menjalankan perannya, dan amanah pasti rakyatnya tentram dan bahagia.
Pemimpin-pemimpin jahat sebenarnya sudah ada sejak jaman dahulu, dan memang secara kodrati selalu ada.
Masalahnya, tinggal siapa yang "berani" memerankan tokoh antagonis tersebut?
Bukankah di Al Qur'an menyebutkan, kehidupan didunia ini hanyalah permainan dan senda gurau?
Maka, silahkan mengambil peran masing-masing dengan segala resiko yang membayanginya, mumpung masih hidup didunia.
Sebab nanti kalau sudah dipadang Masyar, adanya hanya perhitungan amal sesuai dengan peran yang dimainkan masing-masing individu.
Sebagai penutup, saya mengutip riwayat dari kalangan Bani Israil.
Suatu ketika, Bani Israil pernah berucap, "Wahai Tuhan kami, Engkau dilangit sedangkan kami dibumi, lalu bagaimana kami dapat mengetahui ridha dan murka-Mu?"
Lalu Allah Ta'ala dengan cara-Nya menjawab pertanyaan tersebut, dengan meng-Ilhamkan kepada Nabi Bani Israil, "Kalau Aku angkat orang-orang baik sebagai pemimpin kalian, berarti Aku ridha kepada kalian.
Begitu juga jika Aku mengangkat orang-orang jahat sebagai pemimpin kalian, berarti Aku murka kepada kalian."
Nah!, jadi sebenarnya dalam hal ini siapa yang salah, pemimpinnya kah? Atau rakyatnya yang sengaja memilih pemimpin tersebut?
Mulai sekarang, marilah kita sama-sama bermuhasabah.
Penulis, Mohammad Topani S
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H