"Orang yang telah meninggal sudah tidak ada urusan dengan kita, mereka harus memberi jalan buat yang masih hidup,"Â begitu kira-kira alasan salah satu teman Bonaga yang rajin salat tapi juga rajin memanipulasi pajak.
Makin nelangsa Naga Bonar tua mendengarnya. Baginya, Kirana, istrinya sekaligus ibu dari Bonaga, masihlah hidup dan akan terus hidup di hatinya. Emaknya pun begitu. Bujang, sahabatnya yang bengak itu, yang sudah dibilang oleh Naga Bonar agar jangan bertempur tapi masih bertempur juga, lalu matilah dia, dimakan cacingnya dia, pun begitu. Sungguh takkan rela ia melihat ketiga jasad orang terkasihnya yang tengah beristirahat itu harus digaruk dengan ekskavator (alat berat) demi sebuah tempat peristirahatan orang-orang berduit yang sama sekali tak dikenalnya. Takkan rela.
---------
Kita yang muda-muda dan merasa sudah pandai ini memang kerap alfa menggunakan rasa. Tengoklah, bagaimana seorang teman Bonaga menganggap penghormatan Nagabonar tua terhadap makam orang-orang terkasihnya itu sebagai sesuatu yang terlalu sentimentil dan berlebihan!
Lucunya, pada satu kesempatan, ia justru dibuat tak berkutik dan hanya mampu menelan ludah ketika Bonaga menceritakan kebiasaan temannya itu, yang kerap izin pulang kampung beberapa hari sebelum ramadhan dengan alasan nyekar.
Kita yang muda-muda dan selalu merasa lebih up-to-date ini sepertinya memang sudah terlalu enggan untuk sekadar melibatkan rasa. Apalagi jika sudah menyangkut ziarah kubur, perkara lama yang hingga kini masih menjadi debatable bagi sebagian kalangan.Â
Padahal Rasulullah sendiri dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, menganjurkan kita untuk berziarah kubur agar kita mengingat akan kematian. Karena ziarah kubur juga; dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Al Haakim, dapat membuat hati kita menjadi lembut, membuat air mata mudah berlinang, membuat kita menjadi ingat akan keberadaan akhirat.
Jika perkara mengingat kematian yang disebut-sebut sebagai pemutus semua kenikmatan (begitu) saja, kita sudah kehilangan rasa untuk sekadar saling menghormati pendapat masing-masing, kehilangan adab untuk sekadar menjaga perasaan orang lain, apatah lagi perkara dunia, perkara politik dan kekuasaan?
----------
Beberapa waktu yang lalu, di suatu pagi, di kampung Cibugis di wilayah Bogor Timur, di sebuah tanah berbukit yang cukup luas dan masih basah rumputnya, kami, sekumpulan warga dari beberapa perumahan; membabat ilalang, mengarit rumput dan memangkas reranting pohon, untuk sebuah tempat di mana kelak nama kami akan tertulis di nisannya. Dan jasad kami nanti bersemayam di bawahnya, dipeluk lindap juga sunyi, sendiri.
Saat kami istirahat, Pak Haji---begitu saya dan para tetangga memanggil beliau, alumnus Al-Azhar yang biasa mengajari kami mengaji di masjid--- terlihat menghampiri sebuah makam istimewa yang sengaja dibangun beratap dengan ruangan dan selasar yang cukup luas untuk memudahkan para peziarah yang ingin singgah dan mendoakan sang ahli kubur. Cukup lama Pak Haji berada di dalam ruang makam, mungkin beliau mendoakan sang ahli kubur.
Sekira sepenanakan nasi, Pak Haji keluar dari ruang kamar makam, wajahnya terlihat teduh. Kemudian setengah berbisik dia berkata, "Seandainya orang-orang yang berziarah ke sini, tahu makna ziarah yang sebenarnya, sebagaimana yang Rasulullah ajarkan, betapa bahagianya si ahli kubur, karena setiap hari ada saja yang datang ke sini. Semoga Allah merahmati keduanya, yang mendoa dan yang didoakan."
Saya teringat cerita Gus Mus dalam Esainya "Mengirim Surat ke Kubur", yang melukiskan bagaimana suasana di dalam ruang makam Syekh Abdul Qadir al-Jailany di Baghdad, tatkala peziarah berdesakkan masuk, beberapa detik setelah petugas makam membuka pintu yang semula digembok.
Di dalam ruang makam sufi yang terkenal dengan sebutan wali quthub ini, bermacam-macam tingkah peziarah. Ada yang berputar-putar mengelilingi cungkup. Ada yang menggosok-gosokkan tubuhnya ke badan cungkup. Ada yang memasukkan uang atau surat ke celah-celah jeruji.
Tak seperti di Saudi Arabia yang begitu ketat penjagaannya terhadap para peziarah, karena mengkhawatirkan terjadinya kemusyrikan, di Baghdad, para peziarah dibiarkan melakukan ziarah menurut cara masing-masing. Boleh jadi karena mereka terlalu percaya bahwa perilaku peziarah itu tidak akan sampai merusakkan tauhid mereka. Demikian Gus Mus menyimpulkan.
Saat itu saya membayangkan, jika tiba masanya malaikat Izroil menghampiri kita, lalu tubuh kita terbujur kaku ditimbun tanah merah, di atasnya, di sebuah gundukkan tanah merah, terdapat sebuah nisan yang bertuliskan nama kita. Saat itu, yang pasti, kita sudah tak berselera lagi untuk berdebat tentang boleh tidaknya ziarah kubur. Karena bisa jadi, kelak kita begitu berharap akan ada orang yang lewat, bahkan singgah, lalu berdoa untuk kita.
Allahumaghfirlahu warhamhu wa afihi wa fuanhu..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H