Mohon tunggu...
Mohammad Risqy
Mohammad Risqy Mohon Tunggu... Pelajar -

Seorang pemula.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kilometer Tak Hingga

31 Juli 2018   12:14 Diperbarui: 31 Juli 2018   13:21 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menjadi siswa dengan menyandang gelar terhormat adalah hal yang diidam-idamkan oleh semua orang. Salah satunya menjadi siswa jurusan MIPA atau yang kerap disebut matematika dan ilmu pengetahuan alam. Jurusan ini adalah jurusan yang paling dipuja oleh semua orang. Ia menjelma menjadi sebuah atmosfer yang dikultuskan ketika musim penjurusan siswa baru.

Mungkin aku adalah salah satu dari sekian orang yang memimpikan untuk masuk jurusan ini. Begitu juga dengan orang tuaku, mereka ingin melihat aku sukses dengan sematan 'Sarjana Sains'. Berjuang keras agar bisa menduduki satu kursi di jurusan ini, entah mengapa menciptakan segelintir candu bagiku.

Namun, semua berubah 360 derajat dari ekspektasiku sebelumnya. Jurusan ini berubah menjadi neraka yang mencekam. Di sini aku hanya menjumpai kumparan angka yang membuat aku ingin segera lepas dari jeratan yang menyakitkan ini. Aku merasa tidak memiliki passion di sini. Meskipun aku sempat berprestasi di jurusan ini. Tetapi, aku punya passion di tempat lain. Ya, kalian bisa menyebutnya bahasa. Jurusan ini memang dipandang orang sebagai sampah yang terbuang. Berbagai macam hujatan datang menampar pipi-pipi penghuninya. Akan tetapi, di sini aku akan survive berjuang mematahkan argumen mereka mengenai jurusan ini. Bahwa kesuksesan bukan semata milik anak IPA.

***

Pagi ini adalah pagi yang sedikit berbeda dari biasanya. Aku merasa lesu dan tidak bersemangat menyambut pelajaran fisika yang membuka hari pertama ini. Ini adalah akibat dari kenanaran yang melanda sejak semalam, tiba-tiba aku memikirkan: "Sudah benarkah posisiku di IPA?"

Saya sudah menanyakan ke Pak Adi, kalau pindah jurusan maksimal satu semester setelah peminatan.

Pesan dari guru BKku yang masuk seperti seonggok petir yang menyambar bertubi-tubi. Aku berharap ada jawaban "Bisa." ketika aku mengajukan untuk pindah jurusan dari IPA ke bahasa. Memang sekarang aku duduk di kelas XI. Keputusanku masuk jurusan IPA adalah hal yang paling spontan selama perjalan 16 tahun ini.

Aku putuskan untuk mengambil jurusan IPA, semata untuk membuat orang tuaku bahagia jika suatu saat melihat anaknya sukses menjadi seorang insinyur. Jawaban yang tepat dari hal ini adalah memang dengan aku menjadi siswa IPA.

Intinya hari ini aku malas sekali. Malas menatap rumus-rumus fisika di meja. Malas memandang rantai-rantai karbon kimia. Huh! Aku bosan.

"Ris, ini gimana? Kamu tahu nggak caranya?" seorang temanku menanyakan permasalahan dalam fisika.

"Bentar-bentar aku lagi pusing. Gak mood!" jawabanku membuatnya sedikit segan menanyakan suatu masalah.

Ya sudah, aku akan terus begini sampai ada jawaban "Iya." dari bimbingan konselingku bahwa aku bisa pindah jurusan bahasa.

***

Di rumah, aku masih tetap sama. Memasang wajah datar dan tak bernafsu belajar. Sepulang sekolah aku letakkan tas di kamar, bergegas mandi kemudian salat. Tanpa komando aku langsung mengambil headset untuk mendengarkan musik.

"Kamu nggak belajar?"

"Males.", jawabku singkat.

"Malas? Biasanya aja jam segini buku udah numpuk segunung di ruang tamu."

"Lagi males aja. Nanti kalau udah mood Risqy bakal belajar sendiri."

Ibuku berjalan meninggalkan aku setelah perbincangan singkat tersebut. Kedua orang tuaku memang tidak terlalu mengekangku jika dalam urusan belajar. Lebih-lebih jurusan, sebenarnya beliau membebaskan aku untuk memilih jurusan apapun, tanpa tekanan.

Tetapi, aku ingat satu perkataan ibuku yang secara tidak langsung mengarahkan aku untuk masuk jurusan IPA, "Kamu jadi kayak Mbak Farisa tuh, jadi teknisi industri. Sekarang aja gajinya dua puluh juta. Enak kan?". Ah, sudahlah.

Tiba-tiba sebuah pesan Whatsapp masuk. Dari guru BKku rupanya.

Besok datang ke ruang BK kita konsultasi tentang peminatanmu. Jam 8 bisa ya?

Iya, Bu saya akan ke BK jam 8.

Aku begitu bersemangat membaca pesan tersebut. Berharap-harap cemas mendapat jawaban yang selama ini aku tunggu. Bergegas aku mengambil buku-buku pelajaran untuk hari esok. Memersiapkan dengan maksimal. Pikirku ini adalah hari terakhir di IPA karena setelah ini aku menjadi siswa bahasa.

***

"Assalamualaikum?"

"Walaikumsallam, silakan masuk!"

Aku berjalan memasuki ruangan BK dengan perasaan yang mendebarkan.

"Jadi ini yang mau pindah jurusan?"

Aku hanya mengangguk mengiyakan.

"Kenapa kok nggak dari dulu pingin pindahnya?"

"Sebenarnya sudah dari dulu pingin pindah. Tapi kasihan orang tua, saya ndak tega melihatnya."

"Nggak tega kenapa?"

"Mereka beranggapan bahwa sukses adalah jalan anak IPA. Saya tidak tega melihat mereka sedih jika saya masuk bahasa. Tapi makin ke sini, saya lihat bakat saya memang di bahasa. Buat apa di IPA kalau tidak ada passion di sana. Saya yakin sukses milik semua orang tanpa terkecuali."

"Jadi sekarang kamu ingin pindah bahasa? Apa kamu tidak takut bermasalah di SNMPTN?"

"Jika itu risiko yang harus saya tanggung, maka saya siap."

"Apa kamu tidak menyayangkan prestasimu di IPA?"

"Mau tidak mau saya harus meninggalkannya dan kembali ke jalan saya yang sebenarnya - yang sejati.", jawabku dengan nada tegas.

"Kami akan memikirkannya. Besok akan kami sampaikan"

"Terima kasih,"

Aku menyalami guru BKku dan berlalu meninggalkan ruangan BK dengan perasaan lega. Semoga saja, esok hari aku bisa duduk di kelas bahasa.

***

Pagi ini aku datang ke sekolah seperti biasa. Namun, ada hak yang berbeda, kali ini perasaanku benar-benar tidak bisa dikendalikan. Telingaku sudah memerah tidak sabar mendengar keputusan BK.

"Baik anak-anak sekarang buka LKS halaman tiga puluh! Kerjakan nomor satu sampai lima belas!" kata guru PPKnku memberikan tugas. Lagi-lagi tugas yang diberikan membengkak.

"Iya, Bu!" sahut seisi kelas.

Suasana kelas yang semula serius mengerjakan tugas, terpecah akibat suara ketukan pintu dari arah luar.

"Permisi?"

"Iya, silakan masuk!" guruku memersilahkan.

"Ada perlu apa, Pak?" tambahnya.

"Saya ingin bertemu Mohammad Risqy Firmansyah, apa ada?" mendengar namaku disebut, spontan aku langsung mengangkat tangan. "Saya, Pak."

"Bisa keluar sebentar?"

Aku berjalan keluar kelas mengikuti guru BKku.

"Jadi keputusan kami adalah," aku semakin tidak sabar, "kamu bisa pindah ke bahasa dengan konsekuensi kemungkinan lolos SNMPTN lebih kecil dibandingkan teman-temanmu yang memang sejak kelas sepuluh berada di jurusan bahasa."

"Alhamdulillah, insya Allah saya siap dengan konsekuensi tersebut."

"Baik, sekarang kemasi barangmu dn ikut saya ke kelas bahasa!"

"Siap, Pak!"

Teman-teman sekelasku dan tentu guru PPKnku merasa keheranan, mengapa aku mengemasi barang-barangku. Setelah aku memohon izin kepada guru PPKnku, beliau cukup terkejut mendengar jika aku akan berganti haluan menjadi siswa bahasa.

"Ya sudah, hati-hati dan selalu berprestasi kapanpun, di manapun!" pesannya padaku.

Teman-temanku juga merasa sedikit kecewa dengan keputusanku ini. Entah mereka sedih atau malah bahagia aku tidak bersamanya lagi, semua hanya Tuhan yang tahu.

Memasuki ruang kelas bahasa, aku menjumpai wajah-wajah baru yang sebelumnya tidak mengenalku. Mereka terkejut ketika melihatku menenteng tas masuk ke ruang kelasnya. Terlihat guru BKku berbincang kecil pada guru di kelas tersebut.

"Silakan, masuk!"

"Nah, anak-anak ini ada teman baru kita. Dari jurusan IPA.", mereka heran dan memandangku dengan sinis. Namun, aku mencoba untuk ramah terhadap mereka.

"Halo, nama saya Mohammad Risqy Firmansyah dari jurusan IPA. Saya harap, teman-teman senang berteman dengan saya."

"Ya, Risqy silakan duduk di sebelah sana!" aku mengambil posisi duduk di belakang. Bangku terpojok - hanya seorang diri.

Hari itu juga aku mulai mengikuti alur pembelajaran kelas bahasa. Berjibaku dengan berbagai bahasa asing beserta kajian-kajian kebudayaan sudah siap menjadi menu harian di sekolah.

***

Tujuh tahun kemudian aku sudah bekerja di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Sebelumnya aku berhasil menyandang gelar sarjana muda dari jurusan hubungan internasional di salah satu universitas ternama di Jawa Timur.

Pergulatan dari IPA dan berakhir di bahasa adalah jalanku. Jalan panjang yang sudah dilukiskan oleh Tuhan. Aku percaya bahwa: sukses milik semua orang!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun