Generasi Z sering menjadi topik hangat di berbagai forum dan media. Salah satu masalah utama yang sering dibahas adalah kecenderungan mereka untuk menggeneralisir orang dan situasi secara subjektif. Hal ini berdampak negatif pada interaksi sosial mereka dan kesehatan mental.
Gen Z adalah generasi yang tumbuh di era digital, dengan usia antara 8 hingga 23 tahun. Mereka terbiasa dengan informasi yang cepat tersebar lewat media sosial. Konten yang mereka konsumsi sering kali disederhanakan atau dibuat sensasional untuk menarik perhatian. Akibatnya, mereka cenderung melihat dunia dalam hitam-putih, tanpa memahami kompleksitas individu dan situasi. Tekanan sosial juga berperan penting.Â
Untuk memenuhi standar yang ditetapkan oleh masyarakat atau teman sebaya, Gen Z sering merasa perlu mengategorikan orang dan situasi secara cepat. Ini dilakukan untuk mencari kepastian dan kontrol dalam lingkungan yang sering tidak pasti dan berubah-ubah.
Menggeneralisir tidak hanya merendahkan individu atau menciptakan gosip. Ini juga menghambat kemampuan mereka untuk berempati dan berkomunikasi secara efektif. Saat terbiasa mengkategorikan orang atau situasi secara berlebihan, mereka kehilangan kemampuan untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda.Â
Akibatnya, hubungan antarpribadi mereka menjadi dangkal dan kurang bermakna. Kebiasaan ini juga bisa memicu prasangka dan diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Dengan memberi label pada seseorang berdasarkan pengalaman atau persepsi yang sempit, Gen Z memperkuat stereotip yang merugikan dan mempersempit pandangan mereka terhadap keberagaman manusia.
Contoh percakapan yang sering terjadi di antara Gen Z bisa berupa:Â
"Kenapa si A jarang ikut ngumpul ya?"Â
"Mungkin dia emang nggak suka ngumpul, atau mungkin dia sibuk sendiri."Â
"Aduh, kayaknya emang nolep banget deh dia."
 atauÂ
"Si A tuh bener-bener red flag, aku udah lama suka, eh dia malah jadian sama orang lain."Â
"Halah, gimana bisa sih? Aku kira dia green flag, berarti semua cowo sama aja ya."Â
Dampaknya? Percakapan seperti ini tidak hanya menciptakan gosip yang tidak berdasar, tetapi juga merusak kondisi mental dan emosional orang yang jadi sasaran.
Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan holistik dan inklusif diperlukan. Pertama, penting untuk meningkatkan kesadaran akan dampak negatif dari menggeneralisir dan pentingnya memperlakukan setiap individu secara unik. Ini bisa dilakukan lewat pendidikan yang mempromosikan pemahaman tentang kompleksitas manusia dan kampanye kesadaran yang menekankan pentingnya menghormati perbedaan.Â
Kedua, penting untuk mengembangkan keterampilan empati dan pemahaman yang lebih dalam terhadap orang lain. Ini bisa dilakukan lewat refleksi diri dan dialog terbuka dengan orang-orang dari latar belakang berbeda. Mendengarkan cerita dan pengalaman orang lain akan memperluas perspektif dan mengembangkan empati terhadap keberagaman manusia.
Kebiasaan menggeneralisir adalah masalah yang dihadapi Gen Z saat ini. Dampaknya termasuk merendahkan individu, menghambat kemampuan berkomunikasi dan empati, serta memperkuat prasangka dan diskriminasi. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan holistik yang mencakup peningkatan kesadaran, pengembangan keterampilan empati, dan penciptaan lingkungan yang mendukung keberagaman. Dengan demikian, Gen Z bisa menjadi generasi yang lebih sadar dan mempunyai rasa empati.
Penulis: Mohammad Rizky Rezaldi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI