Mohon tunggu...
Mohammad Nurfatoni
Mohammad Nurfatoni Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pekerja Swasta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pak Dul dan Kekuatan Medsos

20 Mei 2015   18:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:47 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="562" caption="ilustrasi/kompas.com"][/caption]

Abdul Syukur, atau lebih dikenal Pak Dul, bukan siapa-siapa. Dia orang kecil, tukang becak yang setiap hari mangkal di ITC Surabaya. Tapi kini, sosok berusia 65 tahun itu dikenal luas oleh publik. Bahkan, pada Kamis (14/5), beliau diundang Walikota Surabaya Tri Rismaharini ke rumah dinasnya.

Itu semua berkat foto-foto beliau yang tersebar di media sosial, yang kemudian menjadi referensi liputan oleh media-media mainstream, termasuk televisi. Akhirnya menjadikan Pak Dul, booming. Adalah Himan Utomo yang pertama kali mengunggah di akun Facebook-nya, pada Selasa (11/5). “Saat itu, pukul 23.05, seorang bapak tua, tukang becak ini, berhenti pas di depan ITC, bapak tua ini turun dan menurunkan bongkah-bongkahan batu aspal dan menaruhnya di beberapa jalan yang berlubang,” tulis Himan memberi keterangan pada enam yang diunggahnya.

Sebenarnya enam foto yang diunggah Himan tidak eye-cathing. Tidak seperti umumnya foto-foto yang diunggah para pengguna media sosial (medsos), yang penuh warna dan menarik mata. Foto Himan diambil dengan kamera ponsel dan dilakukan di malam hari yang minim cahaya, sehingga kualitas foto-foto itu kurang bagus, cenderung gelap. Jika tidak membaca narasi yang disertakan, mungkin pembaca tidak paham maksudnya. Tapi ternyata yang membuat menarik dan menggemparkan adalah, fakta di balik foto-foto itu. Fakta yang disampaikan Himan adalah sesuatu yang unik dan menggugah ruang psikologi pembaca.

Bayangkan, seorang tukang becak berusia lanjut, menjadi sukarelawan penambal jalan berlubang. Hebatnya, Pak Dul, melakukannya tanpa pamrih, tanpa bayaran. Dia mengerjakannya sendirian, jauh dari lirikan pejabat terkait dan publikasi media mainstream. Sebuah pekerjaan sunyi di tengah hiruk-pikuk kota.

Tentu, yang juga membuat foto-foto itu sangat menarik karena mengandung satire: Pak Dul telah mengambil alih job discription Dinas PU, yang seringkali dikeluhkan kelambanan kinerjanya oleh para pengguna jalan. Maka foto-foto Himan dengan sukarela dibagikan oleh pengguna Facebook lainnya sehingga tersebar luas, terutama setelah diposting di akun Fanpage E100 milik Suara Surabaya. Media-media mainstrem lalu memberitakannya secara luas. Dan kini Pak Dul menjadi sosok yang sangat dikenal publik. Dia tidak lagi: “bukan siapa-siapa”. Kini, seperti dijuluki Jawa Pos, Pak Dul adalah sosok inspiratif.

Peran Media Sosial

Harus diakui bahwa kehadiran medsos tak lepas dari kritik. Kritik paling tajam, karena medsos dianggap sebagai ajang penebar kejahatan dan kemaksiatan: dari penipuan sampai transaksi pelacuran. Kasus pembunuhan Deudeuh adalah contoh mutakhir. Melaui akun Twitter @tataa_chubby, Deudeuh menjajakan dirinya. Dia menarik para pelanggannya melalui medsos 140 karakter itu.

Dan jangan heran, jika akun ini memiliki follower mencapai 77,5 ribu. Tentu, pembunuhnya, juga dia jaring melalui akun tersebut. Sungguh ironis. Di luar kritik tajam, medsos juga diperdebatkan manfaatnya. Banyak yang menganggap medsos sebagai buang-buang waktu saja. Tempat curhat yang transparan seantero dunia. Juga ajang selfie, berpamer diri. T

ak sedikit pengguna medsos, biasa disebut nitizen, menulis status soal pertengkaran rumah tangga. Di medsos pula para tetangga bisa saling sindir. Medsos juga menjadi ajang bullying, jika pengguna medsos, khususnya tokoh populer, ada yang salah sikap atau perkataan. Bahkan, dari medsos, orang bisa masuk bui, karena melanggar Undang-undang  Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sejak diberlakukan pada 2008, sebanyak 71 netizen terperangkap Pasal 27 ayat 3 undang-undang ini dan masuk ranah hukum (Tempo.co, 16/11/14).

Dan kasus Florence dengan status Path-nya yang dianggap menghina masyarakat Yogyakarta adalah contoh yang masih segar dalam ingatan. Di tengah pesimistis manfaat medsos, kemunculan Pak Dul yang populer lewat akun Facebook Himan Utomo, menunjukkan bahwa masih banyak hal positif yang bisa dilakukan melalui medsos. Seperti pisau bermata dua, demikianlah medsos. Ada sisi negatif, tentu.

Tapi sisi posistifnya tak terbantahkan. Ini soal pilihan. Mengapa Himan Utomo, memilih mengunggah foto-foto Pak Dul yang sedang menambal jalan dilakukan? Selain soal pilihan, adalah menyangkut kepedulian, dan sedikit usaha berkeringat. Tidak mudah menjadi orang yang peduli dan membagi kepeduliannya. Tetapi maraknya medsos sangat membantu. Didukung teknologi smartphone, kini orang bisa dengan mudah melaporkan kejadian dan keganjilan di jalanan.

Pernah suatu ketika akun Twitter @e100 menerima dari nitizen sebuah foto pengendara mobil yang sedang membuang sampah di jalan. Itu adalah satu dari ratusan unggahan nitizen yang di-mention ke akun Twitter @e100 atau dibagian ke akun Fanpage E100. Itulah apa yang disebut citizen journalism (jurnalisme warga). Pembaca atau pendengar bisa melaporkan apa yang dilihat atau dialami, termasuk kemacetan atau kecelakaan. Di Surabaya, radio SS FM 100 telah menjadi icon citizen journalism, yang sebelum era medsos, hanya mengandalkan telepon atau SMS.

Tidak perlu alergi pada medsos. Banyak hal bisa dilakukan dengannya. Bahkan pakar hukum sekelas Prof Yusril Ihya Mahendra sering memberikan pendapat hukum melalui akun Twitter-nya, dan bisa dikutip oleh para wartawan. Medsos malah bisa menjadi alat tekan politik, seperti saat kisruh KPK-Polri. Dengan hasteg #SaveKPK misalnya, nitizen bisa membangun dukungan untuk penyelamatan KPK. Bentuk nyata dukungan itu terlihat saat hasteg tersebut menjadi trending topic nomer satu.

Jadi kenapa kita tidak mengoptimalkan peran positif medsos? [*]

Mohammad Nurfatoni

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun