Sekira sepenanakan nasi, Pak Haji keluar dari ruang kamar makam, wajahnya terlihat teduh. Kemudian setengah berbisik dia berkata, "Seandainya orang-orang yang berziarah ke sini, tahu makna ziarah yang sebenarnya, sebagaimana yang Rasulullah ajarkan, betapa bahagianya si ahli kubur, karena setiap hari ada saja yang datang ke sini. Semoga Allah merahmati keduanya, yang mendoa dan yang didoakan."
Saya teringat cerita Gus Mus dalam Esainya "Mengirim Surat ke Kubur", yang melukiskan bagaimana suasana di dalam ruang makam Syekh Abdul Qadir al-Jailany di Baghdad, tatkala peziarah berdesakkan masuk, beberapa detik setelah petugas makam membuka pintu yang semula digembok.
Di dalam ruang makam sufi yang terkenal dengan sebutan wali quthub ini, bermacam-macam tingkah peziarah. Ada yang berputar-putar mengelilingi cungkup. Ada yang menggosok-gosokkan tubuhnya ke badan cungkup. Ada yang memasukkan uang atau surat ke celah-celah jeruji.
Tak seperti di Saudi Arabia yang begitu ketat penjagaannya terhadap para peziarah, karena mengkhawatirkan terjadinya kemusyrikan, di Baghdad, para peziarah dibiarkan melakukan ziarah menurut cara masing-masing. Boleh jadi karena mereka terlalu percaya bahwa perilaku peziarah itu tidak akan sampai merusakkan tauhid mereka. Demikian Gus Mus menyimpulkan.
Saat itu saya membayangkan, jika tiba masanya malaikat Izroil menghampiri kita, lalu tubuh kita terbujur kaku ditimbun tanah merah, di atasnya, di sebuah gundukkan tanah merah, terdapat sebuah nisan yang bertuliskan nama kita. Saat itu, yang pasti, kita sudah tak berselera lagi untuk berdebat tentang boleh tidaknya ziarah kubur. Karena bisa jadi, kelak kita begitu berharap akan ada orang yang lewat, bahkan singgah, lalu berdoa untuk kita.
Allahumaghfirlahu warhamhu wa afihi wa fuanhu..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H