Mohon tunggu...
Mohammad Hafidz Anshory
Mohammad Hafidz Anshory Mohon Tunggu... Tenaga Pendidik -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ngaji Pemikiran Bersama Dr. Adian Husaini: Membongkar Pertentangan Liberalisme dengan Islam

17 Januari 2019   07:37 Diperbarui: 17 Januari 2019   09:23 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ngaji Pemikiran Bersama Dr. Adian Husaini

Pada hari Rabu (16-01-2019), saya dianugerahi kesempatan oleh Allah SWT. menghadiri acara yang helat oleh pondok pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata (Panaan-Palengaan-Pamekasan- Madura) dalam pagelaran Pekan Ngaji 4. Aacara tersebut dikemas dengan "Ngaji Pemikiran" yang bertema "Tantangan Liberalisasi dan Masa Depan Pendidikan Islam di Indonesia," yang dihadiri langsung oleh Dr. Adian Husaini sebagai pembicara.

Sebetulnya, semenjak saya tahu rangkaian acara yang tersiar melalui webset resmi pondok pesantren Maumbaul Ulum yang salah satunya Ngaji Pemikiran dengan pemateri Dr. Adian Husaini saya sudah bertekad hadir apapun kesibukannya. Pasalnya, saya sangat kagum dengan produk-produk pemikiran beliau semenjak 2008 lalu di era gencarnya pemikiran liberal bergentangan. Sehingga merupakan kesempatan emas bagi saya untuk menikmati pemikiran-pemikiran beliau melalui tutur kata langsung tentang persoalan liberalisasi.

Ada banyak hal yang beliau sampaikan pada kesempatan itu tentang tema diatas yang kemudian menjadi ilmu yang sangat berharga bagi saya. Mulai dari penegasan tentang makna dan sejarah liberal hingga ke pengaruhnya terhadap segala aspek kehidupan umat Islam. Namun berikut dapat saya simpulkan agar yang tidak ikut hadir juga bisa menikmati, disamping juga ingin menunaikan beban wajibnya transformasi ilmu bagi yang lain.

Pertama, kata liberal pertama kali diperkenalkan oleh orang-orang yahudi sebagai reaksi terhadap kelakuan-kelakuan bejat para tokoh agamanya yang sudah memonopoli agamanya sedemikian rupa dalam membuat kebijakan-kebijakan sehingga mereka berkesimpulan agama harus dipisahkan dari kehidupan. Karena menurut mereka kebenaran sudah tidak lagi diukur dengan agama dan kitab suci. Satu-satunya ukuran untuk menilai kebenaran adalah rasio dan statmen masyrakat mayoritas.

Jadi, kata liberal merupakan istilah yang dimunculkan oleh orang-orang yahudi yang kemudian dipaksakan masuk pada agama-agama lain seperti nasrani dan bahkan islam sekalipun. Contohnya di Indonesia, Kita tahu ada jaringan yang mengatasnamakan dirinya sebagai islam liberal,padahal, istilah ini bagi penulis tidak kemudian langsung ditelan dengan penuh kenikmatan tanpa harus mendalami makna dan pengertiannya secara khusus bagi mereka orang-oranga yahudi. Karena sebuah istilah, memiliki terminologi khusus dalam suatu disiplin tertentu yang berbeda dengan etimologi yang masih bisa dipaksakan pada setiap hal yang semakna dengannya.

Kedua, hakikat liberal adalah ingin memisahkan tuhan dari kehidupan nyata dengan slogan khususnya yang dibangga-banggakan yaitu kebebasan dan rasionalitas. Akibatnya, agama harus ditilep dan ukuran kebenaran bukan lagi dari agama dan kitab suci sehingga muncullah istilah-istilah lain yang merupakan anak-beranak dari liberalisme semacam rasionalisme, pluralisme, skularisme, feminimesme, radikalisme dan isme-isme lannya yang sulit dicarikan padanannya dalam Islam.

Coba kita tilik hakikat makna islam itu sendiri, bukankah artinya adalah menyerah dan tunduk serta patuh kepada Tuhan. Artinya, seseorang yang memeluk Islam tidak bebas karena dibatasi dengan kepatuhan itu sendiri, sementara sebagaimana dijelaskan diatas semboyan dan tujuan liberal adalah kebebasan mutlak yang tidak bisa diganggu dugat. Jadi orang-orang yang mengatakan islam liberal secara logika bermasalah. Bagaimana tidak, sedang kata islam dan liberal tidak bisa disatukan alias gabungan kata yang antagonistik.

Ketiga, program-program yang menjadi target utama liberalisasi di Indonesia khusunya terfokus pada empat poin utama. Pertama, kometmen pada rasionalitas dan pembaharuan belaka. Segala sesuatu yang sudak tidak rasional dan tergolong klasik sudah gak layak dijadikan pegangan hidup Kedua,kontekstualisasi ijtihad secara radikal, sehingga aturan-aturan serta ajaran islam yang berawal dari timur tengah dikatakan sebagai produk arab yang tidak layak diterapkan di Indonesia Ketiga, pluralisme agama dengan harus mengatakan bahwa semua agama benar. Keempat, skularisme dengan target utamanya pemisahan agama dan negara serta menjadikannya sebagai urusan personal tidak boleh dibawa-bawa ke publik.

Dalam Islam keempat target diatas dengan pengertian yang diistilahkan oleh tokoh-tokoh penyembah liberal tidak ditemukan sejarahnya. Pengertian rasionalitas dan pembaharuan bukan berarti menghilangkan semuanya dan mengganti dengan yang baru yang seseuai dengan rasio. Kontekstualisasi ijtihad bukan urusan arabisme atau tidak tapi lebih mengacu pada illah (motif) tertentu dan yang terpenting tetap mengacu pada al-Qur'an sebagai kitab suci. Pluralisme bukan berarti harus mengakui semua agama benar. Bagi al-Qu'an tetap Islam agama satu-satunya yang benar yang lainnya tidak benar. Sekularisme dalam islam bukan berarti agama harus dipisahkan dari negara, publik dan politik. Islam tetap harus menjadi penuntun dalam setiap ruang dan gerak kehiduapan.

Keempat, pengaruh faham liberalisme sangat mencengangkan didunia pada umumnya dan di indonesia pada khususnya. Motif utama kehidupan hanya diukur dengan materi, sehingga kemajuan yang diagung-agungkan hanya terfokus pada kemajuan fisik, tehnologi dan kesejahteraan ekonomi belaka. Padahal kemajuan yang dimaksud dalam Islam adalah keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia. Perkawinan sesama jenis sudah tidak lagi menjadi hal yang tabu sehingga harus dilegalkan dalam aturan kenegaraan. Persoalan gender dan persamaan antara laki-laki dan perempuan harus disinergikan kedalam ajaran islam yang sudah jelas-jelas tidak bisa disamakan dalam Islam.

Lebih parahnya lagi, lembaga-lembaga pendidikan yang berbasis islam entah negeri seperti STAIN, IAIN, UIN atau perguruan tinggi swasta lainnya telah banyak mengkapanyekan faham-faham liberalisme dengan keempat program diatas. Terbukti, banyak kita temukan para masyarakat akademis dari lembaga pendidikkah tinggi diatas mulai dari mahasiswanya hingga ke profesornya seklipun telah kehilangan idenditas kemuslimannya dengan melahirkan tindakan-tindakan dan pemikiran-pemikran yang antagonis dengan ajaran islam yang sudah ribuan tahun menjadi penuntun kehidupan umat islam.

Terakhir, terkait dengan masa depan pendidikan Islam di Indonesia, harus dikembalikan pada sistem pendidikan nasional yang termuat dengan jelas dalam Undang-Udang Dasar 1945 pasal 31 huruf C tentang tujuan utama pendidikan yang menjadikan keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia sebagai ukuran utama. Karena esensinya pendidikan yang hakiki dalam islam kembali pada ketiga ukuran utama diatas. Sementara kurikulum yang ada saat ini masih belum mencerminkan sistem pendidikan yang diamantkan oleh UUD 1945 dimaksud.

Dari penjelasan dan pemaparan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa islam tidak boleh dipasangkan dengan liberal sehingga menjadi islam liberal. Karena istilah liberal sama sekali tidak dikenal dalam sejarah perkembangan islam, mulai dari awal kedatangannya hingga saat ini sekalipun. Artinya Islam dan liberal merupakan gabungan kata yang antagonistik. Puncaknya, kenyataan demikian jangan sampai terendus kedalam pendidikan islam di Indonesia agar melahirkan generasi yang beriman, bertaqwa dan bermoral. Wallahu a'lam bis showab.

Oleh: Mohammad Hafidz Anshory

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun