Mohon tunggu...
Mohammad Ikhya
Mohammad Ikhya Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti dan esais muda

Mohammad Ikhya Ulumuddin Al Hikam. Penulis merupakan mahasiswa jurusan Ilmu al-Quran dan Tafsir. Kecenderungan tulisannya seputar tentang diskursus publik, sosio-politik, dan otoritas keagamaan. Coretan yang lain juga bisa dilihat di website: fkmthi.com; tsaqafah.id; nu online, dll.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Jawabannya Bukan Khilafah!

17 November 2020   16:14 Diperbarui: 7 Februari 2021   05:51 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi itu solusi atau tragedi?

Menggeneralisasi keadaan adalah ciri pikiran yang hampa konsep. Dan berpikir tanpa konsep adalah ciri intelektual yang kacau.

Memancing di Air Keruh

Di dalam teori psikososial, tema-tema tentang ketidakadilan, kesengsaraan dan ketertindasan yang terjadi di dalam sistem sosial selalu menjadi stimulus yang efektif untuk menumbuhkan obsesi perubahan (wave of revolution), mendemonstrasi (demonstrating), dan memobilisasi masa (mobilizing the community).

Keadaan semacam itu, menurut Hamdi Muluk, menjadi ladang subur bagi tumbuh-kembangnya gerakan populisme, baik yang berbasis agama maupun nasionalisme. Fakta degradasi itu selanjutnya akan mendorong psikologis sosial untuk cenderung mencari pegangan pada ideologi yang menawarkan jawaban absolutis: hitam-putih, benar-salah. Sehingga, menjadi masuk akal jika ormas seperti FPI dan HTI, yang berhaluan semacam itu, mendapat atensi besar dari masyarakat karena bias posisi mereka terhadap narasi populisme yang sublim.

Di Indonesia, melalui pembacaan sejarah tentang politik Islam pada era reformasi, Azyumardi Azra mengatakan, meskipun di era Habibi terlihat bagaimana "euforia politik" melahirkan lebih dari empat puluh partai Islam, namun eksistensinya tidak pernah populer di Indonesia. Hal ini, menurut Azra, disebabkan setidaknya oleh dua hal: pertama, karena "Ideologi Islam" dinilai seringkali mengubah perebutan kekuasaan menjadi lebih elemental (pragmatisme politik adalah atribut terpenting dari kebanyakan perilaku pemimpin politik muslim pada umumnya). Kedua, fakta masyarakat muslim Indonesia sesungguhnya lebih menyukai Islam substantif daripada Islam formal, yaitu Islam yang berbasis pada ritual.

Oleh karena itu, ambisi untuk mendirikan khilafah di tengah bangsa majemuk adalah bentuk arogansi sosial yang saat ini justru menjadi distopia masyarakat yang harus disadari bersama.

Segala persoalan dan dinamika kebangsaan sesungguhnya tidak bergantung pada sistem dan bentuk negara yang digunakan; apakah monarki, teokrasi, demokrasi, aristokrasi dan sebagainya.

Tetapi, problem itu sepenuhnya bergantung dan berpusat pada dua hal: antara yang mengatur (government) dan yang diatur (socity governed). Jika keduanya baik, sistem apapun yang digunakan akan tetap menghasilkan kebaikan dan keadilan, sekalipun dengan sistem yang saat ini dianggap sebagai yang paling buruk: totaliter misalnya.

Apakah mereka tidak membaca sejarah secara jujur?

Bahwa seluruh ide tentang bentuk pemerintahan telah selesai diucapkan oleh sejarah. Pro-kontra khilafah akan terus terjadi sebagaimana perpecahan juga terjadi. Negara ini dihuni oleh mayoritas umat muslim. Sementara mereka juga sadar akan banyaknya masyarakat muslim kita yang menentangnya. Bila arogansi merubah negara itu dipertahankan, artinya, mereka menginginkan pertengkaran dengan saudaranya sendiri. Jadi, demi apa sebenarnya agenda khilafah itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun