Saya sering terkejut, bahkan emosi, kalau bertemu dengan pengendara yang tiba-tiba saja nylonong dari gang kejalan raya tanpa 'ba bi bu', tanpa riting, tanpa klakson dan tanpa merasa salah.
Pernah saat pagi hari, ketika saya mengendarai motor menuju lapangan Paseban untuk berolahraga, tiba-tiba dikejutkan dengan slonongan motor oleh emak-emak yang hanya mengenakan daster keluar dari gang untuk mengantar anaknya menuju sekolah.
Untung saat kejadian, respon tangan saya menekan tuas rem juga sigap, hitungannya hanya detik, kalau telat sedikit urusannya bisa panjang.
Hebatnya lagi, si emak ini tidak merasa bersalah, dan langsung melaju dengan motornya tanpa menengok kiri-kanan.
Kejadian seperti ini sering dijumpai saat jam sibuk, terutama saat pagi hari ketika jam sudah mendekati masuk kerja dan masuk sekolah.
Entah dengan alasan terburu-buru, atau mungkin mereka tidak sadar ruang, bahwa dijalan umum masih ada orang lain sebagai sesama pengguna jalan, harusnya berhati-hati untuk menjaga keselamatan sesama pengendara bermotor.
Begitu kira-kira bahasa klise, yang sering kita dengar dari orang-orang bijak.
Mudahnya persyaratan kredit motor yang ditawarkan oleh leasing, berdampak pula dengan jumlah kepemilikan motor yang penyebarannya hampir merata diseluruh pelosok kampung.
Dari fenomena ini, anak baru gede sampai mbah Kakung-mbah Puteri, semua bersuka ria menunggang motor tanpa mengetahui dan mengindahkan Safety Riding.
Karena itu, salah satu hasilnya, seperti kejadian yang saya alami, "dislonong boy" oleh emak-emak, yang bisanya hanya ngegas-rem.
Itukan pelajaran tingkat yang paling dasar dalam "rukun" berkendaraan.
Riting Kanan Beloknya Kekiri Atau Sebaliknya.
Pernah suatu ketika, saya melaju dengan motor matik, dikejutkan oleh pengendara motor yang ada didepan saya, karena belok kiri dengan riting kanan!
Padahal kecepatannya cukup tinggi.
"Wong edan!"
Maki saya, sambil komat-kamit berulang kali, seperti wong edan juga.
Saya yakin, para pembaca juga pernah mengalami kejadian menjengkelkan ini, bahkan cara naif pengendara model "berkelit" ini sudah menular pada kendaraan roda empat.
Ya itu tadi, riting kanan, beloknya kekiri atau sebaliknya, bahkan gak peduli sein nyala dikanan atau kiri, motor jalan lurus terus!
Seringnya situasi ini terjadi dijalan-jalan umum, membuat saya lebih hati-hati dengan pengendara motor lainnya.
Dengan kehati-hatian diharapkan dapat merespon dengan cepat, bila situasi dijalanan keluar dari pakemnya, karena lampu riting bukan jaminan kepastian berbeloknya kearah kiri, kanan atau lurus. Maka waspadalah!
Kenekatan lainnya, seringnya orang menyeberang dengan kendaraan, seperti membelah ketupat. Iya, menyeberang dengan cara memotong melintang begitu saja ditengah jalan, padahal ini bisa berakibat fatal, seperti terjadinya kecelakaan, semisal tabrakan beruntun.
Kalau sipengendara mengerti, menurut hemat saya, seharusnya sipengendara mengikuti arus kendaraan, lalu melipir ketengah, jika situasi sudah aman, segera memutar kekanan.
Cara menyeberang seperti ini sering saya lakukan, dan aman. Asalkan riting kanan muka-belakang selalu ketap-ketip sebagai tanda akan berbelok, sein ini untuk meminimalisir kemungkinan srudukan kendaraan dari belakang.
Waduh!
Jadi masih ada resiko disruduk kendaraan dari belakang ya?
La, iyalah, selagi berada dijalan umum tidak ada jaminan selamat 100%.
Melawan Arus!
Situasi dijalan yang sering membuat kening saya berkerut, ketika mengendarai motor di Ring-Road (jalan lingkar Jogjakarta) pada posisi lajur kusus motor, apalagi malam hari.
Sering tiba-tiba ada motor muncul dari gang atau jalan kampung yang melawan arus. Masalahnya, walaupun motor tersebut jalannya dipinggir, tapi laju motor tersebut yang mengkhawatirkan.
Sependek pengamatan saya, pengendara motor yang melawan arus tersebut kebanyakan umurnya masih bocah.
Dan sepertinya rumahnya gak jauh-jauh amat dari gang atau jalan kampung pertama kali dia keluar.
Makanya mereka agak "gleleng."
Lho kok bisa begitu?!
Iyalah, kan indikatornya sudah jelas, gak pakai helem, lagaknya seperti pembalap kw 2, sembari tangan kirinya memegang es teh lengkap dengan sedotan yang dibungkus plastik, sedangkan laju kendaraan cukup kencang. Siapa lagi kalau bukan jago kampung?
Goyangan Motor Yang Mencurigakan di SPBU!
Kalau pembaca cermati, saat antri di SPBU dan lagi beruntung, kita bisa tertawa geli atau malah curiga, melihat kelakuan pengendara yang mengoyang-goyangkan motornya, ketika operator SPBU cewek yang semlohai itu sedang mengisi bahan bakar kedalam tangki motor.
Dan ini sering terjadi, bahkan hampir setiap saya antri di SPBU, ada saja pengendara menggoyang "dombretkan" motornya, ketika operator sedang mengisi bahan bakar ketangki motor. Sampai-sampai Pertalite-nya tumpah berceceran.
Lain waktu, kepada sipengendara (secara acak), dengan keponya saya menanyakan tentang "goyangan" tersebut. Jawabnya, "Ben kebak kabeh tengkinya mas", sambil pergi bersungut-sungut.
Dari jawabannya, bisa jadi dia meng-analogikan, jika mengisi benda cair kedalam wadah atau tangki motor, sama hukum (fisika) nya dengan mengisi butiran jagung atau jengkol kedalam karung goni. Ya, harus digoyang-goyang lah, biar penyebarannya merata dan padat. Kira-kira begitu argumennya.
Padahal seingat saya, sifat benda cair selalu mengikuti bentuk wadah itu sendiri. Karena tekanan dan gaya gravitasi, benda cair (termasuk bahan bakar) dengan sendirinya mengisi celah-celah atau rongga yang ada dalam wadah tersebut. Maka ketika seseorang mengisi bahan bakar, tidak perlulah memperlihatkan kejahilannya, dengan menggoyang dombretkan motornya.
Aturan APILL Pada Traffic Lights Yang Banyak Ragamnya.
Selain dinamakan kota pelajar, kota seniman, kota kuliner, kota budaya dan banyak lagi gelar-gelar yang melekat pada kota Jogja ini, mungkin perlu ditambahkan satu ikon lagi, yaitu kota Traffic Lights!
Lah iya, sebagai contoh riil saja, CMIIW (luruskan ketika saya salah), sependek pengamatan saya, dari ujung timur jalan Ngeksigondo Tom Silver, sampai Bugisan ada 10 titik lampu merah.Â
Padahal panjang jalan tidak lebih dari 6 km, jadi kalau dipukul rata per 600 m terpasang satu titik perangkat lampu merah.
Titik-titiknya sebagai berikut, lampu merah jalan Ngeksigondo Tom Silver, lampu merah SPBU Gambiran, lampu merah XT Square, lampu merah pertemuan antara jalan Batikan, jalan Veteran dan jalan Menteri Supeno, lampu merah perempatan Taman Siswa, lampu merah jembatan Tungkak, lampu merah Pojok Beteng Wetan, lampu merah Plengkung Gading, lampu merah Pojok Beteng Kulon dan penutupnya lampu merah perempatan Bugisan.
Ini baru satu tarikan titik-titik lampu merah yang ada dari arah timur jalan Ngeksigondo Tom Silver ke Bugisan.
Kalau diamati dengan seksama, titik-titik lampu merah dari arah selatan Jogja keutara jumlahnya bisa lebih gayeng lagi.
Tapi apa boleh buat, biarlah tiang-tiang lampu merah yang terpasang disudut-sudut jalan tersebut, menjalankan tugasnya dengan tenang. Dengan setelan APILL (alat pemberi isyarat lalu lintas) nya masing-masing.
Karena bisa jadi, dengan banyak dan gemerlapnya lampu merah saat malam hari, wisatawan yang datang ke DIY mungkin saja menjadi "terpana."
Dengan sumringahnya mereka, masyarakat DIY bisa berbangga dan melupakan sejenak, tentang status Provinsi termiskin sepulau Jawa yang telah disematkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Sekarang, mari kita coba me "Roasting" aturan APILL dengan kombinasi Plang rambu lalu lintas, yang tersebar disudut-sudut kota Jogja dan sekitarnya. Walaupun yang dibahas hanya beberapa titik saja, sudah cukup untuk menggambarkan ketidak-tegasan aturan itu sendiri.
APILL ini, alih-alih untuk tertib lalulintas, eh malah sering membingungkan pengendara motor maupun mobil.
Apalagi saat musim libur, drivernya kebanyakan orang dari luar Jogja, yang belum terbiasa pada APILL dengna kombinasi Rambu lalu lintas ala Jogja.
Dibuka dengan pertemuan jalan Bantul dan jalan Cepit Tembi.
Pertigaan ini kalau dilihat sepintas baik-baik saja. Traffic Lights berfungsi normal.
Artinya, kalau dilihat dari tiga arah jalan, penandanya terbaca dengan baik, merah berhenti, hijau jalan terus. Bahkan arah dari selatan ditambah plang untuk penguat APILL, dengan tulisan hurup besar, 'LURUS IKUTI LAMPU APILL'. Lengkap sudah.
Tapi kalau musim libur atau hari kejepit (bukan ke Cepit ya), kendaraan dari arah selatan disuruh jalan terus oleh pak Polisi. Jadi lampu dalam keadaan merah diabaikan, ini untuk menghindari penumpukan kendaraan dari arah selatan, supaya tidak macet.
Masalahnya, pak Polisi kan tidak harus stand by terus-menerus selama 24 jam di Pos Cepit, jadi pengendara dari luar Jogja banyak belum paham, bahwa saat itu, jalan kearah utara atau ke Jogja, walaupun lampu dalam keadaan merah, boleh jalan terus.
Bahkan sudah dibuatkan (entah siapa yang membuat) rambu tambahan, ditulis dengan spidol hitam diatas sobekan karton 'Keutara Jalan Terus !', digantung ditiang dengan tali rafia, jika ditiup angin gedek terombang-ambing, jadi sulit dibaca.
"Rambu" jadi-jadian ini biasanya muncul disaat musim libur..
Lain di Cepit, lain di Dongkelan, perempatan Ring road Dongkelan kalau dari arah selatan, lampu dalam keadaan merah semua harus berhenti. Ditambah rambu lalu lintas 'Belok Kiri Ikuti Lampu APILL'.
Sedangkan dari arah utara, lampu dalam keadaan merah, belok kiri boleh jalan terus.
Dari arah utara klakson mobil-motor biasanya sering bunyi bergantian, karena banyak kendaraan yang pengemudinya tidak paham dengan APILL ala Jogja, berhenti disisi kiri jalan, saat lampu dalam keadaan merah, tapi ini wajarkan?
Karena APILL sebagai patokan mereka. Padahal ditiang ada tulisan sebesar plat nomor, belok kiri jalan terus. Memang membingungkan, kan?
Karena seringnya menemukan APILL dengan kombinasi Plang rambu lalu lintas yang beragam ini, maka dalam benak saya muncul logika sederhana, "jika diperempatan tidak ada plang tambahan, lampu dalam keadaan merah, belok kiri bisa jalan terus."
Tapi ini hanya logika lho, prakteknya nanti dulu, kecuali berani menanggung denda hasil monitor dari kamera tilang elektronik, atau malah dihadang Polisi yang teralingi gerobak angkringan, ya monggo.
Di Kelurahan Sosromenduran jalan Sosrowijayan, dari arah barat jalan Gandekan, ada rambu larangan untuk kendaraan yang akan masuk kejalan Sosrowijayan.
Tapi hal ini tidak mutlak, karena masih ada embel-embel tulisan yang terpasang ditiang tersebut, berbunyi, 'Kecuali Jam 18.00 s/d 21.00'.
Padahal jam segitu lagi rame-ramenya wisatawan sliweran jalan kaki, ditambah kendaraaan roda empat, termasuk Andong, becak motor dan motor roda dua, bertemu dari arah barat dan timur disatu jalan yang sempit.
Akibatnya muaacet puooll..
Tapi APILL dan kombinasi Plang rambu lalu lintas yang "nyleneh" ini sudah menjadi hak "paten" kota Jogja dan sekitarnya. Apa boleh buat.
Sebab itulah, kalau saya kebetulan bertemu dengan pengendara dari luar Jogja, yang lagi kelimpungan...eh kebingungan, paling saya hanya bisa ngeyem-yemi sambil berucap, "Sabar yo mas, niki Jogja, kudu manut."
Penulis, Mohammad Topani S.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI