Malam itu udara di sekitar rumahku sangat dingin, perut pun keroncongan. Akhirnya, aku beranjak keluar rumah untuk mencari makan malam. Setelah keliling, hati pun terpesona dengan Sate Madura.
Memang, Sate Madura di tempatku itu sangat terkenal kelezatannya, dan itu langgananku. Bahkan, saya juga kenal dengan si bapak penjual sate itu. Kebetulan, saat itu hanya saya yang membeli sate, sehingga kami pun sempat bercanda sembari berdiskusi soal tradisi "Toron."
"Maaf nak, mulai nanti malam saya libur ya sampai habis lebaran Idul Adha, sudah waktunya toron," kata Pak Dul-sapaan akrab penjual sate itu tiba-tiba membuka pembicaraan. Kami pun larut dalam diskusi tradisi toron hingga akhirnya sate pesananku jadi.
Sepanjang perjalanan pulang, aku pun berpikir soal tradisi Toron itu. Ternyata, "Toron" itu adalah Bahasa Madura yang artinya dalam Bahasa Indonesia turun. Artinya di sini, turun dari atas ke bawah.
Secara kontekstual, tradisi Toron ini berarti orang Madura yang merantau ke luar daerah turun dari bus, pesawat, mobil atau pun sepeda motor yang ditumpanginya untuk pulang ke tanah kelahirannya, Madura.
Selain itu, tradisi Toron juga berarti pulangnya atau mudiknya orang Madura ke empat kabupaten yang ada di Madura, yaitu Kabupaten Bangkalan (yang paling barat), lalu Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan, dan yang paling timur adalah Kabupaten Sumenep.
Sebenarnya, tradisi Toron ini sangat melekat pada saat orang Madura hendak mudik pada saat Idul Adha. Namun belakangan, makna tradisi Toron ini semakin luas. Kini, tradisi Toron ini biasa digunakan ketika orang-orang Madura hendak mudik pada saat menjelang Idul Fitri dan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Setidaknya, tiga momen itu yang biasa dilakukan tradisi Toron oleh orang-orang Madura, yaitu menjelang Idul Adha, menjelang Idul Fitri dan Maulid Nabi. Pertanyaannya kemudian, kenapa melekat pada tiga momen istimewa ini?
Ya, bagi orang Madura, Idul Fitri itu merupakan kemenangan pertama setelah melaksanakan puasa sebulan penuh. Sebelum Hari Raya Idul Fitri, biasanya mereka akan sumbangan untuk menyembelih sapi atau kambing. Selain daging, biasanya mereka akan menyembelih ayam untuk dimasak pada Hari Raya Idul Fitri.
Pada saat memomen Hari Raya Idul Fitri, orang Madura biasanya pagi-pagi habis Sholat Subuh berbondong-bondong ziarah ke makam leluhurnya, tapi ada pula yang melakukannya setelah Sholat Idul Fitri.
Setelah melakukan Sholat Idul Fitri dan ziarah ke makam leluhurnya, kini giliran mereka bersilaturrahmi ke tetangga, guru, dan saudara-saudaranya. Nah, di sinilah makna "Toronan" itu berbunyi. Mereka menjalin silaturrahmi supaya ikatan persaudaraannya tidak putus.
Terlebih lagi bagi orang-orang yang merantau ke luar Madura, maka dia seakan memiliki kewajiban untuk melakukan silaturrahmi ke sekelilingnya dan saudara-saudaranya. Jika dia lebih tua, maka dia akan didatangi atau dikunjungi saudara-saudaranya.
Uniknya, ketika berkunjung ke rumah saudara atau tetangganya, ada "keputusan" tidak tertulis bahwa orang yang main itu harus makan di rumah saudara atau tetangganya itu.
Jadi, setiap kali main harus makan, sehingga kalau satu hari itu main ke 10 rumah saudaranya, maka dalam sehari itu pula harus makan 10 kali juga. Enak kan......kenyang lo...hehehe. Nyaris tak ada lapar pada hari raya itu.
Lalu, kenapa Idul Adha? Ya, karena bagi orang Madura Hari Raya Idul Adha itu merupakan hari kemenangan kedua setelah Idul Fitri. Makanya, tradisi di Madura kalau Hari Raya Idul Adha tidak jauh beda dengan Hari Raya Idul Fitri.
Ada sholat Idul Adha, ziarah ke makam, dan bersilaturrahmi ke tetangga, guru dan saudara-saudara. Termasuk ada pula "keputusan" tidak tertulis bahwa harus makan setiap kali main ke rumah saudaranya itu.
Selain itu, saat momen Idul Adha ini biasanya orang Madura memotong atau menyembelih hewan kurban setelah sholat Idul Adha. Biasanya, hewan kurban itu diolah menjadi sate dan sebagian pula dijadikan kaldu.
Kaldu merupakan salah satu khas makanan Madura khususnya Kabupaten Sumenep yang berasal dari kacang ijo dan diolah asin, tidak manis seperti biasanya yang kita temukan di Sidoarjo dan Surabaya.
Nah, kemeriahan dalam merayakan Hari Raya Idul Adha ini nampaknya yang tidak terlihat di Sidoarjo dan Surabaya. Biasanya, warga Sidoarjo dan Surabaya merayakan Hari Raya Idul Adha dengan "nyate" hewan kurban setelah sholat Idul Adha. Nampaknya, tidak banyak terlihat tradisi silaturrahmi ke saudara-saudaranya hingga makan setiap kali main.
Mungkin, karena ini pula banyak warga Sidoarjo dan Surabaya yang menilai bahwa pada saat Hari Raya Idul Adha, orang-orang Madura selalu ramai berbondong-bondong pulang kampung. Bahkan, ada yang bilang kalau lebih ramai dibandingkan dengan Hari Raya Idul Fitri.
Memang tidak salah sih, cuma kurang tepat. Bagi penulis, dua hari raya ini tidak jauh berbeda, karena perayaannya sama-sama meriah. Mungkin, kalau Idul Fitri lebih terasa ramainya karena hari raya itu menunjukkan berhentinya puasa.
Kemudian, kenapa Maulid Nabi? Ya, karena orang Madura masih menganggap bahwa pada saat Maulid Nabi itu momen yang tepat untuk selametan atau berdoa. Biasanya, dibarengi pula dengan membacakan sholawat nabi untuk mengenang lahirnya Nabi Muhammad.
Biasanya, kalau Bulan Mulud, hampir sebulan penuh orang Madura menghadiri undangan untuk sholawatan, karena biasanya digilir antar rumah. Mereka masih sangat yakin bahwa dengan sholawatan itu, bisa menolongnya di dunia dan akhirat.
Itulah kira-kira makna Toron versi penulis. Khusus tahun ini, kira-kira orang Madura akan melakukan toron mulai Hari ini, Jumat malam (9/8/2019), tepatnya setelah pulang kerjanya. Toron itu akan terus ramai hingga Hari Sabtu besok, karena pada Minggu, Insyallah sudah Hari Raya Idul Adha.
Inilah Indonesia yang kaya akan perbedaan. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap tetap satu, NKRI harga mati, jayalah Indonesiaku!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H