Dalam pemaknaan lebih lanjut teori kompleksitas menekankan pentingnya fleksibilitas, adaptabilitas, dan responsivitas terhadap perubahan yang terjadi. Negara-negara dan lembaga internasional perlu mampu berkolaborasi dalam menghadapi tantangan yang bersifat dinamis dan tidak terduga, serta mampu merespons secara cepat terhadap perubahan dalam lingkungan global. Dengan memahami kerumitan dan dinamika sistem internasional, teori kompleksitas memberikan wawasan yang berharga bagi para pembuat kebijakan dan praktisi dalam merancang strategi kerja sama yang efektif dan adaptif. Dengan pendekatan ini, kerja sama internasional dapat menjadi lebih responsif terhadap perubahan yang cepat dan kompleksitas tantangan global yang semakin meningkat di era kontemporer. Teori kompleksitas dalam konteks kerja sama internasional menyoroti bahwa dunia internasional adalah sebuah sistem yang kompleks, di mana interaksi antara berbagai elemen tidak hanya saling terkait tetapi juga saling memengaruhi dengan cara yang sulit diprediksi secara linier. Pemahaman terhadap sistem ini mengakui bahwa tantangan global yang dihadapi oleh negara-negara saat ini tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan yang statis atau terlalu sederhana (Zartman, 2010).
Dalam teori kompleksitas, kerja sama internasional dipandang sebagai proses adaptasi terus-menerus terhadap kondisi yang berubah dengan cepat di lingkungan global. Hal ini menuntut para pemangku kepentingan untuk memiliki kemampuan untuk berkolaborasi secara fleksibel, mengubah strategi ketika diperlukan, dan bersikap responsif terhadap perubahan yang tak terduga. Kerja sama internasional yang didasarkan pada teori kompleksitas menekankan pentingnya memahami dan merespons dinamika yang kompleks dari hubungan antar negara, termasuk pola-pola interaksi yang mungkin tidak selalu terlihat secara langsung. Hal ini memerlukan tingkat keterbukaan yang tinggi terhadap perbedaan, pemahaman yang mendalam terhadap faktor-faktor yang memengaruhi keputusan, dan kesediaan untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi (Zartman, 2010).
Dalam konteks kerja sama internasional yang dinamis, lembaga pemerintah dan organisasi internasional perlu mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif, berbagi informasi dengan transparan, dan bekerja sama dalam menciptakan solusi yang inovatif untuk masalah global yang mendesak. Ini melibatkan pengintegrasian berbagai kepentingan, nilai, dan perspektif yang berbeda menjadi strategi yang komprehensif dan berkelanjutan. Dengan demikian teori kompleksitas memberikan pandangan yang mendalam tentang kerumitan dan dinamika hubungan internasional. Dengan pendekatan ini, kerja sama internasional dapat menjadi lebih adaptif, responsif, dan efektif dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks dan tidak terduga di era modern ini (Zartman, 2010).
Melalui berbagai konsep dan teori ini, para ahli memberikan wawasan yang mendalam tentang dinamika, tantangan, dan manfaat dari kerja sama internasional antar lembaga pemerintah. Mereka juga menyediakan kerangka kerja yang berharga untuk merumuskan kebijakan dan strategi yang efektif dalam mengatasi isu-isu global yang semakin kompleks di era kontemporer.
Â
Collaborative GovernmentÂ
Teori dan konsep seputar collaborative government menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa isu-isu kompleks seperti perubahan iklim, kemiskinan, dan ketimpangan sosial memerlukan kerja sama lintas sektor dan lintas lembaga untuk mencapai solusi yang berkelanjutan.
Dalam collaborative government, pemerintah berperan sebagai fasilitator dan koordinator yang membuka ruang partisipasi bagi berbagai pihak untuk berkontribusi dalam menyusun kebijakan publik. Kolaborasi ini dapat terjadi dalam berbagai tingkatan, mulai dari penyusunan program kecil hingga pembentukan kebijakan nasional yang luas. Konsep ini menekankan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi aktif dari semua pihak yang terlibat. Dengan melibatkan berbagai perspektif dan pengetahuan, collaborative government diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang lebih holistik, inovatif, dan berdampak positif bagi masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, collaborative government juga memperkuat legitimasi kebijakan dengan melibatkan pemangku kepentingan yang beragam, sehingga keputusan yang diambil dapat mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat secara lebih menyeluruh. Dengan demikian, kolaborasi antarlembaga dan antarorganisasi menjadi kunci dalam membangun kebijakan yang responsif, inklusif, dan berkelanjutan (Ansell, 2018).
Chris Ansell dalam bukunya How Does Collaborative Governance Scale? (2018) menjabarkan bahwa pentingnya kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan publik. Ansell menyoroti bahwa collaborative government dapat meningkatkan kapasitas pemerintah untuk mengatasi masalah kompleks dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Menurut Ansell, kolaborasi adalah kunci untuk menemukan solusi yang lebih holistik dan berkelanjutan terhadap tantangan masyarakat modern. Dia juga menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi yang luas dalam proses kolaborasi untuk memastikan bahwa keputusan yang dihasilkan mencerminkan kebutuhan dan aspirasi berbagai pihak yang terlibat.
Pandangan Ansell tentang collaborative government menyoroti bahwa kerjasama lintas sektor dan lintas lembaga merupakan strategi yang efektif dalam menghadapi kompleksitas masalah publik dan menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan berdampak positif bagi masyarakat secara keseluruhan. Ansell mendapat banyak pengaruh dari pemikiran Etzkowitz (2017) yang semula menggagas konsep kerja sama Triple Helix, yaitu sektor pemerintah, sektor industry, dan sektor Pendidikan atau universitas. Pada perkembangannya Etzkowitz mengembangkan konsep ini menjadi Kerja Sama Pentahelix, yakni konsep kolaborasi yang melibatkan lima pilar utama dalam ekosistem inovasi: pemerintah, industri, akademisi, masyarakat, dan media. Konsep ini menekankan pentingnya kerjasama lintas sektor dan lintas lembaga untuk mendorong inovasi dan pembangunan berkelanjutan. Pendekatan ini menyoroti peran masing-masing pilar dalam menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan ekonomi berbasis pengetahuan (Etzkowitz, 2017).