Oleh: Luqman Hakim Qohir
Keadilan? Â ya, keadilan seringkali menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Sehingga seringkali terjadi persoalan, bahkan disertai kericuhan.
Berbicara keadilan di Indonesia ini tak henti-hentinya seringkali dipertanyakan. Ada ruang tersendiri bagi masyarakat untuk melontarkan kritikannya terkait dengan putusan penegak hukum yang tak bernyawa keadilan.
Masyarakat Indonesia, khususnya Madura perlu mengingat, mengenang, dan bahkan menciptakan sosok penegak hukum seperti Artidjo Alkostar. Putusan-putusannya membuat ciut nyali pelaku tindak pidana.Â
Beliau merupakan sosok penegak hukum berdarah Madura. Kerap kali menunjukkan ketegasannya dalam menolak uang suap. Berani dalam menghadapi resiko apapun. Istikamah dalam memutuskan perkara dengan cara adil. Disamping itu, beliau merupakan sosok yang sederhana.
Banyak dari Mereka pelaku tindak pidana enggan bertemu beliau dalam ruang sidang. Bagaimana tidak, ketika beliau memutuskan suatu perkara pasti selalu melipat gandakan putusannya, apalagi bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Beliau sangat garang dan merindukan pertemuan dalam ruang sidang. Sosok Artidjo menganggap tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang telah mencuri harta Negara dan memiskinkan rakyat (Mata Najwa). Sehingga beliau tak segan-segan memberikan putusan seberat-beratnya.
Rakyat segala-galanya bagi Artidjo Alkostar. Menurut beliau, Kita mau jadi apapun pasti kita berangkat dari rakyat. Tanpa rakyat kita tidak mungkin bisa mencapai salah satu tujuan profesi yang kita idam-idamkan, maka dari itu kita perlu menjunjung tinggi harga dan martabat rakyat untuk diperlakukan secara adil.
Dalam dunia peradilan, seringkali terjadi masalah suap menyuap. Akibatnya putusan yang dikeluarkan oleh penegak hukum menyeleweng dari fakta yang ada. Bagi sosok Artidjo hal itu tidak berlaku, beliau menolak bahkan menjauhi adanya uang suap/sogok.
Ujar beliau: "uang sogok tidak akan pernah manfaat bagi kita (Kik andi). Sehingga sebanyak apapun harta/tahta yang diberikan kepadanya dalam bentuk suap maka beliau tidak akan pernah tertarik dan menerimanya.
Seorang hakim juga perlu memiliki sikap pemberani. Karena seorang hakim sudah barang tentu akan menerima ancaman jika putusan itu akan merugikan orang-orang yang tidak mau kalah.Â
Hal ini bagi Artidjo juga tidak berlaku. Beliau sosok pemberani yang seringkali mendapat teror dari salah satu pihak. Â Pak Artidjo tidak ciut begitu saja. Akan tetapi hanya menjadi bahan tawaan baginya.Â
Beliau bukan sosok yang pengecut. Beliau sosok yang tangguh dan pemberani, ujar beliau: saya memegang suatu filsafat orang Madura; "Lebih baik putih mata dari pada putih tulang" (Kik andi).
Bagi orang Madura harga diri segala-galanya. Maka tak jarang dari mereka khususnya Artidjo selaku sosok berdarah Madura menampakkan keberaniannya dalam persoalan harga diri.Â
Bahkan dengan keberaniannya, beliau mengatakan: "kalau mau bunuh saya sangat gampang. Saya selalu naik Bajai ke Mahkamah Agung, tinggal di tembak saja". (kikandi)Â
Itulah sosok seorang Artidjo Alkostar, berbagai macam ancaman yang telah menghantuinya. Namun nyali untuk menegakkan keadilan tetap utuh dalam dirinya.
Kerap kali juga menjadi pembicaraan dalam diri seorang Artidjo adalah kesederhanaannya. Beliau merupakan sosok yang sederhana, meskipun beliau sudah berprofesi sebagai Hakim Mahkamah Agung. Beliau tidak memiliki tempat tinggal yang megah. Beliau menjalani kehidupannya dengan cara sederhana.
Beliau perlu dijadikan sebagai panutan bagi kita. Keadilannya dalam memutuskan perkara, keberaniannya menghadapi resiko, kesederhanaan, dan penolakannya terhadap adanya uang suap. Negara Indonesia perlu dan harus menciptakan sosok seperti Artidjo Alkostar. Agar hukum di Indonesia semakin melahirkan ruh keadilan.
pamekasan, 14 Januari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H